Disclaimer: Catatan pembelajaran ini tidak memberikan informasi spesifik berupa nama korban dan pelaku, alamat tempat tinggal korban maupun pendamping korban, dan informasi spesifik lainnya yang dapat mengancam keamanan korban. Informasi lebih lengkap hanya dijelaskan dalam dokumen laporan pendampingan. Catatan pembelajaran hanya memberikan informasi terkait kasus secara singkat, kondisi korban, bentuk kekerasan, faktor yang memengaruhi kondisi korban, proses dukungan psikososial dan pendampingan korban, strategi, tantangan dan refleksi dalam proses pendampingan yang dilakukan oleh tim konselor dan pendamping korban dari Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh Berdaya (Pribudaya). Layanan dukungan psikososial dan pendampingan korban secara langsung selama April-September 2025 ini didukung oleh Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) melalui Program Pundi Perempuan 2025 Termin I.
Seorang mahasiswi merasa putus asa dengan sekian peristiwa traumatis yang dialaminya. Dia adalah korban kekerasan seksual oleh seorang laki-laki yang mengaku sebagai dukun hingga hamil dan melahirkan. Dia juga kerap diteror oleh pelaku yang mengancam akan menyebarkan video intim mereka tanpa persetujuan (consent) kepada semua tetangga, teman kampus, hingga teman media sosialnya. Di tengah rasa putus asanya, korban akhirnya mengakses platform @perempuanberkisah untuk menyuarakan kasus yang dialaminya, serta berlanjut hingga layanan konseling online dan pendampingan secara langsung bersama Tim Pendamping korban dari Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh dan Berdaya (Pribudaya).
Apa yang menyebabkan korban terjebak dengan pelaku ?
Berdasarkan pernyataan korban dalam proses konseling online yang dilakukan konselor Yayasan Pribudaya, korban mengaku bahwa sebelumnya dia juga sudah tiga kali dimanfaatkan oleh laki-laki yang ternyata hanya ingin berhubungan seksual sehingga menjadi rentan secara emosional. Korban mengatakan bahwa saat pertama kali bertemu dengan pelaku yang mengaku sebagai “dukun”, dia menceritakan hal – hal pribadi terutama tentang hubungan dengan ketiga laki – laki sebelumnya. Hal ini pun dimanfaatkan oleh pelaku dengan modus menebak korban tengah mengidap penyakit menular seksual dan mengaku bisa menyembuhkannya. Korban yang dalam kondisi kalut pun akhirnya percaya dan terjerat oleh manipulasi pelaku.
Manipulasi dan Kontrol oleh Pelaku
Korban melakukan hubungan dengan “dukun” tersebut dibawah kontrol manipulasi pelaku atas ketidaktahuan dan ketidaksadarannya. Dia tersugesti dengan pernyataan pelaku yang berdalih bisa menyembuhkan. Namun dalam prosesnya, pelaku justru memaksa korban untuk melakukan hubungan seksual dan menyatakan bahwa korban sudah terkena HIV/AIDS sehingga membuat korban semakin bingung dan takut. Korban juga menyetujui permintaan pelaku agar berhenti bekerja selama proses pengobatan. Meskipun sudah dinyatakan sembuh oleh pelaku, korban mengaku tetap diminta untuk melakukan hubungan seksual selama berulang kali hingga dirinya hamil dan melahirkan pada tahun 2024. Bahkan setelah melahirkan, bayi korban diberikan kepada keluarga pengasuh yang sudah dipilih oleh pelaku untuk diadopsi agar mendapat pengasuhan yang layak dan lebih baik. Usia pelaku sudah tidak muda lagi dan mempunyai istri.
Rasa takut dan bersalah
Korban merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara yang sejak kecil tinggal dan dibesarkan oleh ibu tunggal. Oleh karena itu, saat korban menyadari bahwa dirinya ternyata hamil, dia tidak berani pulang ke rumah karena ada rasa takut sekaligus rasa bersalah yang menghantui. Menurut pengakuan korban, ibunya sudah sempat curiga karena putri bungsunya tidak pernah pulang. Korban memilih untuk bertahan di kota tempatnya menempuh ilmu dan mengikuti perkuliahan dengan kondisi perutnya yang sudah membesar.
