Jalan Terjal Penyintas KDRT dan Kekerasan Seksual Perjuangkan Keadilan di Tengah Hukum yang Tak Berpihak pada Korban 

Disclaimer: Catatan pembelajaran ini tidak memberikan informasi spesifik berupa nama korban dan pelaku, alamat tempat tinggal korban maupun pendamping korban, dan informasi spesifik lainnya yang dapat mengancam keamanan korban. Informasi lebih lengkap hanya dijelaskan dalam dokumen laporan pendampingan. Catatan pembelajaran hanya memberikan informasi terkait kasus secara singkat, kondisi korban, bentuk kekerasan, faktor yang memengaruhi kondisi korban, proses dukungan psikososial dan pendampingan korban, strategi, tantangan dan refleksi dalam proses pendampingan yang dilakukan oleh tim konselor dan pendamping korban dari Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh Berdaya (Pribudaya). Layanan dukungan psikososial dan pendampingan korban secara langsung selama April-September 2025 ini didukung oleh Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) melalui Program Pundi Perempuan 2025 Termin I.

Seorang perempuan menghadapi perjuangan yang berat setelah terjebak dalam lingkaran kekerasan fisik, verbal, dan psikis oleh suaminya. Suaminya tak hanya melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tetapi juga melakukan kekerasan seksual pada anaknya. Setelah bertahun-tahun menjadi korban manipulasi dan intimidasi, korban mencoba melepaskan diri melalui perceraian. Namun, proses hukum justru dipenuhi kejanggalan dan kecurangan, membuatnya kalah di pengadilan. Tidak menyerah, ia melaporkan kekerasan seksual yang terjadi pada anaknya, tetapi lagi-lagi dihadapkan pada birokrasi yang berbelit dan dugaan intervensi pihak pelaku. Teror dan intimidasi terus menghantuinya, bahkan dari pihak-pihak yang seharusnya memberikan perlindungan. Ia berjuang sendirian karena keluarga dan sistem seakan berbalik melawannya. Kemudian, ia menghubungi platform @perempuanberkisah dari Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh Berdaya (Pribudaya) untuk mencari dukungan psikososial. 

Apa yang Dialami Korban?

Berdasarkan pernyataan korban dalam proses konseling dan pendampingan secara online yang dilakukan konselor Yayasan Pribudaya, korban mengalami KDRT dalam bentuk kekerasan verbal, fisik, psikis, ekonomi hingga kekerasan seksual oleh pelaku yang merupakan suaminya. Pelaku juga melakukan kekerasan seksual pada anak mereka. Ketika korban mencoba untuk menggugat cerai dan melaporkan pelaku, ia malah menghadapi sistem hukum yang rumit dan tidak berpihak kepada korban. Bahkan keluarganya sendiri juga berpaling dan membela pelaku.

Pola Kekerasan yang Berulang

Semenjak menikah pada tahun 2018, korban menceritakan bahwa pelaku sering melakukan kekerasan verbal dan mengancam talak saat sedang bertengkar. Tidak sampai di situ, pelaku juga sering merekam aktivitas seksual mereka secara diam-diam tanpa consent dari korban. Pelaku kerap menunjukkan sikap manipulatif dan mengintimidasi korban. Bahkan pelaku menyebut korban sebagai “orang gila” ketika korban mencoba mengadukan masalah mereka ke mertuanya (ibu pelaku). Hal tersebut menunjukkan pola kekerasan psikis yang terjadi terus-menerus.

Kekerasan Ekonomi

Dalam konteks rumah tangga, kekerasan ekonomi terhadap korban terlihat jelas setelah korban kehilangan pekerjaan pada tahun 2021. Meskipun sebelumnya menjadi tulang punggung keluarga sejak awal pernikahan pada 2018, pelaku menolak memenuhi kebutuhan keluarga setelah korban di-PHK dan justru memicu pertengkaran. Kekerasan ekonomi ini semakin diperparah dengan ancaman pelaku untuk meminta pengembalian semua nafkah yang pernah diberikan, serta upayanya untuk mengincar surat berharga dan aset orang tua korban. Hal ini menunjukkan bagaimana pelaku secara sengaja memanfaatkan kondisi rentan korban pasca PHK untuk mengontrol dan merugikan korban secara finansial.

Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual menjadi aspek mengerikan yang dialami korban. Pelaku tidak hanya secara diam-diam merekam hubungan seksual mereka tanpa persetujuan, sebuah tindakan yang melanggar privasi dan otonomi tubuh korban, tetapi juga diduga melakukan kekerasan seksual terhadap anak mereka. Rekaman video kekerasan seksual pada anak pernah diputar di persidangan cerai, tetapi sayangnya diabaikan oleh hakim dan pengacara. Sikap penegak hukum yang mengabaikan korban tersebut menunjukkan betapa parah cara negara menangani kekerasan seksual di negara ini. Meskipun korban berulang kali mencoba melaporkan kekerasan seksual terhadap anaknya ke pihak berwenang, prosesnya dipenuhi dengan kejanggalan dan hambatan, yang semakin memperparah penderitaan korban.

