Ketika Keberanian Menjadi Titik Awal Pemulihan

Disclaimer: Catatan pembelajaran ini tidak memberikan informasi spesifik berupa nama korban dan pelaku, alamat tempat tinggal korban maupun pendamping korban, dan informasi spesifik lainnya yang dapat mengancam keamanan korban. Informasi lebih lengkap hanya dijelaskan dalam dokumen laporan pendampingan. Catatan pembelajaran hanya memberikan informasi terkait kasus secara singkat, kondisi korban, bentuk kekerasan, faktor yang memengaruhi kondisi korban, proses dukungan psikososial dan pendampingan korban, strategi, tantangan dan refleksi dalam proses pendampingan yang dilakukan oleh tim konselor dan pendamping korban dari Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh Berdaya (Pribudaya). Layanan dukungan psikososial dan pendampingan korban secara langsung selama April-September 2025 ini didukung oleh Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) melalui Program Pundi Perempuan 2025 Termin I.

Seorang perempuan memulai kisah rumah tangganya dengan kebahagiaan. Menikah pada 1993 dalam ikatan Katolik, ia percaya bahwa keluarganya berdiri di atas cinta dan kesetiaan. Tahun-tahun awal terasa penuh harapan. Sebuah rumah tangga yang ia bayangkan akan tumbuh dalam kehangatan. Namun, perjalanan itu perlahan berubah menjadi duri yang diselimuti rahasia, pengabaian, dan luka yang ia tanggung sendirian.

Pernikahan yang Dikhianati

Dua puluh tahun kemudian, tepatnya pada 2013, kenyataan pahit terbuka. Ia mengetahui bahwa suaminya menikah siri dengan perempuan lain secara Islam tanpa sepengetahuannya. Lebih mengejutkan lagi, dari hubungan itu telah lahir seorang anak. Bagi perempuan ini, fakta itu adalah hantaman besar. Ikatan Katolik yang diyakininya begitu suci ternyata dikhianati dengan pernikahan ganda.

Saat itu, suaminya berjanji akan meninggalkan pasangan selingkuhannya. Keluarga mencoba menyelesaikan perkara secara kekeluargaan, dan pada 2017 perempuan ini kembali menggenggam harapan bahwa janji itu akan ditepati. Sayangnya, janji itu hanya tinggal kata-kata yang tak pernah ditepati.

Nafkah yang Dialihkan, Tekanan yang Datang Bertubi

Sejak perselingkuhan itu terbongkar, rumah tangganya tak pernah sama lagi. Selama hampir sepuluh tahun, suaminya jarang pulang, dingin dalam interaksi, dan tak memberi nafkah layak. Justru korban yang menjadi tulang punggung keluarga, menghidupi dirinya serta anak-anaknya.

Pada 2024, ia kembali dikecewakan. Ternyata, selama ini suaminya masih menjalin hubungan dengan perempuan lain tersebut. Nafkah yang seharusnya diberikan kepada keluarga inti justru dialirkan kepada keluarga barunya. Kebohongan demi kebohongan terkuak, seakan seluruh tahun-tahun panjang pengorbanannya tak pernah dianggap.

Lebih menyakitkan lagi, keluarga besar suaminya justru mendukung hubungan perselingkuhan itu. Kakak ipar dan saudara-saudara suami tak segan menyalahkannya, bahkan menuduhnya sebagai perempuan yang kejam. Dalam relasi yang timpang ini, perempuan dan anaknya seolah dihapus keberadaannya.

Mencari Keadilan di Jalan yang Pahit

Pada akhirnya, perempuan ini memberanikan diri melaporkan suami dan istri kedua suaminya ke pihak kepolisian. Proses hukum berlangsung hampir sepuluh bulan, hingga awal 2025 keduanya ditetapkan sebagai tersangka. Namun, hasil persidangan kembali mengecewakan.

Jaksa hanya menuntut satu tahun, dan hakim memutuskan sepuluh bulan penjara. Padahal, menurut aturan, ancaman hukuman sebenarnya bisa mencapai tujuh tahun. Baginya, vonis itu terlalu ringan, jauh dari rasa keadilan yang ia perjuangkan. Namun, ia tetap bertahan, sekalipun keluarga besar suaminya terus menekan dan memojokkan dirinya.

Proses Pendampingan Psikososial dari Tim Perempuan Berkisah 

Korban meminta tolong anaknya untuk mengisi informed consent konseling bersama tim Perempuan Berkisah. Korban merasa bahwa dia membutuhkan pertolongan untuk support system karena berbagai pihak menyalahkan dan menganggapnya “perempuan kejam” setelah suami dan istri kedua suaminya dipenjara. 