Korban memberanikan diri untuk pergi ke dokter tapi bukan hanya memeriksakan kandungan, dia juga mengatakan ingin melakukan kuretase dengan tujuan untuk menggugurkan bayi dalam kandungannya karena merasa tidak mungkin untuk terus menerus menutupi kehamilannya dan tidak pulang ke rumah. Akan tetapi dokter menyatakan tidak bisa melakukan tindakan kuretase terhadap korban karena usia kandungannya yang sudah terlalu tua ditambah lagi dengan kondisi janinnya yang dinyatakan sehat. Hal ini tentu saja membuat korban semakin bingung dan frustasi karena secara psikis dia belum siap jika keluarganya mengetahui aib yang sudah menimpa dirinya.
Stigma sosial dan minimnya dukungan
Pasca gagal melakukan kuretase, kondisi psikis korban semakin memburuk. Dia seringkali menangis tanpa sebab, merasa kosong, dan terjebak dalam pusaran rasa bersalah serta ketakutan. Dalam kondisi mental yang rapuh dan penuh kebingungan, korban pun memberanikan diri untuk menghubungi pelaku karena keputusannya merahasiakan masalah tersebut keluarga membuat dia merasa harus menanggung masalahnya seorang diri dan memang pada saat itu pelaku berusaha untuk menenangkan korban yang sedang mengalami perubahan hormon kehamilan.
Namun, kabar tentang kehamilan korban mulai menyebar di lingkungan kampung halamannya. Desas-desus itu berasal dari tetangga dan teman-teman dekat yang mulai membicarakan korban secara diam-diam dikarenakan dia sudah lama tidak pulang. Hal ini tentu menjadi suatu alasan yang memperkuat kecurigaan sang ibu sehingga akhirnya keluarga korban mempertanyakan kondisi yang sebenarnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut memperparah tekanan dari masalah yang sudah korban tanggung sebelumnya.
Minimnya dukungan dari lingkungan sekitar, ditambah dengan stigma sosial yang melekat pada perempuan yang mengalami kehamilan di luar pernikahan, membuat korban merasa semakin terasing. Dia bukan hanya menanggung luka fisik dan psikis, tapi juga harus menghadapi penghakiman sosial yang kejam. Bukannya mendapat pelukan dan pemahaman, korban justru menerima tatapan sinis dan bisikan menusuk. Dalam situasi seperti ini, banyak perempuan merasa tidak punya pilihan lain selain memendam semuanya sendiri, padahal dukungan emosional sangat penting dalam proses pemulihan mereka.
Ancaman dan Intimidasi
Korban memutuskan untuk pulang ke rumah ibunya dan bertekad untuk menjauhi pelaku. Korban juga memblokir nomor dan semua media sosialnya karena merasa sudah lelah mental dan fisik dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh pelaku. Bahkan pasca melahirkan, korban merasa sangat depresi dan ingin bunuh diri, Dia sudah sangat muak sekaligus jijik jika mengingat setiap kejadian yang membuatnya trauma. Apalagi korban juga baru mengetahui bahwa pelaku memang suka menipu orang dengan mengaku sebagai dukun dan ada 2 korban lain yang juga mengalami hal serupa. Pelaku memliki banyak hutang termasuk dengan keluarga korban sebesar 7 juta. Korban sangat berharap bisa segera lepas dari jeratan pelaku. Namun, dia merasa semua usahanya seolah sia-sia. Sejauh apapun korban bersembunyi, pelaku selalu mempunyai cara untuk menemukannya. Menurut korban, pelaku terkadang akan memainkan emosinya dengan meminta maaf dan mengajak bertemu. Jika korban menolak, pelaku akan menjadikan konten intim mereka sebagai senjata.
Korban mengakui bahwa dia memang pernah melihat pelaku merekam kegiatan mereka saat melakukan hubungan seksual dan merasa sudah pernah menghapusnya. Ternyata, pelaku masih menyimpan rekaman tersebut dan menjadikannya sebagai alat untuk mengintimidasi korban. Jika korban tidak bersedia menemui atau berhubungan dengannya maka pelaku mengancam akan menyebarkan video tersebut kepada publik dan keluarga korban. Ancaman lain juga diterima korban pasca melahirkan sampai dengan saat ini, dimana pelaku menguntit media sosial korban, bahkan mencari korban sampai di sekitar area kosnya. Selama proses konseling online pun, korban masih kebingungan untuk menghadapi ancaman pelaku lewat pesan yang dikirim dengan nomor baru. Pesan tersebut berisi ancaman bahwa pelaku ingin mengambil bayi korban dari orang tua asuhnya. Tentu hal ini sangat mengganggu kehidupan korban sehingga membuatnya merasa takut dan cemas.
