Self Healing: Bukan sekadar Refreshing, tetapi Memulihkan Luka Batin

Self Healing: Bukan sekadar Refreshing, tetapi Memulihkan Luka Batin

Apa yang terlintas di benak saat mendengar kata healing? Bali, refreshing, kembali ke alam ala glamour camping, atau liburan menguras dompet dalam versi lain? Akhir-akhir ini, kata healing memang lekat dengan konten liburan atau kembali ke alam. Padahal, healing sendiri bukan suatu proses yang butuh uang, apalagi pergi liburan. Lalu, apa sebetulnya yang dimaksud dengan healing?

Pada 27 Agustus 2022 kemarin, Perempuan Berkisah kembali mengadakan diskusi publik berseri dengan tema “Self Healing bagi Korban Kekerasan Seksual”. Diskusi ini merupakan rangkaian dari serial diskusi publik kerjasama antara Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh dan Berdaya (Pribudaya) didukung oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Hivos) dan Norwegian Embassy. Diskusi publik berseri ini dilaksanakan guna berbagi pengetahuan dan pembelajaran dari praktik baik yang dilakukan di Ruang Aman Perempuan Berkisah. 

Seri ketiga dari diskusi ini mengangkat tema yang kekinian dan dekat dengan banyak orang yakni terkait self healing atau penyembuhan diri. Berbeda dengan konsep healing yang selama ini populer di media sosial, self healing yang dibahas oleh para konselor di Ruang Aman Perempuan Berkisah tidak sekadar menghilangkan penat tetapi juga memberdayakan. Tiga fasilitator untuk serial diskusi ini membahas tiga metode self healing yang berbeda-beda dan pastinya memperkaya pemahaman para calon anggota Perempuan Berkisah 2022 untuk memberdayakan diri dan juga konseli dengan lewat self healing.

Self Healing sebagai Penyaluran Katarsis dan Memberdayakan

Jadi, apakah liburan berbeda dengan self healing

Jawabannya, jelas berbeda. Self healing merupakan proses yang dilakukan oleh diri sendiri untuk memulihkan luka batin. Sebagai sebuah proses, self healing bukanlah hal yang bisa dilakukan sesekali seperti liburan atau berbelanja. Self healing harus dilakukan secara berkelanjutan dan lahir dari kesadaran. Jadi, pergi liburan sesekali bukanlah self healing dan lebih tepat disebut self reward atau refreshing

Menurut Inda Marlina, Konselor di Ruang Aman Perempuan Berkisah, self reward adalah sesuatu yang dilakukan untuk memberi apresiasi pada diri setelah mencapai tujuan tertentu. Meski liburan bisa menenangkan diri dan menghilangkan penat dari rutinitas, kita tidak bisa bergantung pada hal tersebut untuk sembuh dari luka batin. 

Sejalan dengan Inda, Izzuliyah Nur Baitulah mengatakan bahwa liburan atau refreshing adalah proses yang cenderung sementara. Saat refreshing, bisa jadi kita merasa bahagia dan bisa melupakan rasa sakit. Namun, jika kita kembali pada momen kesedihan setelah liburan atau waktu bersenang-senang berakhir, berarti kita masih tergantung pada hal-hal eksternal untuk bahagia. Hal tersebut menunjukkan bahwa kita belum sembuh dari luka batin. Karena, saat kita sudah berhasil melewati proses self healing, kita semestinya tidak lagi banyak bergantung pada hal di luar diri dalam jangka waktu yang lebih panjang. 

Selain itu, proses self healing mestilah lahir dari kesadaran mengenai alasan kita sembuh. Semestinya, kita menjadi sosok yang paling mengenal diri kita sendiri. Itu sebabnya, sosok yang paling bisa mengobati luka batin yang kita alami adalah diri kita sendiri. Dalam self healing, kita meminimalisir faktor eksternal dan mulai jujur pada diri sendiri. 

Ada begitu banyak metode untuk melakukan self healing dan setiap orang bisa memilih yang paling cocok untuk dirinya. Jika rutin melakukan metode self healing, kita bisa meningkatkan rasa cinta pada diri sendiri, mulai berdamai dengan diri, dan pastinya menjadi sosok yang lebih berdaya. Meski begitu, self healing tidak bisa menjadi pengganti terapi. Bagi korban kekerasan seksual yang membutuhkan penanganan profesional, terapi tetap dibutuhkan. 

Bagi para korban kekerasan seksual atau para penyintas, melakukan metode self healing bisa menjadi media katarsis. Menurut Dinihari Suprapto, Konselor di Ruang Aman Perempuan Berkisah, katarsis adalah aktivitas sarana atau medium yang memberi kita kesempatan melepaskan emosi dan perasaan negatif dalam diri lewat cara yang cenderung positif, aman, dan nyaman. 