  1. Sesi Pendampingan Pertama : Pada sesi pendampingan pertama, korban berusaha untuk menceritakan kisahnya dengan harapan dia mendapat support system dan divalidasi. Korban banyak bercerita mengenai relasi yang timpang antara suaminya, keluarga besar suaminya, dan juga bagaimana relasi suaminya dengan anaknya. Tim konselor lebih banyak mendengarkan dengan aktif dengan mengafirmasi dan memvalidasi bahwa keputusan korban ketika melaporkan suaminya adalah langkah yang tepat untuk mendapat keadilan. Meskipun, hasil dari keputusan jaksa dan hakim tidak mencerminkan keadilan dan kurang berpihak kepada korban yang selama ini menanggung beban sendiri. 
  2. Sesi Pendampingan Kedua: Pada sesi pendampingan pertama, korban berusaha untuk menceritakan kisahnya dengan harapan dia mendapat support system dan divalidasi. Korban banyak bercerita mengenai relasi yang timpang antara suaminya, keluarga besar suaminya, dan juga bagaimana relasi suaminya dengan anaknya. Tim konselor lebih banyak mendengarkan dengan aktif dengan mengafirmasi dan memvalidasi bahwa keputusan korban ketika melaporkan suaminya adalah langkah yang tepat untuk mendapat keadilan. Meskipun, hasil dari keputusan jaksa dan hakim tidak mencerminkan keadilan dan kurang berpihak kepada korban yang selama ini menanggung beban sendiri. 

      Dalam sesi konseling kedua, korban menceritakan kebimbangannya mengenai apakah sebaiknya dia mengunjungi suaminya di lapas. Ia mendengar kabar bahwa suaminya ingin bertemu di lapas, bahkan dikatakan merasa menyesal. Rasa iba sempat mengetuk hatinya. Namun, korban juga menyimpan ingatan yang sulit dihapus. Di ruang sidang, suaminya tidak pernah meminta maaf. Sebaliknya, ia diserang dengan fitnah, dituduh memeras, diputarbalikkan faktanya. Manipulasi itu membuka matanya bahwa “penyesalan” bisa saja hanya menjadi jalan lain untuk menariknya kembali ke lingkaran kekerasan.

      Setelah konseling kedua, korban akhirnya mantap mengambil keputusan. Ia memutuskan untuk tidak mengunjungi suaminya di penjara. Keputusan ini lahir bukan dari amarah, melainkan dari kesadaran penuh. Ia tidak ingin membuka kembali pintu luka yang telah ia coba tutup.

      Refleksi Pendampingan

      Dari proses panjang ini, ada beberapa pembelajaran penting:

      1. Perselingkuhan adalah bentuk KDRT: Kekerasan tidak hanya berbentuk fisik. Kebohongan, penelantaran ekonomi, dan manipulasi psikis adalah bentuk kekerasan nyata yang meninggalkan luka mendalam. KDRT merupakan siklus yang terdiri dari berbagai fase yaitu fase konflik, fase ledakan kekerasan, fase bulan madu, fase situasi hubungan baik. Semakin lama, siklus ini berputar cepat sehingga korban mempercayai bahwa relasi kekerasan tersebut adalah hal yang normal. Pada fase-fase bulan madu dan situasi hubungan baik, pelaku akan menanamkan sugesti pada korban bahwa dia bisa berubah menjadi lebih baik sehingga korban percaya bahwa kekerasan yang dilakukannya merupakan “kekhilafan”. 
      2. Ketidakadilan hukum tidak menghapus nilai perjuangan: Melaporkan pelaku meski tanpa dukungan keluarga adalah langkah besar. Korban membuktikan bahwa ia memiliki hak dan keberanian untuk melawan, sekalipun sistem hukum dan lingkungan sosial kerap tidak berpihak. KDRT diatur dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pelaku terbukti menelantarkan keluarganya, melakukan kekerasan ekonomi, dan kekerasan psikis. Namun, negara seolah tidak memberikan keadilan yang berpihak kepada korban karena hanya memvonis pelaku dengan hukuman yang ringan. Padahal, pelaku sudah melakukan ketidakadilan pada korban selama belasan tahun. Ketidakberpihakan negara pada korban memperlihatkan bahwa kasus KDRT bukan hanya masalah personal, tetapi juga perempuan mengalami kekerasan sistemik dari negara. Vonis ringan memang mengecewakan, tetapi proses hukum yang ditempuh adalah bukti keberanian. Suara perempuan tetap penting, meski hukum belum sepenuhnya berpihak.
      3. Mengenali pola manipulasi adalah bentuk perlindungan diri: Dengan menolak mengunjungi suaminya, korban menegaskan batas bahwa ia tak lagi ingin terjebak dalam rasa iba yang bisa membawanya kembali pada siklus kekerasan. Memahami dan mengenali siklus KDRT merupakan langkah awal korban memutus siklus kekerasan. 

        Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya dukungan psikososial dalam menguatkan perempuan. Konseling menjadi ruang aman untuk melihat ulang posisi diri, mengenali pola kekerasan, dan meneguhkan langkah ke depan. Tim konselor Perempuan Berkisah membantu memetakan permasalahan dan risiko yang akan dilalui korban dalam langkah-langkah yang akan diambilnya. Langkah korban merupakan langkah yang diambilnya secara mandiri dan sadar. Dengan keberanian yang dimiliki korban, seorang perempuan menulis ulang kisahnya bukan sebagai korban yang kalah, melainkan sebagai penyintas yang memilih untuk berani bangkit kembali.

        Selain pendampingan secara langsung, Yayasan Pribudaya juga telah mendampingi 24 kasus kekerasan berbasis gender (KBG) selama September 2025 untuk dukungan psikososial melalui layanan konseling online. Layanan dukungan psikososial dan pendampingan korban secara langsung selama April-September 2025 ini didukung oleh Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) melalui Program Pundi Perempuan 2025 Termin I. 

        More From Author

        Kekerasan Seksual dalam Pacaran: Saat Korban Dipaksa Menanggung Sendiri

        Leave a Reply