Ini adalah catatan pembelajaran diskusi dan Peluncuran Survei Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja Indonesia Tahun 2022
Risiko kekerasan dan pelecehan di dunia kerja mengintai. Sayangnya, birokrasi yang tidak terbuka, kepentingan ekonomi perusahaan, dan tidak ada sistem dukungan membuat banyak kasus kekerasan dan pelecehan di dunia kerja menguap begitu saja. Korban terpaksa bungkam karena ketiadaan ruang aman, sementara pelaku bisa tetap bebas dan melanjutkan karir tanpa tuntutan.
Salah satu faktor yang membuat situasi ini terabaikan adalah kurangnya data yang memetakan pengalaman pekerja terkait kekerasan dan pelecehan pada berbagai sektor di Indonesia. Viralnya satu atau dua kasus mungkin membuka banyak mata terkait risiko ini, tetapi belum cukup untuk membawa perubahan yang berarti. Untuk itulah, ILO dan Never Okay Project bekerja sama mengadakan survei daring terkait pengalaman kekerasan dan pelecehan di lingkungan kerja.
Selain untuk memetakan pengalaman para korban dan penyintas, survei ini tentu diharapkan dapat memutus mata rantai kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Survei yang diadakan sejak 12 Agustus 2022 hingga 13 September 2022 kemarin ini bertujuan untuk menyelidiki pengalaman pekerja, baik sebagai penyintas maupun saksi. Dipetakan pula respons dan intervensi yang dilakukan terhadap insiden kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.
Dalam rangka peluncuran hasil survei tersebut kepada publik, diadakanlah diskusi dan peluncuran survei kekerasan dan pelecehan di dunia kerja tahun 2022 dengan tajuk “Semua Bisa Kena”. Dimoderatori oleh Devi Asmarani dari Magdalene.co, acara ini diadakan pada Rabu, 28 September 2022 di Hotel Le Meridien, Jakarta dengan menghadirkan beberapa pembicara yang menanggapi hasil survei tersebut, yakni Hannah Al Rashid, aktris dan equality campaigner; Maya Juwita, Direktur Eksekutif IBCWE; serta Nenden S. Arum, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi–SAFEnet.
Pekerja Indonesia Masih Rentan Kekerasan dan Pelecehan
Imelda Riris selaku Project Lead Never Okay Project membuka diskusi dengan memaparkan sejumlah temuan penting dari survei kekerasan dan pelecehan di dunia kerja dalam dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Dari 1.175 responden, 70,81% responden mengaku pernah menjadi korban kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, bahkan 69,35% mengaku pernah mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.
Perlu digarisbawahi bahwa kekerasan dan pelecehan bukan sekadar tindakan kekerasan fisik atau pelecehan seksual yang melibatkan kontak fisik. Berdasarkan KILO 190, kekerasan dan pelecehan di dunia kerja adalah serangkaian perilaku dan praktik yang tidak dapat diterima, sebuah ancaman yang terjadi sekali atau berulang serta mengakibatkan kerugian fisik, psikologis, seksual, dan ekonomi.
Dua jenis kekerasan dan pelecehan yang paling sering dialami oleh pekerja di Indonesia adalah kekerasan dan pelecehan psikologis, 77,40%, disusul dengan kekerasan dan pelecehan seksual sejumlah 50.48%. Pengucilan, penyebaran rumor, pengeroyokan verbal, dan perundungan masuk dalam ranah kekerasan psikologis. Hal ini sering dinormalisasi di lingkungan kerja tanpa menyadari bahwa tindakan tersebut termasuk dalam jenis kekerasan.
Seperti halnya berbagai bentuk kekerasan lain, ketimpangan relasi kuasa masih menjadi faktor utama yang mengakibatkan terjadinya kekerasan dan pelecehan di lingkungan kerja. Hal ini terbukti dari jumlah 54,81% responden yang mengakui bahwa pelaku kekerasan dan pelecehan di lingkungan kerja adalah atasan atau rekan kerja yang lebih senior.
Selain itu, tren bekerja dari rumah yang mulai banyak diterapkan sejak pandemi Covid-19 ternyata tidak menghilangkan risiko kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Sebab, 39,06 persen responden mengaku menjadi korban kekerasan dan pelecehan secara daring. Hasil survei ini membuktikan bahwa meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pelecehan dan kekerasan, tidak serta-merta menurunkan risiko kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Pekerja Indonesia masih rentan menjadi korban dan tentu saja ini bukan kabar yang menggembirakan.
Butuh Peran Serta Semua Pihak di Dunia Kerja sebab Semua Bisa Kena!