Dukungan psikososial, akses layanan kesehatan, dan pendampingan korban
Dukungan proteksi adalah bentuk bantuan yang diberikan untuk memenuhi perlindungan dan keamanan korban agar tetap aman atau terlindungi dari risiko atau bahaya ancaman dari pelaku. Beberapa pembelajaran yang telah dilakukan pendamping bersama korban menjadi refleksi penting dari proses dukungan psikososial yang telah dilakukan secara setara antara kedua belah pihak, beberapa di antaranya:
Keberanian korban mengungkap kasusnya: Awal terbukanya dukungan psikososial
Upaya korban untuk bersuara dan mengungkap kasus yang dialaminya adalah salah satu hal penting mengapa kasus ini terungkap dan betapa korban sangat membutuhkan dukungan pendampingan psikosial. Bersuara (speak up) adalah salah satu langkah penting sebagai awal terbukanya semua dukungan bagi korban. Dalam konteks ini, korban telah melakukannya. Bermula dari mengirimkan kisahnya melalui platform instagram @perempuanberkisah dan berlanjut di ruang konseling Yayasan Pribudaya, korban akhirnya mulai mendapatkan serangkaian pendampingan secara langsung dari Yayasan Pribudaya dan pengada layanan lainnya.
Di ruang konseling, korban bukan hanya mampu mengungkap lebih dalam kasus yang dialaminya, namun juga mendapatkan serangkaian tindakan psychological first aid (PFA) sebagai dukungan psikologis awal yang dibutuhkan korban. Selain itu juga kebutuhan praktis dan mendasar yang dibutuhkan korban, sebagai membangun kesadaran kritis korban melalui dialog reflektif. Hingga beberapa rekomendasi self-healing serta kebutuhan untuk langkah berikutnya dengan memastikan consent (persetujuan) korban dan mitigasi risiko. Beberapa di antaranya adalah bagaimana pentingnya korban untuk mengabaikan semua nomor baru yang mengirimkan pesan dengan indikasi ancaman dan intimidasi dari pelaku apapun bentuknya yang dapat mempengaruhi kondisi psikis korban, termasuk meminimalisir mengunggah konten terbaru di media sosial apapun, karena pelaku masih terus menguntitnya dan berusaha mencari celah untuk memanipulasi serta memainkan emosi korban.
Konselor Yayasan Pribudaya mempertimbangkan kondisi korban yang mengalami gatal pada area vaginanya. Meskipun pasca melahirkan sempat dilakukan cek kesehatan secara menyeluruh termasuk voluntary counseling and testing (VCT) kepada sang bayi dengan hasil non reaktif, tetapi konselor menyarankan untuk melakukan cek VCT ulang agar lebih aman dan menambah keyakinannya. Hal ini perlu dilakukan mengingat pasca melahirkan, korban masih berhubungan seksual dengan pelaku karena mendapat ancaman dan sebelumnya korban juga pernah melakukan hal yang sama dengan kakak tingkatnya. Ditambah lagi dengan kondisi pelaku yang sudah memiliki pasangan tapi juga melakukan hubungan seksual dengan korban lainnya.
Konselor juga membangun rasa percaya diri dan rasa keberhargaan terhadap korban atas dirinya untuk terus pulih dari trauma yang sempat menyebabkan kondisi psikisnya tertekan. Dalam dua kali proses konseling yang dilakukan secara online, korban sudah merasa lebih baik dan berangsur-angsur pulih. Korban bahkan berani untuk mengabaikan dan memblokir seluruh nomor baru yang masuk dari pelaku sesuai dengan yang disarankan oleh konselor meskipun sesekali masih mengalami kewaspadaan apabila pelaku benar-benar akan mengadukan kejadian yang sebenarnya kepada keluarganya.
Berdasarkan perkembangan kondisi korban yang cukup signifikan, maka pendampingan secara langsung pun dilakukan karena korban tidak bisa mengakses layanan VCT secara mandiri dan dikhawatirkan petugas puskesmas menanyakan banyak hal, termasuk identitas korban. Pendampingan langsung bersama korban dilakukan untuk membantu korban mengakses layanan VCT secara aman tanpa diketahui identitasnya. Di sisi lain pendampingan juga dilakukan untuk memperkuat mental korban, mengingat korban beberapa kali menceritakan kasusnya yang berulang khususnya berkaitan dengan ancaman pelaku.
