Kasus KS SMA SPI: Ketika Korban Diragukan, Sementara Dukungan Mengalir Bagi Terdakwa Pelaku

Kasus KS SMA SPI: Ketika Korban Diragukan, Sementara Dukungan Mengalir Bagi Terdakwa Pelaku

Baru-baru ini saya membaca “Catatan Dahlan Iskan Terkait Kasus SPI: Pagi Batu”. Tak mengherankan jika catatan ini dibuat sebelum pembacaan tuntutan oleh Jaksa dibacakan pada Rabu, 27 Juli 2022. Tujuan catatannya adalah untuk memengaruhi opini publik bahwa JE tidak bersalah. JE merupakan inisial dari Julianto Eko Putra, terdakwa pelaku kasus kekerasan seksual (KS) di SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu, Jawa Timur. Dalam benak saya, pertanyaan bermunculan dan yang paling nyaring terdengar, “Kenapa begitu getol orang yang tiada berkepentingan berkomentar membela JE?”

Mantan Royal Crown 

Pemutusan HDI terhadap mitra usahanya, JE, sebagaimana disampaikan Brandhon Chia, CEO Harmoni Dinamik Indonesia (HDI), adalah tindakan yang tepat. Penting bagi pihak HDI memikirkan ulang untuk menghentikan (sementara) penyaluran dana donatur-donatur HDI ke SPI hingga kasus ini selesai serta untuk menjamin pertanggungjawaban JE karena melanggar kode etik HDI yang mempengaruhi kepercayaan (trust) masyarakat terhadap produk. Tiga puluh tahun JE di HDI dan menjadi pendiri Billioners sebagai support system HDI, penghasilannya melebihi 200 juta bahkan 1,5M setiap bulan. Dengan jumlah fantastis, mendatangkan kuasa hukum kenamaan menjadi lebih mudah bagi JE, dibandingkan dengan kuasa hukum pro bono ala korban. 

Pernah Molimo dan Normalisasi Kekerasan Seksual 

Pengakuan JE dalam Jawa Pos, 17 November 2010, “Miliarder yang Cum Laude Molimo” menghentakkan, bahwa madat, minum, main, madon, dan maling adalah tindakan yang pernah dilakukan. Dengan latar belakang tersebut, artinya JE “pernah” melakukan, meskipun tidak “selalu” melakukan Molimo. Maka terkait tuduhan kekerasan seksual yang dilakukan JE belum tentu menimbulkan kesadaran bagi dirinya bahwa itu sebuah kesalahan, namun menegasi situasi bahwa kekerasan seksual merupakan dorongan dari nafsu birahi yang muncul. Ketika sebuah kesalahan dilakukan berulang-ulang, maka kesadaran seseorang akan melihat itu sebagai kewajaran. Begitupun terkait kasus kekerasan seksual (KS) yang dituduhkan padanya, bisa jadi KS baginya hanya dorongan dari nafsu birahi yang muncul.

Networking dan Narasi “Sang Hero”

JE menjadi bagian dari 20 perusahaan yang tersebar di seluruh Indonesia di bawah bendera Binar Group. Tokoh politik berkunjung ke SPI, mulai dari Dahlan Iskan, Muhammad Natsir, dan berbagai politisi baik nasional dan internasional. Keahlian multi level marketing-nya, membuat banyak pihak akan terbuai dengan berbagai narasi yang terbentuk.

“Say I Love You” merupakan film yang mengisahkan hidup JE dan lulusan Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI). Film tersebut adalah salah satu hal yang membuat JE menjadi dikenal secara luas di masyarakat. Film selanjutnya, “Anak Garuda” juga menjadi film yang memperlihatkan perjuangan anak-anak SPI. Perjuangan tersebut berharga, tetapi mengaburkan kenyataan tentang perilaku buruk motivator yang diletakkan sebagai sosok pahlawan. 

Dengan berbagai pengaruh tersebut, akan mudah bagi JE untuk memutarbalikkan kebenaran. Mulai dari mengetahui bocoran penundaan sidang, pengerahan massa tidak dikenal, memberikan bukti baru, hingga kemungkinan keistimewaan yang lain. Kekuasaan yang meliputi JE adalah hal alamiah dari kendali terhadap keuangan yang melahirkan kekuasaan yang menembus batas birokratis.

Dalam situasi tersebut, menjadi penting untuk meneropong kasus SPI ini secara lebih intensif. Akan sangat mudah bagi para influencer serta media untuk menggiring opini dan menormalisasi tindakan JE. Beberapa narasi tandingan yang dimunculkan adalah rekayasa kasus, persaingan bisnis, pencemaran nama baik, dramatisasi, upaya mistifikasi nama pelaku dan mematikan karakter JE, bahkan penguatan bahwa sistem yang dibangun SPI akan dihancurkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, serta mempertanyakan alasan pengungkapan kasus SPI yang baru terungkap sekarang. 

Atas Nama Baik Sekolah

Informasi ini tersebar dan manakala dikonfirmasi ke kepala sekolah, tentu saja akan berlaku hukum kepastian “atas nama baik sekolah”. Ketidaktahuan bukanlah jawaban, melainkan penyangkalan pada situasi yang sebenarnya terjadi. Di sisi lain, berarti akan menguatkan tekanan jika ada korban yang berada dalam lingkungan sekolah untuk speak up.

Ternyata, polah pendukung JE bersilat di media memang bukan pertama kalinya. Mereka secara vulgar menceritakan sosok korban tanpa empati dan penghormatan pada data pribadi seseorang. Barangkali, ini yang Ann Snitow, Christine Stansell, et al dalam “Power of Desire: Politics of Sexuality”, katakan sebagai pola seksual yang diterima budaya memiskinkan sosial perempuan. Kekuatan untuk memengaruhi persepsi masyarakat ditoleransi oleh lingkungan dan dianggap sebagai suatu kewajaran dan pada akhirnya membuat perempuan tidak dapat mengelak dari pandangan tentang situasi yang dialaminya. 

Jangan Sampai Korban Berjuang Sendiri

Agenda pembacaan pledoi perkara 60/Pid.Sus/2022/PN Malang dari terdakwa JE di Pengadilan Negeri Malang pun ditunda sampai Rabu, 10 Agustus 2022, dengan agenda pembacaan replik oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Batu. Akan banyak mata memandang, meskipun dalam sidang tertutup. Semoga, hakim tidak terjebak dalam fantasi dalam kabut di pagi hari.

Merujuk pada catatan Dahlan Iskan yang terkesan mendukung terdakwa pelaku, masih adakah Pagi di Batu? Justru ketika tidak selesai, korban tidak selamat, dan tidak didukung, maka kabut akan selimuti pagi seperti api dalam sekam. Kenapa tidak mempercayai korban dan mendukung korban? Menjadi bagian dari support system korban sampai terbukti siapa yang benar dan salah.