DISCLAIMER: Tulisan ini berisi kisah nyata korban kekerasan seksual (KS) yang mulai pulih menjadi penyintas. Kisah aseli penyintas diungkapkan via zoom dan chat WA oleh penyintas bersama tim konselor dan psikolog di ruang aman Perempuan Berkisah (PB). Tim Redaksi Perempuan Berkisah hanya membantu mentranskrip dan mengedit kalimat-kalimat sensitif dan menghilangkan nama identitas dan tempat untuk menjaga keamanan identitas penyintas. Penyintas telah melalui proses konseling bersama Psikolog dan Konselor di Ruang Aman Perempuan Berkisah selama 5 (Lima) kali konselig tanpa dikenakan biaya, karena semua proses konseling melalui Perempuan Berkisah tanpa dipungut biaya. Proses konseling ini didukung oleh Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh Berdaya (Pribudaya) dan Kitabisa.com melalui program #KawanPuan.Catatan penyintas KS ini adalah satu dari 900-an penyintas yang mendaftarkan diri untuk konseling di Ruang Aman Konseling Online Perempuan Berkisah. PENTING: tidak semua healing dalam proses pulih penyintas dilakukan sendirian, namun ada proses pendampingan intensif dari psikolog di Ruang Aman Perempuan Berkisah.
Rasanya lelah ini tak ada batasnya, trauma akibat pemerkosaan hingga ancaman pembunuhan oleh ayah tiriku membuatku sulit pulih. Tapi, tahun ini aku bersyukur pelahan mulai pulih dan berdaya. Ini adalah perjalananku menemukan “rumah” di dalam diriku melalui konseling berbasis etika feminisme bersama Psikolog dan Konselor di Ruang Aman Perempuan Berkisah, Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh Berdaya (Pribudaya).
Aku menjadi korban pemerkosaan sejak kelas lima SD
Ayah tiri memperkosaku berkali-kali sejak saya berusia sebelas tahun. Ia melakukannya sambil terus menerus mengancamku. Katanya, jika saya mengadu kepada ibu atau orang lain, saya akan dibunuh. Pemerkosaan itu berlangsung terus menerus sejak saya kelas lima SD hingga lulus SMA. Saya begitu takut pada ancamannya dan memikirkan keselamatan orang-orang terdekat jika mereka tahu kejadian ini. Saya takut orang yang saya ceritakan perihal ini akan disakiti olehnya.
Sebetulnya, saat saya mulai sadar bahwa tindakannya merupakan kekerasan seksual, saya selalu menolak dan menghindar. Namun, ternyata hal tersebut sulit untuk dilakukan. Pelaku selalu memaksa, bahkan tidak segan melakukan kekerasan fisik. Ia akan menodongkan pisau, memukul, atau membanting tubuh saya.
Akhirnya, pada tahun 2021 saya memberanikan diri melaporkan pelaku
Kini, ia sudah ditangkap dan dijatuhi hukuman 14 tahun penjara. Namun, trauma dari seluruh kejadian tersebut ternyata tidak hilang. Saya kerap mengalami serangan panik setiap mendengar atau melihat berita tentang kekerasan seksual. Setelah itu, perasaan ingin mati, hampa, sulit tidur akan datang menghantui. Saya juga takut menjalin hubungan apalagi sampai ke jenjang pernikahan.
Hingga kini, saya tidak pernah mendapatkan pendampingan ataupun konseling ke psikolog atau psikiater. Namun, saya sangat ingin kondisi saya membaik dan melepaskan semua trauma dari diri saya.
Trauma akibat kekerasan seksual terus menyiksaku sampai dewasa, hingga aku bertemu Ruang Aman Perempuan Berkisah
Kondisi saya naik turun, tetapi tidak pernah betul-betul naik dan rasanya selalu di tengah-tengah. Saya tidak bisa mengekspresikan perasaan, mudah terpicu trauma, mengalami kecemasan, panik, dan tidak memiliki rasa untuk bertahan hidup. Saya kerap merasa, buat apa hidup, saya toh tidak berharga? Rasanya tidak ada lagi kepercayaan diri tersisa. Saya merasa telah menjadi manusia sudah rusak dan menjalani hidup yang tidak ada gunanya.
