Belajar dari kasus yang sudah-sudah, semuanya bisa mengarah pada kontrol emosional dan kekerasan seksual.
Dua minggu ini timeline media sosial dan kiriman kasus kekerasan yang masuk ke redaksi Perempuan Berkisah cukup menyita emosi dan mental. Minggu lalu ada korban kekerasan yang mengirimkan kisahnya ke Perempuan Berkisah dan sudah dimuat di Instagram kami, “Saya Introvert, Korban Love Bombing-Ghosting-Zombieing, Kini Hamil dan Ditinggal Pergi”.
Cerita korban lumayan triggering dan bikin editor kisah rada gemetar menulisnya. Tapi kita nggak akan berfokus pada korban dan kisah hidupnya, tapi akan membahas istilah love bombing, ghosting, dan zombieing dan bagaimana dampaknya pada korbannya.
Lalu, di awal minggu ini, perhatian netizen Indonesia teralihkan dengan skandal child grooming yang (diduga) dilakukan aktor terkenal Korea Selatan, KSH pada mendiang aktris KSR. Tapi concern kita bukan pada KSH ya, tapi pada bagaimana masyarakat Korsel sangat aware bahwa ini adalah kekerasan pada anak dan wajib ditelusuri kebenarannya.
Sementara itu komen-komen netizen di Indonesia justru, “Wah, kalau anak saya dideketin laki-laki kayak KSH, langsung saya ijab kobulin”, yang bikin nyesek. Apa masih banyak masyarakat yang tidak paham bahwa anak-anak dan remaja yang dipacari pria dewasa itu namanya child grooming dan termasuk kekerasan? Duh, miris!Mari bahas satu per satu mengapa child grooming, love bombing, ghosting, dan zombieing itu bisa mengarah pada kekerasan seksual dan kontrol emosional yang traumatis.
Child Grooming, Bentuk Manipulasi Emosional dan Seksual pada Anak
Child grooming adalah ketika seseorang di usia dewasa membina hubungan serta membangun kepercayaan dan ikatan emosional dengan seorang anak atau remaja, sehingga mereka dapat memanipulasi, mengeksploitasi, dan menyiksa mereka. Kalau menurut UU Nomor 35 Tahun 2014, yang dikategorikan anak-anak adalah semua yang masih berusia di bawah 18 tahun.[1]
Asal Mula Istilah Grooming
Sepanjang 1990-an, istilah grooming banyak digunakan untuk menggantikan kata “rayuan” sebagai istilah yang paling umum digunakan. Pada tahun 2008, BBC merilis laporan yang mengaitkan istilah grooming dengan pedofil dan pedofilia.[2]
Namun Christian Monitorlah yang pada tahun 2022 menulis bahwa kata grooming mengalami pergeseran makna yang lebih jahat karena mengandung “persiapan pelecehan seksual di kemudian hari”.[3]
Nggak boleh disepelekan, anak-anak dan remaja yang menjadi korban grooming berpotensi besar mengalami pelecehan seksual, eksploitasi, bahkan perdagangan manusia, terutama yang terjadi secara online. Anak-anak yang aktif menggunakan internet rawan didekati child groomer lewat aplikasi, game, atau media sosial, dengan menyembunyikan identitas mereka karena memakai foto atau video orang lain.
Hubungan yang dibangun oleh child groomer ini bisa berupa hubungan romantis, pelaku bertindak sebagai mentor, idola (seseorang yang disegani), atau lainnya. Anak-anak “dijerat” dan dimanipulasi dengan orang dewasa ini, seolah-olah mereka punya hubungan yang kuat, sehingga menurut saja ketika disuruh melakukan sesuatu, mulai mengirim PAP telanjang hingga melakukan live seperti yang diarahkan si pelaku dewasa.
Kontennya? Kebanyakan diperjualbelikan atau dikonsumsi si pedofil sendiri! Menurut Komnas Perempuan, pengaduan kasus kekerasan berbasis gender daring (KBGO) di ranah publik Indonesia pada tahun 2022 menempati posisi tertinggi, mencapai 69% dari total kasus.[4]
Nah, kasus child grooming dalam beberapa hari terakhir mencuat lagi di media sosial, terutama sejak media Korea menyoroti hubungan aktor Korea KSH dengan mendiang KSR yang terjadi selama 6 tahun, di mana saat itu KSH berusia 27 tahun dan aktris KSR masih 15 tahun.
Masyarakat Indonesia Belum Aware dengan Istilah Child Grooming
Meski rada ngeri dengan cancel culture yang ada di Korsel, tapi mau tidak mau saya harus mengapresiasi betapa masyarakat di sana jauh lebih aware dengan child grooming dibandingkan negara kita. Masyarakat kita justru cenderung menormalisasi child grooming dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya.
Bayangkan, ada banyak komentar netizen Indonesia yang entah nggak tahu atau nggak peduli, bahwa child grooming itu adalah tindak kekerasan dan bisa masuk ranah pidana!
