Dalam perhelatan Kongres Ulama Perempuan (KUPI) kedua yang terselenggara pada 24–26 November 2022 di PP Hasyim Asyari, Bangsri, Jepara. Terdapat 21 diskusi paralel dan 5 Musyawarah Keagamaan KUPI. Salah satu musyawarah keagamaan yang dibahas tentang “Perlindungan Jiwa Perempuan dari Bahaya Kehamilan akibat Pemerkosaan”. Hasil dari musyawarah tersebut disampaikan Sikap Keagamaan KUPI pada Sabtu, 26 November 2022, sebagai berikut:
- Hukum melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat pemerkosaan adalah wajib di usia berapa pun kehamilannya, baik dengan cara melanjutkan atau menghentikan kehamilan, sesuai dengan pertimbangan darurat medis dan/atau psikiatris;
- Semua pihak mempunyai tanggung jawab untuk melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat pemerkosaan, terutama diri sendiri, orang tua, keluarga, tokoh agama, tokoh masyarakat dan adat, tenaga medis, tenaga psikiatris, serta negara. Pelaku juga mempunyai tanggung jawab untuk melindungi jiwa korban dengan cara yang tidak semakin menambah dampak buruk (mafsadat) bagi korban;
- Hukum bagi pihak-pihak yang mempunyai tanggung jawab dan kemampuan, tetapi tidak melakukan perlindungan pada jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat pemerkosaan adalah haram.
Dalam beberapa keputusan undang-undang dan fatwa yang berlaku bahwa tindakan yang ditawarkan kepada korban hamil korban pemerkosaan adalah tindakan penghentian kehamilan atau aborsi. Dalam realitanya, perdebatan hukum aborsi bagi korban pemerkosaan pun masih terus bergulir dan korban mengalami banyak kendala untuk melaksanakannya, baik dari sisi agama, sosial, dan hukum yang berlaku di Indonesia. Hukum perlindungan jiwa korban hamil akibat pemerkosaan sudah secara tegas disampaikan dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia adalah wajib. Melanjutkan atau menghentikan kehamilan menjadi pilihan. Oleh karena itu, penulis akan membahas tentang problematika pelaksanaan aborsi dari perspektif hukum yang berlaku di Indonesia.
Pengalaman Perempuan Hamil Korban Kekerasan
Berdasarkan Catahu Komnas Perempuan, terdapat 24.786 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan selama tahun 2016–2020. 7.344 kasus di antaranya adalah pemerkosaan.
Tantangan sosial yang dihadapi oleh perempuan korban pemerkosaan cukuplah berat. Untuk itulah dalam pengambilan hukum, metodologi pengambilan hukum KUPI salah satunya adalah pengalaman perempuan, seperti yang dijelaskan oleh Kh. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya berjudul Metodologi Fatwa KUPI.
Buku tersebut menjelaskan tentang perbedaan pengalaman laki-laki dan perempuan dalam kekerasan seksual. Pemerkosaan bisa menyebabkan perempuan hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui, sedangkan laki-laki tidak mengalaminya. Selanjutnya stigma masyarakat, korban dianggap sebagai perempuan kotor, dipandang rendah, dan aib. Parahnya, kondisi tidak menguntungkan ini termasuk tindakan keluarga yang memaksa korban menikah dengan pelaku untuk menjaga nama baik keluarga dan masyarakat. Dalam kasus ini, pernikahan justru bukan jawaban sebab akan berdampak buruk pada korban pemerkosaan. Pelaku dalam hal ini mendapatkan manfaat setelah menikahi korbannya, tetapi tidak untuk korban pemerkosaan. Hal ini artinya, manfaat bagi laki-laki tidak selamanya sama akan berdampak baik bagi perempuan.
Tantangan Pelaksanaan Aborsi Bagi Korban Pemerkosaan
Aborsi menjadi langkah konkrit yang dapat ditawarkan untuk menjaga kejiwaan korban hamil akibat pemerkosaan. Aturan diizinkannya korban pemerkosaan dapat melakukan aborsi secara jelas dapat dilihat dalam Pasal 75 ayat 2 huruf b Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang menyatakan, sebagai berikut:
- Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau Janis, yang menderita penyakit genetic berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
- Kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban pemerkosaan.
Berdasarkan poin b di atas secara jelas undang-undang yang berlaku memperbolehkan perempuan hamil korban perkosaan untuk melakukan aborsi. Sekalipun telah diperbolehkan untuk melakukan aborsi, faktanya dengan dasar Pasal 346 KUHP yang menyatakan
“Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam pidana paling lama empat tahun.”