Proses Pendampingan dari Tim Perempuan Berkisah

Tim Perempuan Berkisah menyediakan proses pendampingan yang komprehensif bagi korban kekerasan berbasis gender dan kekerasan seksual, serta korban KDRT yang mengalami kesulitan dalam proses hukum.

Pendampingan Sesi Pertama

Pendampingan diawali dengan konseling individual melalui secara online melalui Zoom. Konselor memvalidasi perasaan korban dengan mendengarkan secara empatik dan memetakan kebutuhan korban. Salah satu kebutuhan yang diakomodir adalah pendampingan untuk sistem pendukung dalam melakukan proses litigasi, termasuk menemui advokat.

Selain konseling langsung secara online, tim menyediakan ruang aman melalui grup chat yang lebih aman. Di dalam grup ini, korban dapat mengungkapkan perasaannya mulai dari kecemasan, kekhawatiran, hingga langkah-langkah yang perlu dilakukan. Grup chat ini digunakan untuk meregulasi dan memvalidasi langkah-langkah yang diambil oleh korban, termasuk pembaruan mengenai langkah-langkah litigasi yang sudah direncanakan. Selain itu, grup chat juga berfungsi sebagai sistem pendukung saat korban merasa sangat lelah dengan proses-proses yang dilaluinya. Tim konselor terdiri dari tiga orang yakni konselor utama, konselor pendamping, dan pendamping yang akan melakukan pendampingan secara langsung.

Pendampingan Sesi Kedua

Konseling kedua dilaksanakan untuk memetakan kebutuhan korban dalam memilih jalur advokasi yang akan dilakukan dan pemilihan penyedia layanan yang sesuai dengan kondisinya. Konseling ini juga memberikan pemahaman mengenai alur-alur advokasi pilihan korban, termasuk risiko, dan kelebihan dalam mengambil alur advokasi tersebut. Konseling ini sangat penting bagi korban yang memiliki trust issue dengan P2TP2A, karena konseling ini bertujuan mengembalikan kepercayaan korban, terutama jika salah satu jalur advokasi yang dipilih pada akhirnya akan terhubung dengan P2TP2A kembali. Konseling ini dilakukan oleh dua konselor yang memiliki kapasitas dalam litigasi. Setelah konseling zoom kedua, korban menjadi lebih yakin dalam mengambil keputusan dan memahami risiko yang akan dihadapi. Konselor juga menjadi support system bagi korban saat bertemu advokat.

Refleksi Pendampingan

Tantangan Dalam Proses Hukum

Korban menghadapi serangkaian tantangan yang signifikan dalam upaya mencari keadilan melalui jalur hukum. Perjalanan dimulai dengan persidangan cerai yang berujung pada kekalahan, di mana korban merasa ada kecurangan dan keberpihakan hakim kepada pelaku. Bukti KDRT fisik dianggap tidak terbukti, kesaksian kakak korban dipotong oleh hakim meskipun melihat KDRT melalui panggilan video, dan rekaman video kekerasan seksual pada anak yang diputar di persidangan diabaikan oleh semua pihak di ruang sidang. 

Padahal, kasus ini secara langsung berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). UU ini seharusnya menjadi payung hukum yang melindungi korban KDRT dan memastikan korban mendapatkan keadilan serta pendampingan yang layak. Namun, dalam kasus korban, implementasi UU ini justru terasa sangat menantang meskipun perbuatan pelaku telah banyak melanggar pasal di dalamnya.

Penolakan bukti KDRT fisik dan diabaikannya video kekerasan seksual terhadap anak di persidangan perceraian menunjukkan lemahnya sistem pembuktian dan kemungkinan adanya intervensi pihak luar. Kekerasan seksual pada anak ini berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pasal 4. 

Pasal 55 UU PKDRT seharusnya memberikan kemudahan dalam pembuktian adanya KDRT dalam rumah tangga korban. Namun, dalam kasus ini justru sebaliknya. Pernyataan hakim bahwa bukti “masih kurang dan tidak bisa dibuktikan” padahal sudah ada video yang jelas adalah indikasi serius akan adanya masalah dalam penegakan hukum.

Kesulitan Pelaporan ke Pihak Berwajib

Upaya korban untuk melaporkan kekerasan seksual terhadap anak ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di kepolisian juga terhambat. Petugas P2TP2A yang seharusnya menjadi garda terdepan pendampingan, justru meragukan laporan korban dengan alasan psikologi korban anak. Keraguan ini, alih-alih memberikan dukungan, justru menimbulkan perdebatan dan penundaan, membuat korban merasa tidak didengar dan tidak dilindungi. 