Ini contohnya:
Masih ingat kasus Mario Dandy (20 tahun) yang selain dilaporkan menganiaya David Ozora, juga dilaporkan atas statutory rape dan child grooming pada pacarnya, AG (15 tahun)?[5] Pada kasus ini, Mario dijerat dengan banyak pasal akibat melakukan hubungan seksual dengan anak di bawah umur.
Sebelumnya, netizen Indonesia juga sempat ramai di hubungan aktor Kris Hatta (34 tahun) yang memiliki kekasih (14 tahun), yang terang-terangan direstui oleh ibu sang perempuan. Sayangnya kasusnya akhirnya mentah karena hukum di Indonesia belum mengatur hubungan kekasih nonseksual (tidak ada bukti adanya hubungan seksual) di antara orang dewasa dan anak di bawah umur.[6]
Yang bikin gedek, masyarakat Indonesia sampai saat ini masih merasa hubungan antara orang dewasa dan anak-anak adalah lumrah.
Lihat saja komentar-komentar ini:
Begini ya, masalahnya bukan di perbedaan usia, karena mau nikah beda usia 15–20 tahun pun nggak masalah, asalkan keduanya sudah sama-sama sudah dewasa. Kalau salah satunya masih minor alias di bawah umur, itu yang ilegal!
Salahnya di mana? Kan sama-sama suka? Demi melindungi anak, ada yang namanya age of consent atau usia persetujuan. Secara terminologi, ini artinya usia di mana seseorang dianggap mampu secara hukum untuk memberikan persetujuan dalam melakukan aktivitas seksual.
Age of consent menjadi batasan penting yang menentukan legalitas suatu aktivitas seksual. Ketika seseorang melakukan aktivitas seksual dengan orang yang berada di bawah usia persetujuan, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan seksual, terlepas dari ada tidaknya persetujuan dari pihak yang bersangkutan. Meski di seluruh dunia usia ini bisa berbeda [7], di Indonesia sendiri, menurut UU Perlindungan Anak, age of consent-nya adalah 18 tahun. Artinya, anak-anak di bawah usia tersebut dianggap belum memiliki consent.[1]
Selain itu, anak yang jadi korban child grooming online maupun secara langsung, serta korban pedofilia atau kejahatan seksual lain, bisa mengalami trauma, depresi, gangguan belajar, gangguan makan, gangguan sosial, bahkan terkena penyakit menular seksual.[8]
Pasalnya, child grooming memang hanya berpotensi menjadi kekerasan seksual, tapi yang nggak kalah traumatis adalah adanya kontrol emosional dari pelakunya. Ada kontrol dari pelaku dewasa akibat ketimpangan relasi kuasa, di mana pelaku dewasa memanipulasi anak-anak dan remaja yang masih rentan, yang bahkan belum paham seperti apa hubungan yang sehat itu.
Jadi, mari sebagai orang dewasa dan orang tua, kita lindungi anak-anak, adik-adik, atau siapa pun yang masih minor dengan mengedukasi hal ini.
Love Bombing-Ghosting-Zombieing, Manipulasi Emosi yang Bisa Berujung pada Kekerasan Seksual
Minggu lalu Perempuan Berkisah menayangkan konten Instagram dari kisah nyata, di pengirimnya adalah seorang introvert yang mengalami manipulasi dan kekerasan. Setelah membaca curahan hatinya, kami menyimpulkan korban mengalami love bombing, di-ghosting, lalu di-zombieing, hingga berakhir mengalami kekerasan seksual.
Love Bombing
Love bombing adalah salah satu bentuk manipulasi emosional di mana pelakunya melakukan bombardir cinta alias menghujani korban dengan perhatian, kasih sayang, ungkapan cinta, bahkan hadiah secara bertubi-tubi dan intens, sehingga korban merasa istimewa dan dicintai.
Sekilas kayaknya ini adalah hal yang romantis, namun para ahli psikologi kini mengidentifikasi love bombing sebagai bagian yang mungkin dari siklus kekerasan di masa depan. Ahli kesehatan mental menyebut taktik ini dapat digunakan oleh seseorang yang memiliki narsisme atau sosiopat dalam upaya untuk mengendalikan orang lain.[9]
Tapi sejujurnya, siapa sih, yang nggak suka dibanjiri pujian, perhatian, atau hadiah dari gebetan atau pasangan, bahkan kata-kata, “Aku nggak bisa hidup tanpamu?” Ada pepatah yang bilang bahwa semua yang terlalu berlebihan itu tidak baik. Sayangnya, nggak semua orang sadar, bahwa love bombing adalah perhatian yang berlebihan, nggak wajar, bahkan terasa terlalu cepat.
Para ahli mengemukakan bahwa perilaku ini akan membuat korbannya merasa “dilambungkan setinggi langit”, hingga korban merasa terikat, ketagihan, yang membuatnya tidak bisa meninggalkan pelaku.
Menurut Cleveland Clinic, ada tiga tahap love bombing:[10]
- Idealisasi: Pelaku menyanjung dan memuji berlebihan, menyatakan cinta bahkan berkomitmen dalam waktu singkat sejak mulai dekat.