Menulis Ekspresif untuk Self Healing

Metode self healing pertama yang diperkenalkan oleh para fasilitator adalah menulis ekspresif. Seperti namanya, menulis ekspresif merupakan metode mencurahkan emosi lewat tulisan. Dalam menulis ekspresif untuk self healing, kita mesti membebaskan diri dari aturan baku penulisan. Menulis untuk penyembuhan sejatinya jangan sampai membuat kita terbebani akan bagus jeleknya atau runut acaknya tulisan. Karena, tujuan dari menulis ekspresif ini adalah untuk memetakan kebutuhan serta langkah kita menyongsong masa depan. 

Untuk mencapai tujuan tersebut, kita disarankan untuk jujur pada diri sendiri dan menuangkannya dalam tulisan kita. Tidak ada benar salah dalam tulisan karena yang paling dibutuhkan adalah menulis apa adanya. 

“Bahasa menulis ekspresif bukan bahasa baku. Saat ingin memaki, tuliskan! Jika terbiasa dengan bahasa asing, gunakan! Bebaskan diri dalam menulis! Bahkan, (kita) bisa gunakan warna yang berbeda saat menulis. Tidak ada patokan EYD. Tidak perlu mengindahkan hal tersebut.” (Inda Marlina, Konselor di Ruang Aman Perempuan Berkisah)

Selain jujur, penting untuk memiliki kemampuan reflektif yang baik. Hal ini agar kita dapat memahami kondisi serta harapan diri. 

Menurut Inda, ada empat cara menulis ekspresif yang biasanya ia lakukan yakni membuat peta pikiran, menulis puisi, menulis dalam bentuk narasi, dan coretan. Setiap bentuk tulisan memiliki ciri khas. Namun, tujuannya sama yakni sebagai media ekspresi yang jujur dan menyembuhkan. Ada banyak metode menulis ekspresif lainnya, tetapi empat bentuk tulisan ini adalah yang paling umum dan mudah dilakukan. 

Menulis ekspresif yang pertama bisa dilakukan dalam bentuk peta pikiran. Bentuk peta pikiran atau yang populer disebut mind map bermanfaat untuk mengelompokkan hal tertentu yang mungkin tersebar dalam pikiran kita seperti prioritas, rencana, dan lainnya. Tulis atau visualkan apa pun yang terlintas di benak dengan garis penghubung untuk membuatnya menjadi kesatuan utuh.

Selanjutnya, ada tulisan ekspresif berbentuk puisi. Puisi umumnya berisi ekspresi emosi yang kuat. Inda berpesan agar kita tidak perlu malu dalam mencurahkan perasaan pun khawatir pada struktur penulisan puisi. Hal yang terpenting adalah kita bisa mencurahkan emosi kita dalam tulisan.

Berbeda dengan puisi, bentuk narasi bermanfaat agar kita bisa menulis perasaan kita secara runut. Selain itu, menulis narasi juga bisa dijadikan sarana dialog diri. Bentuknya pun macam-macam tidak mesti seperti menulis buku harian, tetapi bisa seperti cerpen. Dialog antartokoh rekaan dalam cerpen bisa mencerminkan dialog diri kita. Jadi, jangan batasi kreativitas dan imaji kita selama kita jujur!

Bentuk terakhir menulis ekspresif adalah coretan. Ini merupakan bentuk paling random dalam menulis ekspresif. Meski begitu, coretan ini sangat berguna untuk menyalurkan emosi negatif. Tulislah apa pun yang terlintas di kepala. Coretan akan menjadi media penyaluran yang aman saat kepala kita terasa bising dengan emosi negatif tak tertahankan. 

Menulis ekspresif memang tidak selalu mudah untuk dilakukan. Terkadang, kita terlalu sibuk memikirkan harus menulis apa atau mulai dengan kalimat apa. Untuk itu, kita bisa memanfaatkan berbagai pertanyaan pemantik untuk menulis jurnal yang mudah ditemukan di berbagai website atau aplikasi self journaling. Selain itu, kita juga bisa melakukan observasi pada diri sendiri. Aplikasikan metode wawancara pada diri dan jadikan itu sebagai pemantik untuk mulai menulis. 

