Meluruskan Sesat Pikir Pasien Corona “Tidak Diapa-apain”, Pulang Paksa, hingga Meninggal Dunia di Rumah

Meluruskan Sesat Pikir Pasien Corona “Tidak Diapa-apain”, Pulang Paksa, hingga Meninggal Dunia di Rumah

Perkara “tidak diapa-apain” ini sering sekali menjadi keluhan dari pasien. Bahkan tidak jarang pasien marah-marah kepada tenaga medis karena sudah menunggu di unit gawat darurat (UGD), tetapi “tidak diapa-apain”. Saya sendiri pernah diancam akan dilaporkan ke pihak berwenang karena dianggap lalai “tidak ngapa-ngapain pasien”.

Pernah dengar ada kabar pasien yang merasa “gak diapa-apain” di sebuah rumah sakit? Akhir-akhir ini keluhan semacam ini pun muncul, termasuk yang terjadi di Rumah Sakit (RS) Wisma Atlet. Berdasarkan informasi beberapa pihak, ada kasus pasien pulang paksa yang merasa “gak diapa-apain”, lalu dua hari kemudian meninggal dunia di rumahnya.

Di sini saya bermaksud meluruskan sesat pikir tentang “gak diapa-apain”, berdasarkan pengalaman saya sebagai tenaga medis. Masyarakat perlu paham bahwa apa yang dilakukan Wisma Atlet adalah MONITOR, bukan “Gak Diapa-apain”. 

MEMONITOR artinya pasien akan dipantau perkembangan gejalanya; dipantau ketika muncul misalnya demam diberi obat demam. Ketika gejala mulai berat, maka pasien dirujuk ke RS rujukan. Jadi sebaiknya bersabar dan ikuti prosedur, Jangan gegabah, jangan sampai terjadi lagi pasien pulang paksa dan akhirnya meninggal setelah memilih tinggal di rumah.

Sejujurnya, makin perih rasanya ketika mendengar cerita bahwa ada pasien yang meninggal dunia karena memaksa keluar dari rumah sakit (RS) Darurat Wisma Atlet. Sungguh nelangsa rasanya hati ini.  Semenjak pandemik Covid-19, saya sendiri mencoba membatasi diri atas informasi dari semua media. Setiap hari saya hanya memantau jumlah kasus terbaru termasuk berapa yang meninggal. 

Perih rasanya hati saya setiap membaca info terkini. Bagi saya jumlah pasien yang meninggal setiap harinya bukanlah angka, tetapi nyawa dari saudara sebangsa kita. Mereka adalah bapak dari seseorang, istri dari seseorang, kakak dari seseorang, anak dari seseorang, guru dan juga sahabat seseorang. 

Pengalaman menghadapi pasien yang “pulang paksa”, bagi saya sebagai seorang dokter bukan hanya sekali saya alami.  Istilah “pulang paksa” ini merupakan istilah yang kami gunakan untuk pasien yang menolak perawatan lebih lanjut dan meminta pulang di luar saran dokter. Ketika saya bekerja di salah satu rumah sakit (RS), rasanya setiap minggu ada saja pasien yang pulang paksa. Mereka lebih memilih untuk berobat di tukang pijat langganan. Ada juga pasien yang lebih memilih meminum obat herbal yang disarankan ibu mertuanya. Dalam hal ini,  termasuk pasien yang merasa tidak ada gunanya dirawat di RS karena tidak diapa-apain oleh dokternya.

PELAYANAN PASIEN DISESUAIKAN DENGAN PROTAP BERLAKU

Perkara “tidak diapa-apain” ini sering sekali menjadi cerita testimoni dari pasien. Bahkan tidak jarang pasien marah-marah kepada tenaga medis karena sudah menunggu di unit gawat darurat (UGD), tetapi “tidak diapa-apain”. Saya sendiri pernah diancam akan dilaporkan ke pihak berwenang karena dianggap lalai “tidak ngapa-ngapain pasien”.

Padahal saya sendiri bingung apa yang pasien harapkan dengan “diapa-apain” oleh tenaga medis. Dipasang infus kah? Diberi obat suntik kah? Dirontgen kah? Dipindah ke ruang rawat inap kah? Setiap pasien selalu dilayani sesuai dengan prosedur tetap (Protap atau SOP) yang berlaku, sesuai dengan triasenya atau dipilah siapa yang lebih gawat harus diprioritaskan, siapa yang masih bisa menunggu. Namun, soal “tidak diapa-apain” ini masih saja jadi keluhan utama.