Hari pertama pendampingan : pendamping lapangan dari Yayasan Pribudaya saat pertama kali bertemu korban menilai bahwa kondisi korban lebih stabil secara psikis. Menurut pendamping pembawaan korban juga lebih tenang saat bercerita, berbeda dengan proses konseling pertama yang terasa menggebu-gebu. Dalam proses pendampingan langsung ini, pendamping juga memberikan dua pilihan penyelesaian masalah lengkap dengan resiko yang akan dihadapi kedepannya dan mempersilahkan korban untuk menentukan pilihan terbaik.
- Pilihan pertama, korban akan membawa kasus ini ke pengadilan untuk mendapatkan keadilan agar pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal. Jika pilihan ini diambil, Yayasan Pribudaya akan membantu mengadvokasi dan merujuk ke WCC setempat, asal tempat korban tinggal. Di lain sisi, jika pilihan ini diambil, maka korban juga harus mempersiapkan mental 3-5 kali lipat, dengan situasi yang mungkin tidak pernah diperkirakan, termasuk orang tuanya akan mengetahui kasus ini.
- Pilihan kedua, korban hanya ingin lepas dari pelaku. Jika pilihan ini diambil, korban cukup fokus dengan proses pemulihannya, dia fokus pada studinya saat ini dan mengabaikan segala bentuk ancaman pelaku terhadap dirinya. Korban harus berani untuk memblokir dan menutup akses pelaku dan meminimalisir untuk membuat konten di media sosial agar tidak dipantau oleh pelaku. Dengan apa yang sudah dialami korban, korban pun tidak punya hutang penjelasan atas dirinya kepada siapapun. Sekalipun, pilihan ini memiliki konsekuensi pelaku akan terus melakukan ancaman pada korban karena pelaku masih bebas diluar sana atau bahkan ada korban selanjutnya.
Diantara dua pilihan di atas, saat ini korban memilih untuk pilihan kedua. Dia fokus untuk pulih dengan mengabaikan segala bentuk ancaman dari pelaku, sekaligus tetap menyiapkan mental dengan kemungkinan yang tidak bisa diprediksi dan berharap Tuhan menutup rapat aibnya saat ini. Sesungguhnya pendamping secara pribadi berharap korban berani mengambil pilihan yang pertama untuk membawa kasus ini ke ranah hukum. Namun, mengingat ini adalah pilihan atas hidup korban secara sadar, maka pendamping pun juga tidak bisa memaksakan kehendaknya. Pendamping menghargai setiap keputusan yang sudah diambil oleh korban dan menganggap korban sudah memahami betul resiko yang akan dihadapi kedepannya.
Hari kedua pendampingan : pendamping menemani korban untuk bertemu dengan salah seorang volunteer dari Komisi Penanggulangan Aids (KPA) di kabupaten tempat korban tinggal saat ini. Pertemuan ini bertujuan untuk meyakinkan korban guna mengakses layanan VCT, termasuk menjelaskan bahwa layanan tersebut dilakukan secara gratis, tanpa ada biaya yang harus dikeluarkan dan identitasnya akan terjaga secara aman. Setelah memahami penjelasan dari pihak Volunteer KPA korban pun bersedia melakukan layanan VCT. Dari pertemuan tersebut juga, korban langsung dijadwalkan untuk VCT di puskesmas yang sudah ditentukan oleh pengurus KPA setempat.
Hari ketiga pendampingan : pendamping tidak lupa menguatkan korban dengan segala hasil yang akan terjadi. Selain itu, pendamping juga mengingatkan jika pihak KPA setempat menanyakan kronologi kasus kekerasan kepada korban dan membuatnya tidak nyaman, korban boleh menolak untuk menjawab dan menyampaikan bahwa dirinya tidak nyaman atas pertanyaan yang diajukan. Korban boleh menyarankan agar pendamping dari KPA setempat menanyakan langsung kepada pendamping Yayasan Pribudaya. Hal ini, dilakukan untuk menjaga kestabilan emosi korban karena menceritakan kronologi atas kekerasan yang dialaminya secara berulang ulang kepada pihak lain tidaklah mudah dan kenyamanan korban tetaplah perlu untuk dijaga.