Akhirnya, saya pertama kali bertemu Ruang Aman Perempuan Berkisah (PB) dari akun instagram @perempuanberkisah. Saya tahu ada informasi konseling bersama psikolog gratis lalu bertemu Psikolog di Ruang Aman PB. Ternyata, rasa optimisme itu muncul. Sebelum di Perempuan Berkisah (PB), saya memang sudah melalui konseling dengan psikolog lain, tetapi aku merasa belum benar-benar cocok dengan Psikolog sebelumnya. Kembali lagi, psikolog hanya mendampingi dan semua kemauan berubah kembali ke diri sendiri.
Sebelumnya, saya pikir psikolog adalah sosok yang harus mengarahkan saya untuk pulih. Ternyata, yang bisa menolong diri saya adalah saya sendiri dengan berproses bersama psikolog. Kesadaran ini membuat saya merasa tertampar saat menemukan tayangan konseling di PB. Setelah itu, saya belajar menerima dan memaafkan diri dan orang-orang di sekitar saya.
Tidak semua orang menjadi yang kita mau
Hal yang paling berkesan dari sesi konseling ini adalah pemahaman bahwa tidak semua orang bisa menjadi yang kita mau sehingga kita tidak perlu menghabiskan energi. Sebelum bertemu PB, saya selalu menyalahkan diri dan mempertanyakan alasan dulu tidak kabur atau berontak saja agar tidak perlu mengalami semua kejadian ini. Namun kini, kesadaran saya tentang semua perjuangan diri saya dahulu pun hadir. Memang, mungkin dulu perjuangan saya belum besar, tetapi sekarang sudah ada hikmahnya. Saat saya mengalami kekerasan seksual tersebut, rasanya diri saya terjajah. Namun, sekarang saya sedang berproses menuju diri saya yang merdeka. Merdeka itu menurut saya adalah proses menjadi sosok yang kuat berdiri di kaki sendiri tanpa bergantung pada orang lain.
Saya belajar melepaskan emosi. Marah, ya marah asal dalam batas wajar
Selama konseling bersama psikolog PB, rasa panik dan takut berkurang terutama setelah menjalankan hal yang disarankan psikolog PB. Saya diperkuat dengan pengetahuan mengenai cara menghadapi pemicu trauma serta ritual bangun dan sebelum tidur. Hal tersebut mungkin umum, tetapi belum saya resapi atau jalankan sejak dulu. Sekarang, saya merasa lebih baik setelah bertemu Nayla, Psikolog di Ruang Aman PB.
Saya merasa lebih legowo dengan kesalahan orang lain
Salah satu keluhan saya sebelum konseling adalah kesulitan tidur. Sekarang, saya bersyukur bisa tidur cepat dan tenang. Semua karena saya menjalankan rangkaian ritual sebelum tidur. Sebelum tidur saya harus kenyang, bersih, dan mencari posisi yang nyaman. Setelah itu, saya akan mengulang kembali rangkaian kejadian yang saya alami hari ini sambil berterima kasih dan meminta maaf pada diri jika saya rasa telah melakukan kesalahan atau terbawa perasaan. Sebelumnya, saya tidak menjalankan hal seperti itu. Meski mendapat hujatan atau cacian, saya kembali bangkit dengan tetap mengapresiasi diri dan menjalankan ritual sederhana tersebut. Sebelumnya, jika dihujat saya akan langsung emosi, tetapi sekarang saya bisa lebih mengontrolnya lewat mengatur napas sambil tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada diri.
Ritual bangun tidur selalu menyemangati diri agar menjadi lebih baik dari kemarin agar bisa ada pengalaman baru
Rasa trauma dahulu telah menyebabkan saya menjadi sosok yang lebih sensitif, mudah terbawa perasaan, dan tersinggung jika ada mengejek penampilan atau memojokkan diri saya sebagai korban. Namun saat ini, saya sudah di tahap bisa lebih menerima, terutama setelah sadar bahwa diri saya korban dan korban bukan seharusnya menjadi pihak yang bersalah. Saya bukan aib dan inilah hikmah dari yang saya alami. Hal ini telah membuat saya lebih kuat dan belum tentu orang lain bisa sekuat ini. Jadi, kunci dari proses ini adalah penerimaan diri dan terus belajar mengambil hikmah dari pengalaman ini.
