Persaingan Antarperempuan Merupakan Senjata Patriarki Paling Berbahaya

Persaingan Antarperempuan Merupakan Senjata Patriarki Paling Berbahaya

Perebut Laki Orang atau yang sering disingkat pelakor merupakan sebutan populer di masyarakat yang disematkan bagi perempuan yang menjalin hubungan dengan pria beristri. Sebutan tersebut menjadi ciri negatif atau stigma bagi pihak perempuan pelaku perselingkuhan yang tak diimbangi dengan stigma yang serupa bagi pelaku prianya.

Perempuan, yang dalam kasus perselingkuhan, selalu disudutkan dengan beragam cap negatif biasanya menjadi fokus utama pembicaraan kasus perselingkuhan yang justru memberi ruang pada pelaku pria untuk terbebas dari tuntutan sosial yang semestinya ikut ditanggungnya.  Untuk melawan stigma pelakor yang sebetulnya merupakan produk dari budaya patriarki, Perempuan Berkisah bekerja sama dengan Konselor Feminis dan Perempuan Tanpa Stigma [PenTaS] menyelenggarakan gelar wicara dalam program #BerbagiSudutPandang “Melawan Stigma Perebut Laki Orang dari Sudut Pandang Psikolog Feminis dan Penyintas KDRT”. 

Tema ini dipilih sebagai bentuk keprihatinan terhadap maraknya penggunaan serta sosialisasi istilah pelakor di media dan masyarakat. Melalui gelar wicara ini, Komunitas Perempuan Berkisah ingin meluruskan sesat pikir masyarakat terhadap penggunaan istilah pelakor. Selain itu, gelar wicara ini juga bertujuan untuk menjelaskan stigma negatif yang hadir dari cap pelakor serta memahami isu perselingkuhan dari sudut pandang psikologi, penyintas, serta konselor feminis Perempuan Berkisah. 

#BerbagiSudutPandang dengan Psikolog & Konselor Feminis

Gelar wicara ini diadakan secara daring melalui Zoom pada hari Sabtu, 20 Februari 2021 pada pukul 19.30. Rekaman gelar wicara dapat disaksikan melalui kanal Youtube Perempuan Berkisah dengan judul “Melawan Stigma Perempuan ‘Pelakor’”. Pada diskusi ini, Perempuan Berkisah menghadirkan tiga narasumber yang akan mengupas stigma pelakor yang lekat di benak masyarakat. Narasumber pertama adalah Ester Lianawati seorang psikolog feminis dan penulis buku “Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan”.

Narasumber berikutnya adalah Poppy Dihardjo, pendiri Perempuan Tanpa Stigma [PenTaS] dan seorang penyintas Kekerasan dalam Rumah Tangga [KDRT]. Terakhir, ada pula konselor feminis perwakilan dari Perempuan Berkisah yakni Yulina Martha Tresia. Diskusi berlangsung hangat dipandu oleh Kelly Mayasari, Community Leader Perempuan Berkisah wilayah Yogyakarta dan Solo.

Mengapa dan Bagaimana Melawan Stigma Pelakor dari Sudut Pandang Psikologi?

Untuk melawan stigma pelakor, Ester Lianawati membuka gelar wicara dengan dua pertanyaan utama, mengapa stigma ini ada serta bagaimana cara melawan stigma yang terlanjur lekat dan populer di benak masyarakat? Melalui pemaparannya, para peserta diskusi diajak menyelami latar belakangnya lahirnya stigma dan faktor-faktor yang menyebabkan stigma ini terbentuk dan populer di masyarakat. 

[…] persaingan antarperempuan yang merupakan senjata patriarki yang paling berbahaya […]” 

(Ester Lianawati, Berbagi Sudut Pandang Melawan Stigma Perebut Laki Orang, 20 Februari 2021)

Setelah mengupas tuntas latar belakang lahirnya stigma yang menyudutkan perempuan, Ester juga membahas alasan-alasan untuk melawan stigma perebut laki orang, terutama oleh kaum wanita. Selain itu, Ester juga menjelaskan tiga aksi nyata yang perlu dilakukan oleh wanita dan masyarakat pada umumnya untuk dapat menghapus stigma tersebut. Untuk membaca buah pikir Ester Liana selengkapnya mengenai topik ini silakan kunjungi laman Perempuan Berkisah melalui tautan berikut ini, Melawan Stigma Pelakor oleh Ester Liana.

