Perkenalkan nama saya Amanda Anastasia Setiadi. Saat ini saya sibuk bekerja di kantor akuntan publik. Meski sibuk, saya memiliki passion pada isu yang berkaitan dengan perempuan dan psikologi. Ketertarikan pada isu tersebut telah tumbuh sejak dini dan semakin kuat seiring bertambahnya usia serta pengalaman hidup. Meskipun belum sepenuhnya aktif, saya bergabung dalam berbagai organisasi dan kegiatan yang mendukung ketertarikan saya, seperti komunitas menulis, komunitas lintas agama, serta organisasi sosial.
Minat saya yang kuat di bidang sosial, mendorong saya ikut pelayanan ke panti asuhan Pondok Kasih Agape Cilincing, berbagi makanan kepada orang yang kurang mampu di rumah Mensa bersama John Paul II Foundation, mengajar anak-anak di rumah pinggir daerah Angke bersama dengan teman-teman inisiatif lainnya, dan merayakan Natal bersama dengan mereka.
Untuk mengasah kemampuan di bidang psikologi, saya berpartisipasi di kelas-kelas seperti kelas konseling yang diadakan Lembaga Konseling Shekinah dan School of Healing (SOH) dari Yayasan Duta Pembaharuan. Saya mempelajari hal-hal baru dan bertemu dengan beragam orang di pelatihan tersebut. Pada tahun 2013—2017, saya bergabung di beberapa komunitas berbasis agama Kristen yang menggalakkan kebersamaan serta rutin berkomunitas dan bertukar pendapat secara sehat. Saya juga aktif sebagai panitia acara dan kontributor aktivis di acara perkumpulan mingguan.
Menjadi Relawan Konselor
Hal yang sudah saya lakukan untuk mengasah dan memperdalam ketertarikan saya di bidang yang berkaitan dengan perempuan adalah menjadi relawan konselor. Sebagai konselor, saya mendengarkan keluh kesah teman-teman perempuan yang bercerita tentang kasus atau masalah dengan pacar, orang tua, maupun rekan kerjanya. Di samping itu, saya suka berbagi ilmu atau edukasi yang dapat membangun bagi para perempuan, terutama yang telah menjadi ibu. Saya mengadakan diskusi dengan format one on one ataupun grup untuk berbagi informasi seputar pengasuhan anak kepada teman-teman. Selain itu, saya juga aktif berbagi melalui konten instagram. Saya pun kerap berdiskusi dengan beberapa rekan psikolog mengenai kesimpulan tugas saya sebagai konselor yang menampung curahan hati dari kawan-kawan.
Selain itu, saya juga suka menulis. Walau belum menjadi kontributor aktif di majalah atau media manapun, saya ingin mengasah minat saya pada bidang ini dengan mengambil kelas menulis dan berkontribusi lebih aktif mulai dari hal kecil, misalnya menulis blog atau konten media sosial. Melalui tulisan, saya berharap bisa mengedukasi perempuan Indonesia menjadi lebih percaya diri, utuh, serta mendukung kesetaraan gender.
Pengalaman saya menghadapi bermacam-macam tipe orang, termasuk orang tua yang tidak mendukung passion saya di bidang psikologi dan perempuan, ditambah kesibukan bekerja penuh waktu, tidak akan menjadi penghalang untuk berpartisipasi dalam bidang keperempuanan.
Amanda
Merantau di Singapura, Membentuk Saya Menjadi Sosok Tangguh
Salah satu pengalaman yang menjadikan saya pribadi tangguh dan kuat ditempa cobaan adalah hidup mandiri di Singapura selama lima tahun, bahkan dua tahun di antaranya saya tinggal seorang diri. Pengalaman hidup di Singapura membuat mata saya terbuka pada kondisi perempuan di Indonesia. Berbeda dengan Singapura yang aman untuk perempuan, kaum perempuan di Indonesia masih belum bebas untuk keluar di malam hari, bahkan mendapatkan stigma sebagai perempuan nakal jika melakukannya. Belum lagi, bahaya yang mengancam perempuan yang berisiko meningkatkan potensi perempuan menjadi korban kekerasan.
Seringkali kekhawatiran akan bahaya menimpa perempuan disebabkan karena perempuan tidak memiliki kemampuan bela diri atau melawan tindak kekerasan fisik. Banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga dan tingginya tingkat kriminalitas di Jakarta dan kota besar lainnya, tidak dapat disangkal menimbulkan kekhawatiran semakin tinggi. Kekerasan ini berawal dari rendahnya moralitas pelaku, ditambah kondisi korban yang secara fisik tidak berdaya untuk melawan atau takut melaporkan tindakan tersebut ke pihak berwenang.