Merekam Rasa ‘tuk Self Healing melalui Jurnal Visual

Bagi beberapa orang, mencurahkan perasaan lewat tulisan bisa jadi menakutkan. Risiko tulisan tersebut terbaca oleh orang lain dan tersebarnya privasi menjadi hal yang paling mengancam. Itu sebabnya, ada metode self healing lain yang bisa dilakukan yakni jurnal visual atau art journal. Metode ini bisa terasa lebih membebaskan sebab orang akan lebih sulit menghakimi gambar dibandingkan tulisan.

Menurut Dinihari, konselor di Ruang Aman Perempuan Berkisah, jurnal visual adalah merupakan perpaduan antara bahasa rupa dan bahasa kata. Dalam jurnal visual, gambar bisa dipadukan dengan penulisan ekspresif. Tidak jauh berbeda dengan menulis ekspresif, jurnal visual berguna untuk mengungkapkan ekspresi, menyimpan emosi, dan menyimpan ide. 

Banyak orang merasa tidak bisa menggambar dan tidak bisa membuat jurnal visual. Padahal, dalam jurnal visual tidak ada penghakiman tentang bagus tidaknya gambar. Untuk membuat bahasa rupa dalam jurnal visual hanya butuh kemampuan menarik garis. Asal kita bisa menarik satu garis saja, maka kita sebetulnya telah memiliki kemampuan untuk memberi ruang tampil pada cerita kita. Dini pun berpendapat, bahwa pada dasarnya setiap manusia adalah seorang pencerita alami sehingga keterbatasan untuk mengekspresikan diri semestinya masih bisa disiasati.

Dalam presentasinya, Dini menjelaskan jurnal visual sebagai medium memaknai kembali pengalaman dalam proses mencapai penyembuhan atau healing. Untuk mencapai pemaknaan baru dari pengalaman traumatis, kita perlu menghargai dan memvalidasi pengalaman tersebut. 

“Perlunya sembari berdialog dengan diri untuk menggunakan perspektif menghargai pengalaman dan perasaan diri atau validasi diri. Lakukan ini oleh diri sendiri. Pahami bahwa pengalaman itu tidak satu sisi bisa hitam putih dan berwarna warni. Pengalaman yang hadir dalam kehidupan tidak bisa dilihat hanya benar atau salah, tidak untuk dihakimi.” (Dinihari Suprapto, Konselor di Ruang Aman Perempuan Berkisah)

Untuk memaknai pengalaman dalam proses self healing, Dini memaparkan enam fase yang selama ini ia lakukan.

Pertama, fase awareness. Pada fase ini, kita diharapkan untuk membangun kesadaran dalam jurnal. Hal ini dapat dilakukan dengan menggambar simbol visual atau tulisan naratif yang menceritakan pengalaman secara kronologis. Selanjutnya, saat kita bisa menceritakan pengalaman yang sama dari perspektif yang lebih logis, kita sudah masuk ke fase berikutnya yakni understanding atau pemahaman,

Kemudian, lakukan kilas balik pada momen awal terjadinya pengalaman traumatis. Lakukan dialog diri dan tanyakan hal yang sepatutnya diucapkan atau dilakukan pada diri kita saat mengalami fase traumatis tersebut. Hal ini membuat kita memasuki fase compassion atau welas asih dalam perjalanan self healing

Tibalah saatnya fase yang cukup menantang yakni forgiveness atau memaafkan. Petakan sosok yang sepatutnya dimaafkan. Bisa jadi, sosok yang perlu dimaafkan bukanlah orang lain melainkan diri sendiri. Hal ini perlu agar kita bisa melewati proses mengikhlaskan dan melepaskan sensasi sesak akibat peristiwa traumatis tersebut.

Setelah berhasil memaafkan, saatnya kita mengambil hikmah dari pengalaman traumatis tersebut. Inilah bagian dari fase learning atau memetik pembelajaran. Lagi-lagi, penting untuk jujur pada diri sendiri saat melakukan dialog diri. Ketika kita sampai pada pemaknaan baru atas peristiwa traumatis tersebut, berarti kita telah sampai pada fase transformasi. 

Enam fase tersebut bisa memandu kita dalam menuangkan rasa ke dalam bentuk jurnal visual. Jangan takut untuk meregangkan garis, bermain warna, atau menuangkan kalimat dalam melewati setiap fase. Seperti yang Dini sampaikan, pengalaman itu ada untuk dimaknai kembali bukan untuk dihakimi.

Mindfulness: Strategi Self Healing Gratis Kaya Manfaat

Jika mendengar kata meditasi, kita pasti teringat dengan posisi duduk bersila dengan badan tegak dan mata tertutup atau dikenal juga posisi semedi. Padahal, meditasi memiliki berbagai bentuk salah satunya adalah mindfulness

Menurut Izzuliyah, fasilitator ketiga dalam serial diskusi self healing ini, mindfulness adalah kemampuan dasar manusia untuk hadir sepenuhnya. Sosok yang mindful akan sadar dimana kita berada, sadar akan hal yang dilakukannya, serta tidak terlalu reaktif.