Bangkit dari Keterpurukkan dan Berhenti Menggunakan Istilah Pelakor yang Menguntungkan Laki-laki 

Setelah membahas perselingkuhan dan stigma perebut laki orang dari sudut pandang psikologi, gelar wicara dilanjutkan dengan kisah inspiratif dari Poppy Dahardjo yang menceritakan kisah hidupnya bangkit dari situasi perselingkuhan yang pernah ia alami. Secara gamblang, Poppy menuturkan kisahnya menghadapi perselingkuhan mantan suami yang membuat para peserta turut merasakan sesak dan menitikkan air mata. 

Ketika menghadapi kenyataan dikhianati, Poppy sempat berada pada tahap menyalahkan diri sendiri dan penyangkalan. Ia mempertanyakan kesalahan dan kekurangan dirinya hingga menjadi korban pengkhianatan. Persis seperti yang dituturkan Ester pada sesi sebelumnya, Poppy pun merasakan persaingan antarperempuan dengan terus mempertanyakan wanita yang berselingkuh dengan suaminya dan mengalami kemarahan yang lebih berat pada pihak perempuan dibandingkan kepada mantan suaminya. Poppy bahkan sempat mengalami fase depresi yang menyebabkannya kehilangan pekerjaan saat menghadapi situasi ini. 

[…] aku mengakui kalau aku butuh bantuan. Itu adalah langkah awalku untuk menyintas akhirnya, untuk bisa berdiri sendiri.

(Poppy Dihardjo, Berbagi Sudut Pandang Melawan Stigma Perebut Laki Orang, 20 Februari 2021)

Poppy pun mengakui bahwa dahulu ia pun sempat menggunakan istilah pelakor. Tanpa sadar, budaya patriarki yang menancap kuat di benak telah membentuk pemahaman bahwa perselingkuhan terjadi karena pihak perempuan yang lebih dulu menggoda mantan suaminya.

“Lebih mudah menyalahkan orang lain dibandingkan menyalahkan diri sendiri atau orang yang kita cintai, lebih mudah untuk mengarahkan kemarahan pada orang yang tidak kita tahu.” 

(Poppy Dihardjo, Berbagi Sudut Pandang Melawan Stigma Perebut Laki Orang, 20 Februari 2021)

Pada akhirnya, ia pulih dengan belajar mengenai hubungan dengan diri sendiri hingga sampai pada kesadaran untuk kembali menemukan diri sendiri dan kebahagiaannya sebagai pribadi yang merdeka. 

Poppy pun menjelaskan tiga alasan utama yang membuatnya berhenti menggunakan istilah pelakor. Alasan pertama yang membuatnya berhenti menggunakan istilah tersebut karena menurutnya selingkuh merupakan perencanaan yang melibatkan dua belah pihak, bukan cuma wanita lain yang dianggap merebut suami orang. Selain itu, Poppy menyadari bahwa perempuan ketiga bisa jadi juga seorang korban dari kebohongan yang dilakukan laki-laki kepadanya hingga ia tak tahu ia menjadi orang ketiga dalam hubungan orang lain. Menurutnya, cap pelakor juga membuat para lelaki yang berselingkuh aman dari tindakan amoralnya karena semua kesalahan dilimpahkan pada pihak perempuan.