Pengalaman saya sendiri sebagai perempuan, saya masih ingat ketika SMP, orang tua saya mengatakan bahwa saya harus menjaga virginitas (keperawanan) saya sebelum menikah karena itu adalah harga diri perempuan. Saya pun percaya akan hal itu. Lucunya, semakin saya percaya, justru saya menjadi perempuan yang mudah menghakimi pilihan orang lain atas tubuhnya dan itu tidak membuat hati saya menjadi damai.
Amanda
Saya Semakin Sadar Bahwa Peran Laki-laki dan Perempuan Tidaklah Berbeda
Beranjak dewasa, saya berkomitmen untuk belajar fakta mengenai perempuan serta posisi, tugas, dan fungsi perempuan. Ternyata, banyak sekali ajaran dari orang tua tradisional yang masih sangat fungsional, misalnya peran laki-laki mencari uang sementara perempuan adalah ibu rumah tangga yang berada di rumah mengurus anak. Hal ini membuat saya heran, karena seharusnya perempuan yang sekolah tinggi juga mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki dan dapat menduduki posisi yang sama dengan laki-laki. Perlahan, saya mempelajari tentang biologi serta bagaimana cara kerja otak laki-laki dan perempuan.
Semakin saya belajar, saya menemukan bahwa saya tidak berbeda dengan laki-laki. Saya memiliki keinginan seksual yang sama dengan laki-laki, tetapi kesan yang timbul apabila saya gagal menjaganya, akan menjadi salah saya. Belum lagi kasus-kasus perkosaan yang tidak diurus dengan tuntas oleh pihak berwenang, korban malah di-bully dan dipojokkan dengan kalimat,”Kamu juga menikmatinya,” dan sebagainya. Sangat tidak adil, karena kita memang tidak ada di lokasi kejadian, tetapi kekerasan seperti itu seharusnya tidak bisa disamakan atau dipukul rata, karena saya sadar di luar sana ada oknum pihak laki-laki yang tidak bertanggung jawab, mengancam, serta memojokkan pacar-pacarnya. Hal tersebut tidak bermoral dan menunjukkan mereka tidak menggunakan akal sehat saat memperlakukan lawan jenis. Mereka menghakimi dan memojokkan.
Minimnya Pendidikan Seksual, Menyuburkan Budaya Kekerasan Seksual
Dengan edukasi seks yang masih tertutup, tidak merata, dan tidak apa adanya di Indonesia, turut menyuburkan kekerasan serta budaya patriarki yang telah mengakar. Bila tidak ditangani, dapat menyebabkan gender gap antara perempuan dan laki-laki hingga membiarkan para laki-laki yang tidak bertanggung jawab bertindak seenaknya dan menyalahkan perempuan dengan dalih perempuan yang tidak bisa menjaga diri. Ditambah dengan ancaman dan pelecehan seksual mulai dari catcalling, pelecehan hak perempuan yang membela diri dan haknya, perempuan disalahkan karena bentuk atau pakaian yang dikenakan hingga menyuburkan moralitas yang tidak terkendali.
Saya sadar secara penuh bahwa moralitas adalah tanggung jawab pribadi. Saya juga sadar bahwa Indonesia adalah Negara yang beragama sehingga moralitas sangat dijunjung tinggi dan itu hal yang baik. Namun, tidak adanya keadilan bagi perempuan tidak memajukan negara. Tanggung jawab untuk menjaga diri, kesucian, dan moralitas ada di tangan laki-laki dan perempuan, bukan hanya di tangan perempuan. Suami dulunya bekerja dan berkuasa atas istri, sekarang istri juga sama-sama bekerja sehingga tidak lagi sama seperti dahulu sehingga kondisi ini membuat keadaan lebih baik bagi kesetaraan fungsi kedua gender agar dapat saling mendukung dan menjaga kesetiaan kepada pasangannya. Kesetaraan gender sebenarnya adalah hal yang indah.
Pendidikan Seksualitas Bukan untuk Membebaskan Pergaulan Tidak Bertanggung Jawab
Dukungan-dukungan yang sudah diberikan oleh kaum feminis serta Komunitas Perempuan Berkisah membantu menguatkan kaum perempuan dan memajukan peradaban Indonesia. Tidak memberikan tekanan kepada perempuan semata mendukung moralitas yang bertanggung jawab, serta tidak ada ancaman sepihak yang diberikan kepada perempuan. Saya bukan pendukung gaya hidup bebas, tetapi bagi saya, hal ini tidak dapat disangkal.