Hari keempat pendampingan : pada hari terakhir, pendamping Yayasan Pribudaya tidak menemani korban secara langsung untuk melakukan VCT karena dalam proses ini korban sudah didampingi oleh pengurus KPA setempat di puskesmas yang sudah ditentukan. Saat siang hari, pendamping Yayasan Pribudaya mendapatkan kabar jika hasil tes VCT korban adalah non reaktif. Setelah mengetahui hasilnya non reaktif, pendamping juga diberi tahu bahwa korban merasa lega dan akan lebih fokus untuk memulihkan dirinya sendiri dengan terus semangat melanjutkan studinya sampai selesai.
Refleksi Pendampingan Korban
Manipulasi seksual dan keterbatasan korban mengungkapkan kekerasan seksual
Tim redaksi Instagram Perempuan Berkisah dikejutkan dengan kisah yang dikirim oleh sender yang menceritakan tentang kekerasan seksual pada dirinya. Saat membaca kisah itu, rasa ngilu menjalar karena kekerasan dan trauma yang dialami oleh sender terasa hingga meja redaksi. Sender nampak kebingungan dengan keadaannya. Dia ingin mencari pertolongan, tetapi malah justru dijerumuskan oleh laki-laki yang memanipulasinya. Setelah kisahnya diunggah, sender menghubungi Yayasan Pribudaya untuk mencari pertolongan.
Sender mengalami kekerasan seksual yang bermula dari sexual coercion atau manipulasi yang berujung pada tindakan seksual. Sexual coercion tidak hanya terjadi pada relasi romantis tetapi juga bisa terjadi pada berbagai jenis relasi, salah satunya seperti yang dialami oleh korban di atas di mana dia tidak terikat relasi romantis dengan “dukun” tersebut.
Pelaku seperti “dukun” di atas melakukan manipulasi, penipuan, dan ancaman untuk melakukan hubungan seksual. Korban dari permainan emosi ini akan sulit mengatakan “tidak” atau menolak karena terintimidasi. Dalam relasi romantis, seperti juga yang dialami oleh korban, partner dalam relasi romantis akan membujuk dan memainkan emosi pasangannya yang semula tidak mau melakukan hubungan seksual menjadi mau melakukannya. Dengan dalih ini, pihak lain yang mendengar bahkan korban pun seolah mengakui bahwa hubungan seksual tersebut berdasarkan consent atau persetujuan. Padahal, consent atau persetujuan dalam melakukan hubungan seksual harus didasari dengan pengetahuan dan informasi yang setara, termasuk juga risiko-risiko yang akan dihadapi kelak setelah melakukan hubungan seksual.
Pada relasi-relasi korban yang sebelumnya, dia belum menyadari bahwa apa yang terjadi padanya merupakan bentuk kekerasan seksual. Hal ini karena pemahaman kekerasan seksual di media dan juga yang dipahami di masyarakat masih sangat terbatas. Diskursus seksualitas yang masih tabu di dalam masyarakat menjadi salah satu penyebab keterbatasan korban mengungkapkan kekerasan seksual yang dialaminya.
Pada konteks kekerasan seksual yang dialami oleh korban di atas, terdapat informasi tambahan bahwa pelaku merupakan residivis yang pernah melakukan kejahatan serupa pada beberapa korban perempuan lainnya dengan rentang usia 20-25 tahun dan ada pula yang lanjut usia. Menurut hukum, pelaku melanggar pasal-pasal dalam beberapa beleid yaitu antara lain:
- Pelecehan seksual fisik karena muslihat : UU No 12/2022 pasal 6.c
- Eksploitasi seksual : UU No 12/2022 pasal 12
- Perbudakan seksual : UU No 12/2022 pasal 13
- Penguntitan : KUHP pasal 317, 335, dan 493
- Kekerasan berbasis gender online: UU No 12/2022 pasal 14
Bentuk Sexual Coercion dalam Relasi
Coercion merupakan bentuk dari relasi dengan dasar patriarki yang mengakar. Relasi patriarki berdiri pada pijakan yang timpang dan tidak setara. Coercion dan consent merupakan hal yang berbeda. Raypole (2020) dalam artikelnya di situs Healthline berjudul “What Does Sexual Coercion Look Like?” menuliskan ada beberapa ciri coercion yang dianggap akan menjadi consent atau persetujuan. Ciri tersebut antara lain:
- Guilt trip dan Gaslight
Seseorang yang melakukan coercion mencoba untuk merayu dan membujuk korban dalam berhubungan seks. Salah satu contohnya adalah kalimat yang pada dasarnya seperti “semua orang yang berpacaran/menikah wajib berhubungan seks”. Dengan kalimat tersebut, korban akan merasa bersalah jika tidak menuruti keinginan pelaku (guilt trip). Dari hal ini, korban akan merasa dirinya adalah pasangan yang buruk dan tidak pengertian.
