“Pandemi begini kok bisa terjadi kekerasan seksual? kamu keluar-keluar, ya? kok bisa terjadi, pakaian kamu seperti apa?”
Ini adalah pernyataan yang mengandung victim blaming dari seorang Psikiater kepada pasien korban kekerasan seksual
DISCLAIMER: Kisah pembelajaran ini berdasarkan pengalaman pribadi penulis dalam mendampingi penyintas kekerasan seksual. Apa yang tertulis dalam kisah ini, sudah berdasarkan consent (ijin) dari penyintas.
Ini adalah kisah nyata seorang teman korban penyintas seksual
Psikiater adalah ahli medis yang fokus menangani masalah kesehatan mental dan perilaku melalui upaya pencegahan, kuratif, dan rehabilitatif dengan pemberian konseling, psikoterapi, dan obat-obatan. Bagi korban kekerasan seksual, memilih datang ke psikiater adalah keberanian yang luar biasa. Maka keputusan korban pergi ke psikiater, patut diberikan apresiasi sekaligus dukungan.
Juni kemarin, saya dipercaya untuk mengantarkan teman berobat ke psikiater. Jujur saya berterima kasih karena sudah diberikan kepercayaan mengantar Ia berobat. Sebut saja namanya Lisa, bukan nama sebenarnya. “Terima kasih, ya, Lisa. Sudah memberikan kepercayaan padaku untuk mengantarkan kamu.”
Bagi korban kekerasan seksual, speak up itu gak mudah!
Selama ini, Lisa begitu kuat menjalani masa-masa sulit. Ia merupakan penyintas kekerasan seksual yang dilakukan oleh teman sekampusnya. Bagi Lisa, tidak mudah untuk membuka kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Sebab di mata teman-teman, Lisa dan pelaku terjalin sebuah kedekatan layaknya kekasih.
Rumitnya kasus Lisa sangat menguras psikis dan fisik. Lisa harus menerima kenyataan pahit karena membuka suara tanpa bukti apapun. Hanya bukti suara, ingatan, dan beberapa pesan di WhatsApp yang tidak bisa menjadi bukti kuat. Lemahnya bukti ini menjadikan Lisa putus asa menyelesaikan secara hukum. Ia memilih untuk melanjutkan proses pengobatan.
Kasus kekerasan seksual berdampak pada kondisi mentalnya
Agustus 2021, Lisa terkena diagnosa Neurolepsi karena aktivitas saraf di otak tidak berjalan lancar. Dengan kondisi mental tidak stabil dan diagnosa bergantung pada obat, Lisa mengambil keputusan untuk menghentikan laporan yang dibuat ke ranah hukum. Ia menganggap bahwa kasusnya sudah selesai. Meskipun secara psikis dan fisik, Lisa merasa tidak berdaya.
Belum lagi, Lisa adalah mahasiswi yang sedang berjuang menyelesaikan tugas akhirnya. Ia tidak ingin, impian yang jauh-jauh sudah direncanakan, padam begitu saja. Setiap hari Lisa menangis sesenggukan, apalagi di malam hari menjelang tidur, tangisnya sampai tidak terdengar suara. Ia terus terbayang-bayang bagaimana kekerasan seksual yang dialaminya. Beberapa kali juga, Lisa melakukan konsultasi ke psikolog secara online. Namun balik lagi, kondisi mental Lisa belum menunjukkan tanda-tanda pulih. Ia masih sering melamun, pergi sendirian, dan menangis histeris di ruang-ruang tertentu.
Upaya ke psikolog dan psikiater untuk pemulihan
Sampai akhirnya, Juni 2022 Lisa mengirimkan pesan WA kepada saya, “Khoir, aku mau ke psikiater. Tolong temani aku, ya.” Akhirnya saya dan Lisa berangkat ke salah satu rumah sakit yang menyediakan psikiater dengan jaminan dari BPJS. Lisa lega, karena tidak mengeluarkan uang untuk keperluan berobatnya.
Saya dan Lisa terus bergandengan tangan, Ia sesekali berucap ketakutan dan tubuhnya gemetaran. Lisa sempat ingin balik pulang karena merasa takut dengan respon psikiater. Tapi tidak lama, pasien atas nama Lisa dipanggil perawat untuk masuk ruangan poli jiwa. Saya berdoa dalam hati, semoga Lisa baik-baik saja dan ketemu psikiater yang tepat.
Sayangnya, ke psikiater justeru membuat korban semakin tertekan.
Setelah 10 menit, Lisa keluar dari ruangan dengan pipi yang sembab. Pikiran saya justru tertuju ke ruangan, kenapa hanya 10 menit? Apakah memang seperti ini prosedurnya? Atau jangan-jangan Lisa mengalami ketidaknyamanan. Lisa memelukku erat sambil menangin. Ia memberikan kabar bahwa justru Ia tidak menemukan titik baik saat masuk ke dalam ruangan.