Tenaga medis tentu kesulitan menjelaskan, apalagi berusaha mengubah cara pandang pasien yang seperti ini. Akhirnya kami lebih sering membiarkan sambil mendoakan dalam hati. 

Kini pandemic corona (Covid 19) telah mengamplifikasi semua karakter manusia. Yang egois akan langsung menumpuk alat pelindung diri (APD), yang mudah panik akan langsung menumpuk bahan makanan, yang dermawan segera menggalang dana, termasuk yang kebiasaan “minta diapa-apain” oleh tenaga medis. 

Dalam kondisi normal, pasien yang meninggal setelah pulang paksa biasanya tidak lagi memberitahu tenaga medis dan menyatakan penyesalannya, serta resiko ditanggung sendiri. Tetapi dalam kondisi pandemic Covid 19 seperti ini, pasien yang meninggal karena pulang paksa memberikan beban berat bagi sekelilingnya. Keluarganya naik status menjadi orang dalam pemantauan (ODP), instansi kesehatan setempat harus melaksanakan prosedur pemakaman pasien Covid 19, lalu mereka jadi ODP juga, rumah harus didesinfeksi ulang, dan sekian tindakan lainnya. 

SISTEM BERBEDA “RS DARURAT” DAN “RS RUJUKAN”

Ada sistem yang berbeda yang telah disusun pemerintah dalam menghadapi pandemi ini. Pemerintah mengatur adanya RS darurat dengan RS rujukan untuk mengakomodir setiap pasien. RS darurat (dalam hal ini Wisma Atlet) dimaksudkan untuk orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP) dan pasien positif Covid 19 dengan kriteria di antaranya adalah usia 15-60 tahun; activity daily life mandiri; tidak ada penyakit penyerta yang bisa memberatkan; dan tidak ada gejala berat.

Sementara RS rujukan (seperti yang disebarkan infonya lewat Whatsapp (WA) Covid 19 pemerintah) di setiap daerah, menerima pasien dengan gejala-gejala berat karena RS rujukan lebih siap dengan sarana prasarananya. 

Di RS darurat yang dilakukan oleh tenaga medis adalah memonitor pasien, artinya memantau perkembangan gejala pasien, memberikan obat sesuai gejala misalnya bila ada demam diberi obat demam, dan merujuk ke RS rujukan bila mulai muncul gejala berat. 

Monitor pasien adalah tindakan yang sangat penting, juga sangat melelahkan. Tenaga medis harus memeriksa pasien per periode waktu tertentu, jeli melihat perubahan gejala sekecil mungkin yang bisa mengarah berbahaya. Selain itu memenuhi kebutuhan pasien dalam rangka antisipasi dan pencegahan agar pasien tidak memburuk, sekaligus memastikan pasien tidak mendapatkan penanganan yang berlebihan alias overtreatment yang bisa berakibat buruk juga. 

Tindakan yang terakhir ini yang mungkin membuat pasien merasa tidak diapa-apain, setiap hari hanya ditanya keluhan, hanya diperiksa biasa, tidak diberi obat istimewa, tidak dapat perlakuan istimewa. Akhirnya pasien memutuskan untuk pulang paksa saja, semua yang dilakukan tenaga medis bisa kok dilakukan oleh keluarga saya di rumah. Sayangnya tidak. Tindakan “tidak diapa-apain” ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang karena membutuhkan ilmu medis yang mumpuni, karena di balik tindakan “tidak diapa-apain” ini banyak pertimbangan dan alasan yang semuanya adalah untuk kebaikan pasien. 

Saya hanya bisa berkata turut berduka cita untuk semua keluarga yang ditinggalkan oleh pasien Covid 19. Semuanya sudah terjadi, kami hanya bisa berharap semua bisa mengambil hikmah dari cerita ini, di kemudian hari pasien dan keluarga bisa lebih bijaksana mengambil keputusan. 

Jadi sekali lagi saya tegaskan, “gak diapa-apain” bukan berarti dilakukan tindakan apapun, tapi dokter melakukan MONITORING, bukan “Gak Diapa-apain”. MEMONITOR artinya pasien akan dipantau perkembangan gejalanya; dipantau ketika muncul misalnya demam diberi obat demam. Ketika gejala mulai berat, maka pasien dirujuk ke RS rujukan. Jadi sebaiknya bersabar dan ikuti prosedur, Jangan gegabah, jangan sampai terjadi lagi pasien pulang paksa dan akhirnya meninggal setelah memilih tinggal di rumah.

Sumber ilustrasi: Freepik