Banyaknya pernikahan yang berujung perceraian tidak menjadi jaminan melegalkan seks di Indonesia, dua orang menikah tanpa dilandaskan dengan komitmen sungguh-sungguh dari hati kedua mempelai. Lebih baik bila diadakan edukasi mengenai safe sex agar tidak terjadi kehamilan yang tidak direncanakan saat orang tua belum siap secara materi, mental, dan rohani untuk membesarkan anak.
Apa tujuan saya? Apakah untuk membebaskan pergaulan yang tidak bertanggung jawab? Justru sebaliknya, akan lebih baik jika perempuan tidak merasa inferior ataupun merasa kurang pantas bekerjasama dengan laki-laki, berani mengeliminasi laki-laki yang melakukan kekerasan berbasis gender seperti ancaman atau pelecehan dalam bentuk apa pun—verbal, fisik, maupun tindakan, serta menghilangkan stigma yang salah mengenai kesehatan seksual bagi kedua gender. Jangan sampai ada lagi pertanyaan, “Kamu pernah ngapain aja dengan mantan kamu?” yang digunakan laki-laki sebagai senjata untuk berlaku semena-mena dan menghakimi kepada pasangannya.
Dengan adanya kesetaraan secara terbuka dan sehat, laki-laki dan perempuan tidakakan saling mengancam, merasa lebih tinggi atau rendah, dapat menghargai perbedaan anatomi, fisik, kecenderungan, sifat, serta pola pikir untuk dapat berkolaborasi membangun Indonesia yang lebih baik.
Agama Bukan Tameng Menghakimi yang Berbeda
Religion Gap seperti perbedaan agama dan kepercayaan juga dapat diperkecil dan warga negara Indonesia dapat meningkatkan toleransi, serta tidak menggunakan agama sebagai tameng untuk menyalahkan atau menghakimi orang lain, apalagi memojokkan orang lain dari sisi moralitasnya. Saya mendukung kemajuan moralitas negara Indonesia walau moralitas adalah urusan masing-masing pribadi dengan Tuhan. Namun, sebagai kaum yang lebih dewasa, kita juga menjadi contoh bagi pemuda Indonesia untuk isu kesehatan reproduksi dan seksualitas, pilihan yang bertanggung jawab, dan pembersihan mental atau moralitas dari dalam, bukan hanya yang terlihat.
Terakhir, saya mendukung Indonesia yang lebih hidup, berpengetahuan, terbuka, dan terarah. Saya mendukung warga Indonesia lebih rajin belajar dan membaca. Dengan meratanya akses pengetahuan yang didapatkan warga Indonesia dan adanya lapangan kerja bagi orang yang menganggur, Indonesia yang berlimpah kekayaan alamnya ini seharusnya bisa lebih dimanfaatkan secara bertanggung jawab dan sehat agar mengurangi angka pengangguran dan dapat melaksanakan pembinaan lingkungan atau pemerintah daerah yang kurang berkembang. Dengan peningkatan ekonomi yang merata, stabil, dan berkesinambungan, Indonesia bisa memajukan produksinya dan produk domestik brutonya sehingga taraf hidup secara keseluruhan bagi warga Indonesia menjadi lebih baik.
Semoga Kaum Perempuan Semakin Kuat dan Menguatkan
Akhir kata, dukungan-dukungan yang sudah diberikan diharapkan dapat menciptakan Indonesia yang lebih bertanggung jawab, bermoral, serta kaum perempuan yang terkuatkan. Hidup memang berat dan banyak godaan, tetapi cara kita memandang dan bersikap terhadap tantangan itulah yang menjadikan kita pribadi yang lebih baik, lebih dewasa, serta lebih bermoral. Semoga komunitas perempuan di Indonesia dapat menjadi komunitas yang saling mendukung edukasi perempuan, korban kekerasan, serta kesetaraan gender di bidang apa pun. Semoga komunitas perempuan di Indonesia menjadikan kita pribadi yang lebih bermartabat, beradab, dan memiliki empati kepada sesama perempuan di tengah kesibukan kita bekerja, berkeluarga, serta mengurus atau membesarkan anak.
Amanda Anastasia Setiadi adalah Senior Financial Auditor, Ernst & Young, Jakarta. Amanda juga menekuni bidang psikologis dan mempelajari bagaimana kepribadian orang, bagaimana mereka berinteraksi di tengah perbedaan. Dia juga gemar membaca banyak buku untuk mengembangkan diri dan melakukan beberapa kegiatan amal dan organisasi di waktu luangnya. Ingin berdiskusi dengan Amanda? Kamu bisa langsung akses instagramnya: @a.manda.as