Nyatanya, perempuan lebih sengsara. Sulit sekali rasanya menerapkan rasa syukur. Rasa-rasanya sejak dilahirkan, baru kali ini hidup serasa dalam suasana perang. Sempat terlintas, ‘Oh begini ya rasanya masa peperangan itu?’
Karena diri ini selalu berjarak dengan masa lalu, peperangan hanya diimajinasikan melalui buku-buku sejarah yang kita kenal. Ya, buku- buku yang selama ini kita baca sejak masa sekolah dasar, tentang seluruh pertempuran dan bagaimana pejuang menjadi martir di palagan peperangan.
Tapi, lebih dari 28 hari ini, peperangan itu terasa amat dekat. Mencekam suasana hati dan pikiran. Menelanjangi kedirian kita tak terperi. Menjadikan kita sebagai manusia yang benar-benar tak berdaya, laiknya titik debu di alam semesta raya.
Setiap bangun pagi, diri ini merasakan kegalauan luar biasa. Entah riuh di dalam pikiran mengenai seluruh ketidakpastian, ribu suara orang yang kita dengar dari televisi maupun stasiun pemancar, atau bahkan bingar kematian yang jumlah numeriknya terus menerus menyesakan dada.
Pagi ini yang selayaknya dimulai dengan rasa syukur, selalu dikorupsi duluan oleh suara sumbang dalam benak yang terus menyeruak. Hanya helaan nafas yang setia menemani. Mengumpulkan tenaga untuk duduk dan mengatur nafas, rasanya seperti dipaksa lari marathon seribu kilo meter. Merapalkan doa yang selalu diinterupsi dengan kegelisahan dan tangis yang tertahan.
Tuhan, ampuni hamba-Mu ini...
Jarum jam serasa berputar lebih cepat. Secepat berita-berita tipu muslihat dan kebohongan beranak pinak. Mengapa suara- suara itu tidak mau pergi dari dalam kepala. Ia lengket dan melekat seperti terkena lem super yang maha dasyat.
Rasanya Sulit Sekali Menerapkan Rasa Syukur
Perempuan lebih sengsara. Karena di benaknya, kehidupan adalah fitrah. Sejak manusia pertama hadir. Rahim adalah bentuk Rahmah sang Ilahi. Yang memperlihatkan kasih-Nya dengan memberikan nafas kehidupan bagi generasi berikutnya. Dan perempuan selalu menjadi sosok yang lebih sengsara.
Bagaimana tidak? Hari ini sejak membuka mata ini, otak sudah menginstruksikan untuk segera mengambil keputusan: Lakukan sesuatu, demi hidup orang-orang di sekitarmu! Perempuan lebih sengsara. Karena ia dipaksa dalam ketertatihannya. Ia dipaksa dalam kegagapannya. Dan ia tetap harus tegar, dari semua racun suara sumbang yang ia dengar?
Tungku pemanas sudah menunggu dalam diam. Periuk nasi harus dinyalakan. Sayur mayur dan lauk pauk perlu segera diolah. Jangan biarkan kesegarannya hilang digerogoti pula oleh kekhawatiran. Memasak adalah bagian dari memperpanjang usia dan ikut merayakan hidup meski setengah kewalahan. Syukur masih ada yang bisa diolah dan dimasak.
Bersyukur masih ada yang bisa dimakan. Syukur masih bisa berdiri tegak di depan tungku dan memandangi biru api yang menyala-nyala. Celotehan anggota keluarga terdengar meredam semua berita yang hingar bingar. Suara- suara anak tanpa dosa adalah salah satu alasan untuk bersyukur. Ah iya, bersyukur, susah sekali ya menerapkannya?
Tuhan, ampuni hamba-Mu ini…
Bagi manusia, perut yang kenyang adalah modal utama. Ada pepatah satire yang selama ini jadi pegangan: logika tanpa logistik, adalah omong kosong besar. Perut kenyang membuat siapapun hatinya yang sedih tak karuan menjadi sedikit terhibur, ya sedikit mungkin seujung kuku. Namun hormon endorpine kembali menguat. Membuat mood dan suasana hati yang ngeyel ini, lebih mudah diajak kerjasama. Ya, perut yang kenyang adalah modal. Camkan itu teman- teman.
Menapak langkah ingin kembali ke buaian. Membuka jendela sekejap, oh Tuhan, bagaimana bisa orang-orang itu masih berkerumun dengan jumawa. Padahal kita sedang berperang. Padahal mungkin saja salah satu dari mereka yang akan menjadi korban.
Oh Tuhan, bagaimana bisa orang- orang itu berlalu lalang. Tanpa perlindungan diri apapun selayaknya manusia super yang punya nyawa sembilan. Diri ini kembali merutuk. Kembali mengutuk. Kembali larut dalam kekhawatiran yang tidak kelihatan.
Bagaimana Kalau Besok Aku Mati?
Tuhan, ampuni hamba-Mu ini…
Hilang sudah rasa kenyang dalam perut yang belum tiga puluh detik bersandar. Jantung mulai berdegup kencang. Suara- suara sumbang mulai kembali terdengar. Keringat dingin bercucuran. Nafas sesak tersenggal- senggal. Akal sehat mulai tergantikan dengan semua pertanyaan penuh curiga, ‘Kalau aku besok yang mati bagaimana?’
Mulut ikut merutuk. Rasanya perlu ada sesuatu yang dijadikan target sasaran untuk disalahkan. Ah iya, negara. Ya, negara ini yang salah! Dasar manusia oligarki yang angkuh dan tak tau diri. Sesumbar kalian mengakibatkan, sudah lebih dari seribu orang lebih cepat mendekati ajalnya.
Kalau saja waktu bisa diputar ulang. Kalau saja jalan kehidupan bisa dimundurkan. Kalau saja…. Ah, terlalu banyak kalau. Terlalu sedikit atas apa yang masih bisa disyukuri.
Tuhan, ampuni hamba-Mu ini…
Matahari sudah mulai condong ke arah barat. Lelah hayati terasa pekat. Suasana kembali mencekam karena gelap akan segera menerjang. Tak ada desingan peluru atau hujaman rudal dari pesawat pembom seperti pada film di layar lebar yang kita sering tonton. Tapi betul sekali tetap terasa mencekam. Karena peluru serta rudal yang dihujam tak pernah kelihatan.
Gelap menguasai lebih dari dua belas jam. Hitungan waktu berbeda dengan hitungan dalam benak manusia. Ketakunan terbesar manusia adalah pada ketidakpastian. Dan saat ini ketidak pastian ada dalam kegelapan yang direpresentasikan oleh malam.
Akan kah besok mata ini masih mampu terbuka? Akankah besok nafas ini masih berdesir? Akan kah besok perut- perut kembali penuh tanpa terasa lapar?
Tuhan, ampuni hamba-Mu ini…
Karena kami sedang berperang dengan ‘Ia yang kau ketahui namanya namun tak kelihatan’.
Bandung, 1 April 2020