Dalih inilah yang seringkali tim kesehatan yang berwenang menolak untuk melakukannya. Akibatnya korban memilih aborsi dengan cara yang tidak aman atau meminta bantuan pihak yang tidak berwenang. Sedangkan jika dilanjutkan, tidak jarang kita temui korban memilih membuang bayi yang baru dilahirkan ke tempat sampah karena tidak bisa menerima bayinya. Lebih lanjut, jika itu terjadi justru korban dianggap sebagai pelaku karena telah menelantarkan bayinya.
Aborsi bagi korban pemerkosaan yang dibolehkan dalam UU Kesehatan adalah sebuah aturan khusus yang mengatur tindakan aborsi berdasarkan asas Lex specialis derogate legi generalis sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP:
“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”
Oleh karena itu, sudah selayaknya Pasal 346 KUHP yang mengatur tentang tindakan aborsi bagi korban pemerkosaan dikesampingkan karena telah ada aturan khusus yaitu UU Kesehatan yang mengatur hal tersebut.
Mengenai teknis pelaksanaannya aborsi bagi korban pemerkosaan berdasarkan Pasal 34 ayat 2 PP Nomor 61 Tahun 2014 dijelaskan;
Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan;
- Usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan
- Keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.
Dengan demikian, dalam hal ini tidak perlu untuk melaporkan kepada pihak kepolisian. Akan tetapi korban lapor ke Lembaga pengadaan layanan untuk mendapatkan konseling oleh konselor/psikolog. Ketentuan ini dinyatakan dalam 75 ayat (3) UU Kesehatan yang menerangkan sebagai berikut:
“Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.”
Lebih lanjut mengenai konseling ini dijelaskan dalam Pasal 37 PP No. 61/2014, dijelaskan bahwa korban mengetahui benar akan efek sampingnya . Konselor berperan untuk membantu korban untuk mengambil keputusan sendiri tersebut secara sadar dan mendapatkan informasi sejelas-jelasnya atas apa yang nantinya ia alami pasca aborsi dilaksanakan. Dengan asesmen konseling yang sudah dilakukan, hasilnya dapat dijadikan dasar untuk dapat melakukan aborsi. Hasil asesmen tersebut lebih valid dan dapat dijadikan bukti ketika dikeluarkan visum psikis korban yang secara jelas membuktikan bahwa kehamilan yang dialami korban dapat mengganggu kejiwaannya.
Tantangan yang dialami perempuan hamil korban pemerkosaan dalam melakukan aborsi tidak hanya berhenti sampai di situ. Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan sebelum kandungan berusia enam minggu. Hal ini dijelaskan dalam ketentuan Pasal 76 UU Kesehatan yang menerangkan:
- Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
- Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
- Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
- Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan;
- Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Lebih lanjut, mengenai aborsi dijelaskan dalam Pasal 31–39 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi. Diperbolehkannya aborsi bagi korban pemerkosaan dijelaskan dalam Pasal 31;
- Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan;
- Indikasi kedaruratan medis; atau
- Kehamilan akibat perkosaan.
- Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Sedangkan syarat pasal 76 huruf a dan Pasal 31 ayat 2 seringkali sulit untuk dipenuhi karena seorang perempuan belum menyadari kandungannya dan baru diketahui ketika kandungannya berusia dua–tiga bulan. Sedangkan jika kandungannya lebih dari 40 hari artinya tidak diperkenankan atau dianggap ilegal menurut undang-undang. Inilah yang seringkali mengakibatkan tenaga medis tidak berani melakukan aborsi karena telah melebihi ketentuan dari undang-undang. Karena jika tenaga medis melakukan lebih dari 40 hari ia akan diancam Pasal 194 UU Kesehatan dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sekalipun terdapat frasa yang menyatakan akibat pemerkosaan dibolehkan melakukan aborsi, tetapi secara jelas undang-undang juga membatasi usia kehamilan aborsi bagi perempuan korban pemerkosaan.
Berdasarkan fakta-fakta hukum di atas, aborsi yang dilakukan oleh perempuan hamil korban pemerkosaan masih sulit untuk dilakukan. Dengan demikian diperlukannya judicial review terhadap UU Kesehatan untuk durasi maksimal usia kehamilan adalah 40 hari setelah diketahui dirinya telah hamil. Karena ketidaktahuan korban hamil inilah yang juga menjadi kendala. Dengan durasi 40 hari setelah diketahui, korban masih memiliki waktu untuk berpikir dan mencari bantuan ke lembaga pengadaan layanan ataupun psikolog. Hal ini sebagai upaya merealisasikan, mendukung, dan melindungi kejiwaan perempuan korban pemerkosaan sebagaimana sikap keagamaan KUPI.
Referensi:
- Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2016-2020;
- Hasil musyarawah, Sikap Keagaamaan KUPI “Perlindungan Jiwa Perempuan dari Bahaya Kehamilan akibat Pemerkosaan” pada Sabtu, 26 November 2022;
- Faqihuddin Abdul Kodir, 2022, Metodologi Fatwa KUPI, Cirebon; KUPI;
- Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan;
- Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang kesehatan Reproduksi.