Pelaku juga melakukan gaslight, misalnya menyalahkan korban karena moodnya jelek karena tidak melakukan hubungan seksual. Dengan demikian, korban akan menuruti keinginan pelaku dan pelaku akan menganggap hal tersebut sebagai consent atau persetujuan.
- Tekanan sosial
Dalam masyarakat yang patriarkis, penolakan dari perempuan disebut sebagai suatu pembangkangan dan rasa tidak bersyukur. Selain dari pelaku langsung, tekanan-tekanan sosial dari lingkungan sekitar juga menyebabkan adanya dorongan coercion. Misalnya, dalam relasi pernikahan, perempuan yang mengatakan “tidak” untuk berhubungan seksual dengan suami akan dianggap tidak normal oleh keluarganya atau lingkungannya.
- Ancaman dan intimidasi
Sexual coercion tidak hanya terjadi pada relasi romantis, tetapi juga karena ketimpangan relasi kuasa. Salah satunya contoh adalah relasi antara pelaku dan korban seperti di atas. Pelaku yang mengaku “dukun” mengatakan dapat menyembuhkan korban dari “penyakitnya”. Ini adalah bentuk relasi kuasa di mana orang-orang yang merasa memiliki “pengetahuan” dapat mengancam dan mengintimidasi untuk berhubungan seksual.
Hal ini juga sering terjadi pada beberapa kasus seperti antara atasan dengan karyawan, guru dengan murid, atau dosen dengan mahasiswa. Seseorang yang memiliki kuasa dan power lebih tinggi memanfaatkan kedudukannya untuk mengancam dan mengintimidasi orang yang memiliki kedudukan lebih rendah atau memiliki pengetahuan lebih rendah agar dapat melakukan hubungan seksual. Ancaman dan intimidasi yang dilakukan seringkali diucapkan dengan halus sehingga seolah korban menyetujui perbuatannya.
- Memohon-mohon
Salah satu ciri dari coercion adalah seseorang meminta hingga memohon-mohon untuk melakukan hubungan seksual berkali-kali. Jika korban mengatakan tidak, maka pelaku akan membujuk dan memohon beberapa kali hingga menyebabkan korban merasa tidak enak dan merasa bersalah untuk menolak.
Situasi ini juga bisa terjadi ketika korban menolak untuk melakukan hubungan seks karena sedang lelah, tetapi pelaku tetap saja memohon sambil mengatakan akan menunggu korban jika sudah tidak merasa lelah lagi. Korban akan merasa bahwa dia perlu menyesuaikan diri dengan pelaku sehingga pelaku tidak merajuk atau memicu konflik.
Dalam situasi ini, pelaku tidak memberikan kesempatan pada korban untuk mengatakan “tidak” yang berarti tidak melakukannya tanpa kesadaran korban. Jika korban menolak, sebagai orang yang tidak akan melakukan kekerasan, maka seseorang seharusnya bisa menghargai penolakan tersebut.
Pada relasi yang sehat, consent atau persetujuan merupakan kesadaran penuh yang dimiliki oleh orang-orang yang terlibat dalam relasi tersebut. Consent tidak diberikan karena terpaksa mengiyakan karena diminta terus menerus. Consent juga tidak diberikan karena merasa bersalah. Pengetahuan akan risiko-risiko seksual harus dipahami secara sadar oleh masing-masing pihak, begitu pula dalam informasi mengenai seksualitas, termasuk penggunaan alat kontrasepsi.
Selain pendampingan secara langsung, Yayasan Pribudaya juga telah mendampingi 16 kasus kekerasan berbasis gender (KBG), di antaranya 14 kasus melalui layanan konseling online dan 2 kasus melalui pendampingan korban secara langsung. Layanan dukungan psikososial dan pendampingan korban secara langsung selama April-September 2025 ini didukung oleh Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) melalui Program Pundi Perempuan 2025 Termin I.