“Saat kita mindful, misalnya kita terpicu trauma, mindfulness membantu kita mengontrol respons kita pada pemicu trauma tersebut. Inti dari minfulness adalah meyadari menerima dan menemukan makna baru.” (Izzuliyah Nur Baitullah, Konselor Ruang Aman Perempuan Berkisah)

Untuk memanfaatkan mindfulness sebagai strategi self healing, kita mesti memahami empat inti dari mindfulness yakni attention, intention, presence, dan openness. Attention berarti mengarahkan dan mempertahankan perhatian pada stimulus tanpa penghakiman, Terkadang, pemicu trauma bisa hadir kapan saja dan di mana saja. Untuk menjadi pribadi yang mindful, kita memang mesti mengenali pemicu trauma, tetapi usahakan untuk tidak memberi penghakiman pada stimulus tersebut. 

Selanjutnya adalah intention yang berarti meningkatkan kesadaran diri. Pada tahap ini, sadari efek yang ditimbulkan dari stimulus pemicu trauma kepada diri. Efeknya bisa bermacam-macam misalnya meningkatnya detak jantung, tangan yang bergetar, atau respons fisik dan nonfisik lain yang ditimbulkan kepada tubuh.

Saat tubuh merespons dengan ketidaknyamanan, pikiran cenderung membawa kita kembali pada fase traumatis. Itu sebabnya, kita perlu being presence atau menyadari keberadaan kita. Untuk melakukannya, Izzul memberikan tips agar kita menarik napas kemudian melihat jam dan kalender terdekat dari kita. Hal ini berfungsi untuk mengingatkan diri bahwa kita tidak berada dalam kondisi traumatis tersebut.

Terakhir adalah openness yanki memerhatikan pikiran, emosi, dan fisik kita secara objektif dan tanpa penghakiman. Pada tahap ini jadilah welas asih dan jujur pada diri sendiri. Terima kondisi diri yang mungkin masih sulit mengendalikan respons trauma sambil terus berusaha menenangkan diri dengan menghadirkan seluruh kesadaran di masa kini. 

Izzul menambahkan bahwa melakukan empat inti mindfulness di atas harus dibarengi dengan latihan pernapasan yang baik. Napas bukan sekadar kunci kehidupan, napas juga merupakan kunci ketenangan dan kontrol diri yang baik. Itu sebabnya mindfulness merupakan bagian dari meditasi sebab untuk bisa melakukan mindfulness secara utuh, kita perlu memerhatikan napas kita. Meski begitu, mindfulness bisa menjadi strategi praktis dari meditasi karena pemicu trauma bisa datang kapan saja di waktu yang tidak memungkinkan untuk melakukan meditasi.

Untuk memaksimalkan mindfulness sebagai metode self healing, Izzul membagikan beberapa strategi yang dapat dilakukan. Pertama, kenali dan terima emosi yang hadir saat terpicu trauma. Kemudian, identifikasi dan namai emosi tersebut. Kita perlu melihat emosi tersebut sebagai hal yang sementara agar bisa memiliki kepercayaan diri melewati fase ini.

Untuk bisa sembuh, lepaskan juga keinginan untuk mengontrol sebab ego hanya akan membuat kita menjadi sosok penuh penghakiman. Lalu, pahami akar masalah pemicu trauma sambil tetap bernapas agar tubuh tetap rileks dan gelombang otak menurun. Kondisi rileks ini akan membuat kita tidak reaktif merespons trauma dan membantu kita melihat opsi lain untuk menenangkan diri.

Ketika Teman-teman melakukan mindfulness dan meditasi, Teman-teman akan terlepas dari ketakutan dan rasa sakit karena semua ketidaknyaman dan ketaktuan bersifat sementara. Ketika pikiran kita menimbulkan rasa sakit, maka pikiran kita juga yang bisa mengobatinya.” (Izzuliyah Nur Baitullah, Konselor di Ruang Aman Perempuan Berkisah)Melalui seri diskusi ketiga ini, para calon anggota Perempuan Berkisah 2022 tidak hanya dibekali oleh pengetahuan untuk membantu konseli dengan berbagai strategi self healing. Namun, para peserta juga diajak berdaya dengan semakin mengenal diri serta menyembuhkan diri sendiri sebelum kelak menjadi pendamping korban di Ruang Aman Perempuan Berkisah.