Kepercayaan diri setelah konseling itu selalu naik
Selama konseling, saya mendapati bahwa diri saya ternyata kesepian. Memang, sejak kekerasan seksual tersebut, saya kekurangan sosok orang tua dan sering mencari penggantinya pada orang yang tidak tepat. Hal itu justru membuat luka dan trauma saya semakin dalam. Psikolog PB akhirnya membantu saya mencapai kesadaran bahwa salah satu akar masalah dari kondisi tersebut adalah kesepian. Orang di sektiar saya saat ini hanya mengisi kekosongan sementara. Akhirnya, saya pun mulai mencari aktivitas yang saya sukai misalnya masak, membuat video lucu yang saya pos untuk pribadi, jalan-jalan atau pergi minum kopi sendiri. Saya pun mulai mencari kesibukan seperti bergabung dalam organisasi. Efeknya, kebiasaan overthinking pun jauh berkurang. Saya pun tidak lagi mencari sosok laki-laki untuk mengisi kekosongan diri. Kini saya sadar, rumah itu adalah diri saya sendiri. Akhirnya, saya menemukan rumah di dalam diri sendiri
Perjalanan menemukan diri saya memang berliku
Sesi konseling ini membuat saya lebih paham pada diri sendiri. Sebelumnya, saya merasa asing bahkan pada diri sendiri. Sekarang, saya sudah mulai memahami kebutuhan dan keinginan diri, bahkan mengutarakannya.
Menurut saya, penting bagi para korban KS yang masih berjuang untuk mencari rumah (tempat ternyaman atau berlindung) untuk mulai mencarinya ke dalam lewat proses mengenal diri. Saya rasa setiap korban KS butuh rumah dan perlindungan, tetapi saat mencari di sosok lain, kebanyakan kita gagal mendapatkannya. Saya justru baru sadar bahwa rumah itu ada di dalam diri setelah belajar memahami diri.
Kekerasan seksual yang saya alami juga berdampak pada relasi, terutama dalam mencari pasangan. Sebelumnya, saya tidak bisa menentukan batasan, tidak paham tanda bahaya dari pasangan, serta tidak mengenali hal yang saya butuhkan dari sosok pasangan. Saat konseling, saya dibantu untuk mencari sosok yang sebetulnya saya idamkan dan mengenali tanda bahaya dalam hubungan. Sebelumnya, saya hanya punya kriteria pasangan yang sederhana misalnya, tidak melakukan kekerasan. Namun, setelah mencari sedetail mungkin ke dalam diri saya tentang hal yang saya sukai maupun tidak dari sosok pasangan, saya pun bisa memetakannya. Semoga hal ini membuat saya bisa lebih selektif memilih pasangan dan tidak asal menerima.
Dengarkan saja
Sebagai korban yang kini berproses pulih menjadi penyintas, saya merasakan sulitnya mendapat dukungan dari sosok terdekat, termasuk orang tua. Orang tua kurang mendukung langkah saya, bahkan banyak kata-kata mereka yang kerap membuat saya sakit hati. Selama kasus berlangsung pun, saya tidak merasakan dukungan. Kini, cara yang saya lakukan untuk menghadapinya adalah dengan mendengarkan. Jika saya merasa itu tidak baik ya, sudah saya tidak terlalu menggubrisnya. Saya sadar bahwa proses untuk saya mencapai tahap stabil saja sudah sulit, apa jadinya jika saya selalu mendengarkan kata orang? Cukup dengarkan, diam, dan jika sudah tidak nyaman, beri jeda antara diri dan pihak yang berseberangan. Saya pun memaklumi bahwa orang tua saya juga sedang belajar menjadi orang tua. Jadi, kita melewati proses belajar ini bersama.