Setelah aku persilakan Lisa menangis supaya lega, Ia mulai membuka suara. Saya berusaha tenang dan cukup mendengarkan, barangkali ada yang ingin Lisa sampaikan. Jantungku berdegup kencang, air mata saya ingin rasanya tumpah membasahi pipi. Lisa bercerita kalau psikiater di poli jiwa tersebut memberikan respon victim blaming dan tidak sepenuhnya dengan korban.
“Dokternya tadi nanya… Pandemi begini kok bisa terjadi kekerasan, kamu keluar-keluar, ya?.. gitu tanyanya. Aku bingung jawab apa,” jelas Lisa dengan tangisan tersendat-sendat. “Terus tadi juga ditanyain, kok bisa terjadi, pakaian kamu seperti apa?” Lisa menangis lebih keras lagi kali ini.
Nyata! Tidak semua tenaga profesional, baik psikolog, konselor, maupun psikiater memiliki keberpihakan terhadap korban.
Saya sediakan bahu sebagai tempatnya bersandar. Tidak ada yang diceritakan kembali setelah Ia mengeluarkan dua kalimat di atas. Hati mana yang tidak teriris mendengar respon psikiater seperti di atas. Amat menyakitkan.
Setelah mendapat obat di apotek, Lisa bilang bahwa Ia memilih untuk tidak melanjutkan pengobatan ke psikiater yang tadi. Ia juga kuat dengan pikirannya untuk mencari kembali psikiater yang benar-benar tepat, paling tidak bisa menenangkan. Sepanjang perjalanan bersama Lisa, saya kerap kali terbawa pikiran bahwa “Tidak semua psikiater memiliki perspektif keberpihakan terhadap korban.”
Saya ingin menyampaikan pesan melalui tulisan ini, kepada siapapun yang menjadi tempat bercerita korban kekerasan seksual, terkhusus untuk psikiater. Pesan ini sudah terlebih dahulu saya sampaikan ke teman saya. Saat ini, dia sedang berusaha dalam perjalanan menjadi seorang penyintas.
Responlah pasien korban kekerasan seksual secara empatik
Pesan ini saya sampaikan supaya kisah teman saya tidak terjadi berulang kali. Saya rasa setiap psikiater dibekali dengan pemahaman yang lebih leluasa. Tentunya juga dibekali teknik komunikasi dan bagaimana merespon pasien dengan empatik. Tapi sangat disayangkan ketika pasien tersebut adalah korban kekerasan seksual, psikiater justeru menyudutkan, menghakimi, dan menyalahkan pasien (victim blaming). Ketahuilah, bahwa korban datang ke psikiater untuk mencari jalan terang atas kondisi mental yang dialaminya. Bahkan memberanikan diri datang ke ruang bernama poli jiwa juga sudah menghabiskan banyak pertimbangan yang pantas diberikan dukungan.
Tolong, jika ada pasien yang datang dengan deskripsi apapun, termasuk korban kekerasan seksual, berikanlah pelayanan terbaik dan penuh empatik. Teman saya masuk ke dalam poli jiwa ingin mendapat afirmasi positif atau bahkan jika tidak ada saran, maka cukup jadilah didengarkan dengan baik. Selain itu, pahamilah bahwa korban tidak siap jika mendapat pertanyaan yang tergolong victim blaming, menyudutkan korban seakan-akan yang salah tetaplah korban. Ini akan menjadi beban ganda dalam kehidupan psikis korban. Kekerasan seksual adalah kejahatan yang dilakukan pelaku, bukan korban.
Viktimisasi hanya akan menyebabkan korban kekerasan ganda
Respon tanpa empati hanya akan membuat korban mengalami kekerasan seksual berganda. Responlah pasien korban kekerasan seksual atau apapun dengan sikap dan kalimat-kalimat empatik dan positif, karena kondisi korban yang rentan tak layak dijadikan ajang penghakiman. Tolong, jika memang belum memiliki pemahaman kekerasan seksual, cukup berikan afirmasi positif yang menguatkan korban. Bukan mengajukan pertanyaan bias dan seksis yang hanya membuat korban semakin tertekan dan merasa dihakimi.
Semoga pesan dalam tulisan ini dapat tersampaikan ke kalian, pembaca. Sudah seharusnya kita berhenti melakukan victim blaming pada korban, tapi mendukung dan menguatkan perjalanan korban menjadi seorang penyintas. Terkadang sebagai orang yang menjadi tempat bercerita, kita seringkali bingung, harus melakukan apa. Tapi jangan sampai di situ, kita dengarkan terlebih dulu apa yang menjadi kegelisahan korban dan ajukan pertanyaan apa yang sedang diinginkan korban. Hal sederhana yang bersifat positif memiliki dampak besar bagi perkembangan korban. Teruslah beri dukungan terhadap pemulihan korban.