Salah satu temuan yang perlu mendapat perhatian dari hasil survei ini adalah sebesar 45,61% responden memilih untuk tidak melaporkan tindakan pelecehan atau kekerasan yang dialami karena merasa manajemen tidak akan melakukan apa pun. Terlihat betapa rendahnya kepercayaan pekerja kepada manajemen perusahaan. Hal ini diakui oleh Maya Juwita, Direktur Eksekutif IBCWE, saat menanggapi hasil survei bahwa tidak semua SDM di bagian personalia kantor memiliki kecakapan dalam penanganan kasus kekerasan maupun pelecehan. Begitu pun, tidak semua perusahaan mampu mempekerjakan karyawan dengan kompetensi tersebut.
Menurut Maya, dari perspektif perusahaan perlu adanya komitmen untuk mengatasi persoalan ini. Kebijakan penanganan kekerasan dan pelecehan mestilah datang dari manajemen perusahaan sebab sulit jika hanya mengharapkan perubahan dari dorongan karyawan. Hal utama yang disorot Maya adalah pentingnya memiliki kebijakan yang mencegah terjadinya kekerasan dan pelecehan. Sebab, jika sudah terjadi maka penanganan yang dibutuhkan akan sangat rumit. Ia menambahkan bahwa temuan dari survei ini seharusnya bisa memperdalam pengetahuan kita semua untuk berbenah, terutama SDM di bagian personalia.
Nenden S. Arum dari SAFEnet pun menambahkan bahwa jika perusahaan betul-betul berkomitmen untuk mengatasi persoalan ini, semua bisa dimulai dengan menertibkan komunikasi yang dilakukan secara daring. Dibandingkan pelecehan verbal misalnya yang sulit untuk mencari bukti, komunikasi secara daring meninggalkan jejak digital yang bisa ditelusuri. Jadi, penanganan KBGO semestinya bisa menjadi langkah awal yang menunjukkan komitmen dan kepedulian perusahaan pada isu ini.
Meski begitu, kita juga tidak bisa menutup mata akan kabar baik yang ditemukan dari survei ini. Maraknya kampanye terkait pelecehan dan kekerasan membuat banyak saksi turut menjadi bystander aktif. Sebesar 37,66% bahkan turut serta membantu korban untuk bisa mengambil tindakan dalam penanganan kasusnya.
Hal serupa juga diungkapkan Hannah Al Rashid. Ia berbagi pengalaman, khususnya di industri perfilman yang kini mulai berbenah. Salah satu produksi film yang melibatkan Hannah bahkan memberikan aturan yang jelas terkait pelecehan di kontrak kerja untuk perlindungan para pekerja di industri perfilman yang tidak punya aturan formal. Tidak hanya itu, bahkan diadakan pelatihan terkait pelecehan seksual dan perundungan untuk semua kru dan aktor yang terlibat sebelum syuting dimulai. Hal ini tentu merupakan kemajuan yang patut diapresiasi di dunia kerja nonformal dan bisa menjadi contoh bagi industri lainnya.
Semua Bisa Kena, tetapi Semua Juga Punya Peran dalam Pencegahan
Pada akhirnya, tajuk “Semua Bisa Kena” pada diskusi dan peluncuran hasil survei ini tidaklah bertujuan untuk menakuti-nakuti pekerja ataupun pengusaha. Risiko dalam pekerjaan akan selalu ada, tetapi hal tersebut pasti bisa diminimalisir maupun dicegah. Para narasumber pun sepakat bahwa demi terciptanya ruang kerja yang aman dan nyaman dibutuhkan komitmen dari berbagai pihak.
Pihak perusahaan atau pemberi kerja diharapkan untuk memiliki peraturan atau mekanisme yang jelas untuk melaporkan kasus kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Selain itu, jangan lagi menganggap sepele kasus kekerasan dan pelecehan di dunia kerja dengan kembali menyalahkan korban. Suara korban butuh didengarkan, tetapi penting untuk memberikan perlindungan dan tidak gegabah dalam memviralkan kasus. Terakhir, tentu penting untuk mendorong pemerintah agar meratifikasi KILO 190 dan mensosialisasikannya kepada publik. Semua pihak punya peran dalam memperkuat mekanisme dan kebijakan untuk melawan predator di dunia kerja. Sebagai anggota masyarakat, kita bisa melakukannya dengan turut menandatangani petisi di change.org/lawanpredatorduniakerja. Mendorong ratifikasi KILO 190 ini diharapkan bisa menjadi salah satu acuan dalam upaya menghentikan kekerasan dan pelechan di dunia kerja serta melengkapi peraturan dan sistem peradilan di Indonesia. Semua bisa kena, tetapi semua juga punya peran untuk mencegah dan menciptakan ruang kerja aman dan nyaman bagi semua.