Saat ini, saya sudah merasa menemukan rumah saya sendiri
Di dalam rumah, ini ada banyak hal. Saya bertemu diri saya versi kecil yang perlu diajak bermain, dimanja, dimengerti, dan dinasehati. Saya selalu menguatkan diri dengan tetap mengizinkan diri untuk menangis sekaligus untuk menyadari bahwa semuanya sudah berlalu. Kini, saya hanya akan menjadikan pengalaman tersebut sebagai pembelajaran ke depannya.
Di dalam rumah saya, ada sifat kekanakan, kesabaran, dan kegigihan. Kemarahan masih tetap ada dan rasa itu tidak akan saya nafikan. Saya tidak mau abai pada perasaan tersebut dan mencoba untuk terus jujur pada diri sendiri. Meski di rumah ini ada kemarahan, saya tahu bahwa saya bisa mengontrolnya dengan penerimaan. Sebelum konseling, saat rasa marah itu hadir, semua orang di sekitar saya akan kena imbasnya. Kini, saya bisa lebih menerima dan selalu mencoba melihat dari berbagai sisi karena belum tentu yang terkena imbas kemarahan saya bersalah atas penyebab perasaan tersebut.
Dalam skala angka, saya memberi nilai lebih dari sembilan dari sepuluh untuk hasil konseling bersama PB. Nilai yang belum sempurna itu, lebih karena kondisi saya pribadi. Sesekali, saya tidak melaksanakan semua pembelajaran yang telah dapat dari sesi konseling dan memang perlu konsistensi untuk menerapkannya. Saya juga pernah menangis karena merasa gagal menerapkannya setiap pembelajaran tersebut. Namun, saya sadar jika mau sembuh, ya harus konsisten dengan semua yang sudah didapatkan dan dipelajari. Nanti, ketika rasanya berada di titik terendah lagi, saya akan kembali mengingat momen ini, bahwa saya pernah melalui ini dalam proses penyembuhan.
Ketika traumaku muncul kembali
Belum lama ini, saya pun masih mengalami kondisi terpicu trauma saat ditatap dalam-dalam oleh orang asing. Rasanya, tatapan tersebut menelanjangi diri saya. Trauma tersebut muncul kembali dalam bentuk jantung berdebar, dada sakit dan sesak. Namun, saya berusaha mengingatkan diri bahwa saya berada di masa kini bukan saat kekerasan tersebut berlangsung. Meski gemetar, pusing, dan mual saya berhasil duduk, mengatur napas dan menenangkan diri. Saya membangun kesadaran diri saat ini untuk meredakan trauma. Setelah tenang, rasanya bangga sekali dengan diri. Saya pun sadar pentingnya apresiasi diri tanpa meminta validasi dari orang lain.
Bagi saya, konseling bersama psikolog itu sangat bermanfaat, bahkan saya bisa memberikan nilai 10 untuk menilai proses ini. Banyak teman bilang bahwa mereka tidak mendapatkan apa-apa dari konseling bersama psikolog lain. Padahal, semua kembali lagi pada niat dan kemauan diri untuk berubah. Fungsi psikolog itu pendamping, berada di samping, bukan untuk menarik kita. Jadi, jangan anggap psikolog sebagai orang yang membantumu kita keluar dari masalah. Psikolog hanya memberi panduan hal-hal yang harus kita lakukan secara mandiri.
Beranilah untuk bertindak dan melawan kekerasan tersebut. Kamu tidak sendirian dan semua akan baik-baik saja.
Bagi para korban dan penyintas kekerasan seksual di luar sana, terutama yang kini masih menyimpan trauma seorang diri saya hanya ingin berpesan untuk terus memupuk keberanian diri. Beranilah untuk bertindak dan melawan kekerasan tersebut. Kamu tidak sendirian dan semua akan baik-baik saja. Saya tahu rasanya berat memang, tetapi ingat bahwa kamu layak untuk tetap hidup, dihargai, dan dicintai. Ingat, penting untuk temukan payungmu dulu sebelum memayungi orang lain.