Melawan Stigma Pelakor Bukan Normalisasi pada Tindakan Perselingkuhan tetapi Perlawanan pada Budaya Patriarki

Gelar wicara kembali dilanjutkan oleh narasumber ketiga, Yulina Martha Tresia, konselor feminis dari tim Perempuan Berkisah yang kembali menegaskan pemaparan dua narasumber sebelumnya mengenai alasan perlunya melawan stigma pelakor. Menurut Yulina, hukuman sosial yang timbul dari stigma pelakor hanya ditanggung oleh pihak wanita. Selain itu, stigma pelakor merupakan lingkaran setan yang selalu menempatkan wanita sebagai korban, wanita selalu ditempatkan di posisi yang salah atau dianggap sebagai penggoda. Belum lagi perasaan bersalah yang dialami pihak wanita yang diselingkuhi dan menganggap perselingkuhan terjadi karena dirinya yang alali melayani suami.

“Stigma pelakor tidak hanya menjebak perempuan pelakornya tetapi juga perempuan yang diselingkuhi.”

(Yulina Martha Tresia, Berbagi Sudut Pandang Melawan Stigma Perebut Laki Orang, 20 Februari 2021)

Pada sesi ini, Yulina juga berbagi beberapa strategi yang dilakukan oleh konselor Perempuan Berkisah untuk mendampingi perempuan korban KDRT. Sebelum menutup sesinya, Yulina juga menyampaikan pesan kunci dari seluruh gelar wicara ini untuk menjadi agen transformasi dengan berhenti mempopulerkan kata pelakor. Yulina berpesan agar ktia berhenti menyukai, membagikan, atau menaikkan trafik konten-konten yang berisi berita pelakor di dunia maya atau media sosial. Lebih baik media sosial digunakan sebagai wadah berbagi konten bermanfaat alih-alih berbagi kabar semacam itu.

“Ikut melawan stigma pelakor bukan berarti kita mendukung atau menormalisasi perselingkuhan, kita harus tetap meng highlight bahwa perselingkuhan adalah salah satu bentuk kekerasan apalagi jika dilakukan di dalam komitmen rumah tangga dan pernikahan. […] Melawan stigma pelakor berarti kita ikut melawan kultur patriarki yang selalu senang menyalahkan perempuan.” 

(Yulina Martha Tresia, Berbagi Sudut Pandang Melawan Stigma Perebut Laki Orang, 20 Februari 2021)

Setelah Yuliana menyelesaikan pemaparannya, diskusi berlangsung semakin seru dalam sesi tanya jawab yang dipandu oleh Kelly selaku moderator. Bahkan, berkat antusiasme peserta dan narasumber, gelar wicara yang seharusnya selesai pada pukul 21.30 diperpanjang hingga pukul sepuluh malam. Pada sesi tanya jawab ini ada dua peserta beruntung yang memberikan pertanyaan dan mendapatkan apresiasi berupa buku dari EA Books.

Peserta pertama yang beruntung mendapatkan hadiah buku adalah Adinda. Adinda bertanya cara menanggapi  penggunaan kata betina atau diksi berkonotasi negatif lain yang sering digunakan media untuk menggambarkan sosok perempuan. Pertanyaan ini dijawab oleh narasumber kedua kita, Poppy Dihardjo yang memberikan pandangan bahwa kata-kata sebetulnya bersifat netral tetapi narasi media yang membuatnya memiliki makna negatif. Arus informasi dari media memang tak terbendung, tetapi kita punya kuasa untuk memfilter dan menanggapinya. 

Sementara itu, Febi sebagai peserta beruntung berikutnya bertanya tentang perlunya memberikan pengampunan pada perempuan lain yang telah hadir dalam hubungan rumah tangga. Ketiga narasumber yang menjawab pertanyaan ini sepakat bahwa tak ada kewajiban bagi korban yang diselingkuhi untuk memaafkan. Memaafkan merupakan proses berdamai dengan diri sendiri dan dilakukan bukan untuk orang lain tetapi untuk ketenangan pribadi.

Sesi gelar wicara ini mencapai akhirnya setelah sesi berfoto bersama yang dilakukan oleh seluruh peserta melalui Zoom. Melalui gelar  wicaraini  diharapkan para peserta mendapatkan pengetahuan serta pembelajaran tentang stigma negatif pelakor yang dapat digunakan sebagai rujukan untuk mengedukasi masyarakat dan meluruskan sesat pikir yang timbul akibat melekatnya budaya patriarki di negara kita.