Women Supporting Women: Nyatanya Tak Semudah Itu

Women Supporting Women: Nyatanya Tak Semudah Itu

Isu kesetaraan gender belakangan menjadi isu yang ramai diperbicangkan dan dengan itu membuat perempuan mulai berani untuk mengungkapkan pendapat, berani berekspresi serta mulai menerobos stereotip yang dilekatkan kepadanya. Namun tak jarang diantara kita masih menganggap sesama perempuan sebagai ancaman, kemudian saling menyerang dan saling menjatuhkan. Mengapa terjadi demikian?

Najwa Shihab dalam youtube channelnya mengatakan bahwa perempuan saling menjatuhkan itu karena perempuan punya keterbatasan ruang yang didominasi laki-laki. Sehingga membuat perempuan kerap khawatir, cemas serta takut segalanya tidak pernah cukup untuk diri sendiri. Akibatnya siapapun dianggap sebagai ancaman. Mengutip hasil penelitian Workplace Bullying Institute (2006) Bully Speak: Our rationate for gender and terms used bahwa sekitar 58% perundung di tempat kerja adalah perempuan dan hampir 90% dari mereka memilih perempuan lainnya sebagai korban. 

Di lingkungan sekitar, perempuan saling menyerang antar sesama perempuan seperti halnya jika terdapat kasus perselingkuhan yang menjadi fokus utama dari kasus tersebut adalah perempuan, sehingga ada istilah penyebutan “pelakor” untuk perempuan yang menjadi pihak ketiga, dan sebutan tersebut dilontarkan juga oleh perempuan. Hal itulah yang menandakan bahwasannya perempuan vsersus perempuan masih sering terjadi. Selain kasus perselingkuhan, perempuan saling menyerang apabila terdapat pilihan hidup perempuan yang tidak sesuai standar masyarakat yang berlaku. Kita ambil contoh Gitasav yang memilih untuk Childfree, banyak dari kita perempuan  yang menghujat Gitasav dengan sebegitunya hanya karena pilihan yang ia buat sendiri. Kemudian, perempuan turut berkomentar dan menghujat perempuan lain yang masih lajang, belum punya anak, memilih bercerai hingga menjadi janda. 

Ibu bekerja vs Ibu rumah tangga?

Tak jarang perempuan dihadapkan pada sebuah pilihan mau menjadi ibu rumah tangga atau ibu bekerja, seolah perempuan tidak bisa mengambil peran dua sekaligus dan menandakan ketimpangan gender masih ada, buktinya perempuan memiliki keterbatasan untuk memilih pilihan yang akan diambilnya. Pertanyaan tersebut juga memicu timbulnya perseteruan antar perempuan. Ibu yang bekerja menganggap dirinya sudah berdaya, independen, berdikari, dan tidak bergantung pada laki-laki memberikan celetukan yang ketus terhadap perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga  bahwa mereka masih belum berdaya serta bergantung pada suami. Sementara ibu rumah tangga menganggap dirinya yang paling berkorban dan berdedikasi untuk keluarga serta paling paham bagaimana cara mendidik anak, menghujat ibu bekerja yang lupa akan keluarga dan hanya berorientasi pada kesejahteraan hidupnya sendiri. 

Sesama perempuan saling menjatuhkan

Persoalan perseteruan antar sesama perempuan bukan hanya terjadi pada ibu bekerja dengan ibu rumah tangga, dan bukan hanya pada kasus perselingkuhan melainkan di berbagai aspek yang lain. Dalam kasus kekerasan seksual misalnya, perempuan kerap menjatuhkan perempuan yang menjadi korban dari kasus kekerasan seksual dengan memberikan komentar seksis seperti “makanya jadi perempuan harusnya bisa jaga diri”, “memang kamu waktu itu pakai baju apa? Pasti agak terbuka ya, pantas saja kamu digituin, salah sendiri”,  “kenapa dari awal mau aja diantar?”, dan lain sebagainya yang justru menyalahkan korban. Kalau dalam kasus sehari-sehari orang tua, saudara dan tetangga perempuan sering bilang:

“Jadi perempuan jangan bermimpi tinggi yang penting punya suami”, “jadi perempuan jangan sekolah tinggi-tinggi nanti laki-laki pada minder untuk mendekati”, dan masih banyak lagi. 