- Devaluasi: Pelaku mulai berubah, kadang bersikap baik satu menit, lalu bersikap kejam di menit berikutnya. Bahkan ada pelaku yang sengaja menunjukkan kasih sayang di depan umum sehingga orang lain menganggap pelau adalah “pasangan hebat”, tetapi dapat berubah menjadi kasar (saat hanya bersama korbannya).
- Discard: Ketika korban mengonfrontasi pelaku tentang perilakunya yang aneh, pelaku akan mulai menghindari tanggung jawab bahkan mengakhiri hubungan, sehingga korban merasa bingung, kehilangan arah, atau merasa gagal memperbaiki keadaan.
Dari kasus di atas, pelaku love bombing memilih korban yang rentan: seorang introvert tanpa punya banyak teman dan baru saja putus cinta. Ini sesuai dengan hasil penelitian di mana perilaku love bombing berkorelasi positif dengan kecenderungan narsistik, keterikatan menghindar, dan keterikatan cemas, serta berkorelasi negatif dengan self-esteem korban yang rendah.[11]
Ketika ditinggalkan, korban jadi merasa sangat kehilangan dan merasa harus mengejarnya kembali. Ada perasaan yang dirindukannya ketika pelaku membormbardirnya dengan cinta dan perhatian, sehingga membuatnya jatuh cinta dan ketagihan secara emosional. Jika sudah begini, pelaku sudah memanipulasi dan mengendalikan emosi korban.
Ghosting dan Zombieing
Zaman berganti, begitu pula cara manusia berinteraksi.
Bertemu dengan orang lewat internet dan berhubungan secara online atau virtual membuat fenomena ghosting dan zombieing kian banyak ditemukan dalam hubungan modern.
Pada kasus di atas, setelah korban dibombardir cinta, pelaku kemudian tiba-tiba ghosting: kabur, menghilang, memblokir semua kontak dan media sosialnya, serta meninggalkan korban dengan kebingungan dan keputusasaan.
Bayangkan, setelah setiap menit, setiap jam, dan setiap hari berkirim pesan atau telepon, bahkan sampai sleep call berjam-jam, dihujani perhatian, kata-kata cinta dan sayang, bahkan komitmen yang terlalu cepat, lalu Anda diblokir tanpa kabar? Korban pasti merasa bingung, bahkan mengira sesuatu yang buruk telah terjadi pada orang tersebut.
Sebenarnya, apa sih, yang ada dalam pikiran pelaku ghosting? Dalam sebuah penelitian, perilaku ghosting bisa menjadi tanda isolasi diri yang terlihat pada orang dengan depresi, punya kecenderungan bunuh diri, atau kambuh karena kecanduan.[12]
Dalam kasus di atas, setelah berusaha mencari tahu ke sana ke mari sekian lama, korban pun sudah memutuskan untuk move on. Sayangnya pelaku datang lagi dan melancarkan aksi love bombing kembali. Korban kena zombieing tanpa disadarinya. Polanya bisa ditebak: pelaku minta maaf, berjanji tidak akan melakukannya lagi di masa depan, lalu bersikap seolah tidak apa-apa. Ini manipulatif, narsistik, dan bahkan menurut studi, pelaku seperti ini bisa jadi ada kecenderungan psikopat![13]
Di fase ini, mental korban yang sudah jatuh, kembali dilambungkan perlahan, sehingga muncul kembali harapan atas hubungan, dan terjadilah manipulasi lebih lanjut: kekerasan seksual. Di beberapa kasus, hubungan toxic seperti ini malah membuat korban terjebak dalam hubungan nggak sehat dan jadi sulit keluar.
Bisa dibilang kejadian ini bak orang yang sedang naik roller coaster, hanya saja yang sedang dijungkirbalikkan dan diputar-putar ini adalah perasaan seseorang. Bahkan sampai ada kekerasan seksual, lalu lagi-lagi ditinggal menghilang.
Jahat sekali.
Kalau ada orang yang berkomentar, “Kok bodoh amat, mau-maunya dimanipulasi, dibodohi, sampai terjadi kekerasan seksual?” Percayalah, hal ini bisa terjadi pada siapa pun, terutama orang-orang yang yang sedang dalam kondisi rentan dan memiliki karakter introvert seperti korban, baik perempuan maupun laki-laki.
Jadi, mari kita jadikan saja ini sebagai pembelajaran bersama agar tidak ada korban-korban lagi yang mengalami love bombing-ghosting-zombieing dan kekerasan seksual yang mengatasnamakan cinta. Berhenti menormalisasi kekerasan seksual apapun bentuknya.
Berkomentar secara empati tidak akan merugikan kita, malah akan menguatkan korban dan membantunya bangkit dari keterpurukan. Sementara itu, komentar-komentar negatif yang tidak berpihak pada korban dan justru malah menyalahkan, akan makin membuat korban lemah, terpuruk, merasa tidak berharga, bahkan memicu suicidal.
Semoga menjadi pembelajaran.