“Seberapa sulit keadaan menghimpit, aku berupaya menjalaninya.”
Bertambah usia, disadari atau tidak, membuat perubahan terjadi perlahan-lahan. Nah, ketika berada di usia dewasa, meneteskan air mata di hadapan orang lain karena hal remeh-temeh maupun yang sulit dihadapi, terasa tidak terbiasa bagiku. Apalagi orang yang dimaksud adalah orang yang baru pertama kali bertemu dan yang belum begitu dikenal.
Tulisan ini hadir karena aku kerap mendengar anak kecil menangis di sekitar rumah. Membuatku berpikir, “Kapan terakhir kali aku menangis seperti dirinya?” Sekencang-kencangnya, seakan dunia dan seisinya tidak lagi mempedulikan keinginan maupun keberadaanku.
Anak kecil itu, menangis ketika ibunya tidak paham dengan apa yang ia mau, ketika suhu terasa panas, dan ketika sesuatu terjadi di luar ekspektasinya.
Satu di antara beberapa orang yang pernah mendengarku menangis tersedu-sedu adalah seorang konselor. Kala itu, aku membutuhkan bantuannya untuk menguraikan satu per satu permasalahan yang sedang terjadi.
Anak kecil menangis tersedu-sedu, mirip denganku ketika menangis di hadapan seorang konselor. Beruntungnya aku pernah memilih pilihan itu, saat dirasa tidak sanggup menahannya lagi. Terima kasih untuk konselor yang pernah kudatangi, di mana pun berada saat ini.
Oh ya, kenapa aku bercerita pengalaman tersebut di sini? Karena moment itu adalah titik balik hidupku. Hari di mana aku menyangkal semua yang telah terjadi, kemudian hari bertekad untuk bangkit. Sebab sebagai seorang manusia yang dikaruniai kemampuan bernalar, aku tidak dapat terus-menerus menyangkal, menyalahkan keadaan, dan menyalahkan sesuatu yang berada di luar diri.
“Ada tanggung jawab diri sendiri dalam setiap embusan napas dan setiap manusia adalah individu yang tetap berharga, apa pun stigma yang pernah didapatkannya.”
Hidup Saat Ini
Melalui buku dan beragam referensi bacaan mengenai luka emosional, pemulihan diri, dan upaya untuk sehat secara fisik, mental serta spiritual. Secara garis besar, aku mendapat kesimpulan. “Apa yang telah terjadi, tidak dapat kumengubahnya. Apa yang belum terjadi, seperti sebuah misteri.”
Aku hidup untuk saat ini, bersama orang-orang yang ada dalam kehidupanku. Memilih untuk tidak mengikat siapa pun yang hendak pergi. Memilih untuk belajar melepaskan dan memaafkan. Meski terkadang emosi negatif masih saja kerap membuatku berada di titik jenuh kehidupan.
Sekian lama mengikuti akun Instagram Perempuan Berkisah, ada dua kata yang terngiang-ngiang. Berdaya dan berkarya. Benar, perempuan dapat berdaya dan berkarya dengan bidang yang diminatinya.
Betapa kuatnya kata-kata yang sering diulang, membuatku akhirnya berani berkarya lagi serta berdaya untuk diriku sendiri terlebih dahulu. Teringat Jackson Mackenzie dalam bukunya berjudul Kembali Pulih, “Kita dapat mencari seorang terapi atau dukungan orang lain, tetapi tidak ada yang lebih bertanggung jawab dengan apa yang kita rasakan kecuali diri sendiri.”
Proses Penerimaan Diri
Aku tidak memiliki aturan baku dalam peroses penerimaan. Kehadiranku dalam artikel ini sebagai seorang pengamat bagi diriku sendiri. Adapun 3 langkah di bawah ini, kubagikan berdasarkan pengalaman pribadi setelah menyelesaikan yang paling utama.