Korban juga mengaku proses di kepolisian berbelit-belit dan janggal. Respon salah satu petugas kepolisian yang awalnya mengkonfirmasi keabsahan video kekerasan seksual, tetapi  kemudian mempertanyakan atau menekankan kesulitan pelaporan, serta dugaan ia memberitahukan informasi korban kepada pelaku, mencerminkan kurangnya keberpihakan dan profesionalisme. Ini mencederai Pasal 16 UU PKDRT yang mewajibkan aparat kepolisian untuk segera melakukan penanganan terhadap laporan KDRT. 

Tekanan dan Intimidasi Selama Proses Hukum

Korban juga mengalami intimidasi dari petugas kepolisian yang lain, yang menggunakan nada tinggi dan mempertanyakan waktu kejadian pelecehan yang dianggap “sudah lama”, menunjukkan ketidakpekaan terhadap trauma korban dan melanggar prinsip layanan yang ramah korban.

Akses pelaku terhadap informasi korban di P2TP2A dan dugaan suap polisi menunjukkan adanya celah keamanan dan potensi penyalahgunaan wewenang. Teror yang dialami korban setelah pelaporan ke PPA menunjukkan risiko balas dendam yang seharusnya dicegah oleh aparat. Pasal 56 UU PKDRT mengatur tentang perlindungan bagi korban.

Kualitas Pendampingan Hukum yang Meragukan dan Tidak Ada Support System dari Keluarga

Pengalaman korban dengan advokat yang direkomendasikan oleh konselor di lembaga lain yang ditemui korban sebelumnya sangat mengecewakan. Saran untuk tidak membawa banyak bukti, tidak menampilkan bukti penting, serta perubahan isi gugatan cerai tanpa persetujuan, menunjukkan kurangnya profesionalisme dan mungkin adanya konflik kepentingan. Permintaan 15% dari nafkah terhutang dan uang konsumsi meskipun sudah dibayar secara profesional menimbulkan pertanyaan besar tentang etika.

Perubahan sikap beberapa anggota keluarga yang awalnya dipercaya dan menjadi saksi, tetapi kemudian memihak pelaku, serta keluarga yang terkesan cuci tangan dan menyalahkan korban, menambah beban psikologis korban. Padahal, dukungan keluarga merupakan salah satu faktor penting dalam proses pemulihan dan pencarian keadilan bagi korban KDRT dan kekerasan seksual. 

Langkah Ke Depan dan Harapan

Meskipun menghadapi berbagai rintangan, korban menunjukkan tekad yang luar biasa. Keputusan untuk tetap berjuang mencari keadilan, bahkan setelah mengalami trauma dan kekecewaan. Berusaha untuk mempercayai LBH APIK dan LPSK untuk mendampingi kasus kekerasan seksual terhadap anak dan KDRT memberikan harapan baru bagi korban.

Kasus ini menjadi cerminan nyata bahwa implementasi UU PKDRT dan UU TPKS masih menghadapi banyak kendala di lapangan. Diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja aparat penegak hukum dan lembaga pendampingan, peningkatan kapasitas dan kepekaan terhadap korban KDRT, serta penindakan tegas terhadap oknum-oknum yang menyalahgunakan wewenang. Hanya dengan begitu, keadilan bagi korban KDRT dan kekerasan seksual dapat benar-benar terwujud.

Negara wajib melindungi korban dan mengedepankan advokasi yang berpihak pada korban. Pengada layanan dari negara, dalam hal ini P2TP2A, perlu menerapkan pelayanan yang dekat dengan korban atau memudahkan korban. Korban kekerasan seksual/kekerasan berbasis gender atau KDRT rentan mengalami pemiskinan karena kehilangan pekerjaan, memilih keluar dari pekerjaan karena merasa tidak aman di tempat kerja, atau memilih berhenti bekerja untuk fokus pada pemulihannya. P2TP2A perlu memahami akibat dari kekerasan ini dan memberikan alternatif bagaimana agar korban tidak semakin terbebani ketika melapor, serta memberikan rasa aman pada korban. 

Selain pendampingan secara langsung, Yayasan Pribudaya juga telah mendampingi 25 kasus kekerasan berbasis gender (KBG) selama Juli 2025 untuk dukungan psikososial melalui layanan konseling online. Layanan dukungan psikososial dan pendampingan korban secara langsung selama April-September 2025 ini didukung oleh Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) melalui Program Pundi Perempuan 2025 Termin I. 

More From Author

Dukungan Psikososial Meneguhkan Perempuan Keluar dari Jerat KDRT dan Kekerasan Sistemik

Jangan Tertipu Citra: Ketika Branding “Lelaki Baik” jadi Jeruji Penjara