Di sisi lain, sesama perempuan telah menciptakan kriteria yang kejam untuk menilai kecantikan perempuan yang membuat antar sesama perempuan saling bersaing dan menjatuhkan. Perempuan menilai kecantikan perempuan itu harus cantik sealami mungkin, namun jika ada yang cantik alami kita akan mencari-cari kekurangannya, begitupula dengan perempuan yang pandai bermake-up. Kalimat seperti: “masih ada yang lebih cantik dari pada dia”, “halah, dia cantik karena make up doang, coba kalau tanpa make-up”, “percuma sih cantik tapi bodoh”, “mau pakai make-up gimanapun, kalau aslinya jelek mah jelek aja”, yang terdengar apalagi bermunculan di kolom komentar.

Mengapa Rivalitas Perempuan Bisa Terjadi?

Rivalitas perempuan terjadi tidak lain didasari oleh paparan internalized misogyny, menurut sosiolog asal Amerika yang bernama Allan G. Johnson, internalized misogyny adalah sikap budaya kebencian terhadap perempuan karena mereka adalah perempuan. Sementara Michael Flood sosiolog dari Universitas Wollongong mengatakan bahwa internalized misogyny umumnya dilakukan oleh laki-laki tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi pada perempuan atau bahkan pada diri mereka sendiri. Adanya perempuan saling menyerang, saling menjatuhkan, saling bersaing antar sesama perempuan adalah contoh dari paparan internalized misogyny. Agaknya susah membuat sesama perempuan tidak saling menyikut karena telah mengakar menjadi budaya masyarakat kita. Dari kecil saja, kita sudah dicekoki oleh wejangan bahwa perempuan yang pakaiannya terbuka adalah perempuan yang nakal, akhirnya sampai dewasa kita mencap perempuan lain yang pakaiannya terbuka adalah perempuan nakal. Kita dilarang untuk terlalu bermake up karena itu dapat mengundang perhatian laki-laki, akhirnya kita gampang banget menjustice perempuan yang full make up. Contoh lainnya, perempuan dilarang pulang malam-malam dengan alasan perempuan yang pulangnya malam bukan perempuan baik-baik, sehingga lagi-lagi jika ada perempuan yang pulang malam kita mencap mereka bukanlah perempuan baik-baik. Selain wejangan dari keluarga, kita juga terpapar oleh lingkungan sekitar dan media yang menyebarkan nilai-nilai patriarkis, akibatnya tanpa disadari ada perilaku kita yang seksis serta misoginis.

Women Supporting Women, Apa bisa?

Perempuan mendukung perempuan walau susah dan butuh usaha kemungkinan bisa, tentu prosesnya tidak akan cepat dan mudah. Menciptakan dukungan perempuan menurut pandangan saya dimulai dengan mengajak perempuan untuk bersama-sama membangun kesadaran bahwa perempuan punya potensi dan pilihan hidupnya sendiri, tidak terpaku pada standar-standar yang menuntut perempuan untuk bersikap dan berperilaku. Mendukung sesama perempuan bukan hanya memberikan berbagai dukungan dan mengapresiasi saja, tetapi bisa melalui kritik yang membangun. Karena perempuan manusia yang juga punya kesalahan, sehingga mendukung lewat kritikan perlu dilakukan. Sebagai penutup saya ingin bilang:

“Mari saling berpegangan tangan bukan saling menjatuhkan, mari membangun kesadaran bahwa setiap perempuan punya potensi dan pilihan sendiri, bukan memaksakan standar bagaimana perempuan harusnya menjadi sesuai dengan kehendak pribadi.”