Langkah pertama yang kulakukan adalah tidak menyangkal ketika melihat, mendengar, dan mengetahui sesuatu. Dengan cara berupaya memprosesnya terlebih dahulu dengan berbagai pertanyaan. Saat sesuatu terjadi, apakah sumbernya jelas, sehingga perlu untuk dipercaya? apakah aku perlu untuk menanggapinya secara langsung? Apakah aku terlibat serta bertanggung jawab untuk menyelesaikannya? Jika jawabannya, iya, lalu apa solusinya?
Langkah kedua, aku menuliskan apa pun yang terjadi. Misalnya, ketika ada orang yang bertanya blak-blakan yang menurutku itu ada pada ranah privasiku, resah karena adanya pemberitaan mengenai suatu peristiwa, dan memberikan respon dari apa yang sudah kubaca. Menulis menjadi proses yang terus kujalani saat ini dan besar kemungkinan untuk seterusnya. Menulis sekali pun nampaknya berupa hal-hal kecil, tujuannya supaya sekadar menumpuk dipikiran saja.
Tidak kusangka sebelumnya, ketika aku berupaya mengenal diri sendiri yang kerap berbuat salah serta keliru, beberapa tulisanku berhasil ditayangkan di suatu ruang menulis. Tulisan mengenai ketidaksempurnaan yang berasal dari ingatanku yang pernah mendapatkan verbal bullying dan tulisan mengenai parenting sebagai refleksi bahwa itulah yang kudambakan pada saat-saat membutuhkannya. Ada juga tulisan yang kubuat dalam rangka perayaan hari-hari tertentu dan untuk perlombaan menulis.
Langkah ketiga, menyadari. Setelah tidak menyangkal dan menuliskannya dalam selembar kertas, aku berupaya menyadari. Sadar bahwa itu memang terjadi. Sadar bahwa itu menyakitkan, membahagiakan, menyebabkan kegagalan, keberhasilan, pusing, lapar, lemas, dan lain-lainnya.
Sadar ketika ada yang melihatku dengan tatapan sinis, bukan berarti orang itu tidak nyaman dengan keberadaanku. Barangkali ada yang mengusik hati serta pikirannya sehingga membuatnya berekspresi seperti itu atau kalau pun aku memiliki kesalahan, kuharap ia dapat membantu menjelaskannya agar masalah dapat diselesaikan dengan kepala dingin.
Sadar bahwa keinginanku tidak semuanya mesti terpenuhi. Keinginan untuk membuat orang lain senantiasa dalam keadaan baik-baik saja, keinginan memenuhi ekspektasi orang lain agar mereka nyaman berada di sisiku, dan keinginan memiliki suatu benda sehingga diriku bahagia. Dari yang sudah kualami, memiliki sesuatu boleh-boleh saja. Namun, ketika fokusku pada upaya memilikinya tanpa mengetahui maknanya, kebahagiaan terasa hanya sesaat.
Ucapan Terima Kasih
Sebagai bagian penutup, kuucapkan terima kasih bagi siapa pun yang pernah memberi dukungan kepada diriku untuk terus hidup. Aku tidak menyangka kalimat, “Jangan lupa beribadah, makan, tidur, olahraga, tersenyum, dan melakukan apa pun yang kamu minati”, menjadi begitu berharga ketika berada di titik terendah dalam hidup.
Aku juga berterima kasih kepada team Perempuan Berkisah karena telah hadir membersamai perjalanan para perempuan yang membutuhkan ruang aman. Melalui Instagram, website, dan Youtube. Khususnya konselor yang memberikan saran di postingan kisah para sender, ketika membacanya terkesan tidak menghakimi. Itulah yang dibutuhkan bagi siapa pun saat berada di masa-masa sulit. Terima kasih, ya!
“Tuhan, aku memilih untuk terus hidup dalam kesadaran atas apa yang telah Engkau ciptakan. Dalam embusan napas terakhirku, tidak mau ada sedikit pun dendam maupun kebencian. Karena berat bagiku membawanya hingga akhir hayat.”