Disclamer: ini adalah konten berisi pernyataan sikap Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) sebagai respon atas konten promosi produk Rabbani dalam akun instagram officialnya @rabbaniprofesorkerudung.
“Jika terjadi pelecehan, siapakah yang salah?”
Pertanyaan di bagian awal konten video brand pakaian Rabbani (@rabbaniprofesorkerudung) terdengar aneh.
Memangnya siapa lagi yang salah atas sebuah tindak kriminal selain pelakunya sendiri?
Setelah menonton video marketing-nya sampai selesai, kita bisa melihat sikap Rabbani yang seakan menyalahkan pakaian korban.
“Karena itu, wanita seharusnya mengenakan pakaian tertutup yang tidak memberikan kesempatan untuk pria berpikiran jorok,” begitu kata Rabbani di video yang langsung mendapatkan banyak protes itu.
Pernyataan tersebut tentu saja tidak sejalan dengan QS al-Mu’minun (23:5) di mana laki-laki dan perempuan menurut al-Qur’an masing-masing wajib menjaga diri dari nafsu seksual.
Menyadari bahwa tubuh masing-masing itu berpotensi menjadi sumber fitnah sekaligus sumber anugerah bagi diri sendiri dan orang lain (QS at-Taghabun (64:14,15), al-Furqon (25:74), sungguh tidak islami menimpakan semua kesalahan pada tubuh perempuan semata. Masing-masing seharusnya bertanggung jawab atas perbuatannya, bukan menimpakan pada orang lain (QS An-Najm (53:38).
Perspektif ini diperkuat dengan hasil survei Koalisi Ruang Publik Aman tahun 2019, yang menunjukkan bahwa mayoritas korban pelecehan seksual tidak mengenakan baju terbuka, melainkan memakai celana/rok panjang (18%), hijab (17%), dan baju lengan panjang (16%) (Sumber: ruangaman.org).
Dengan demikian, jelaslah bahwa pakaian yang dikenakan bukan faktor determinan seseorang menjadi korban kekerasan seksual dan sekaligus tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan kekerasan seksual.
Postingan itu adalah contoh kontribusi dalam pemakluman dari budaya menyalahkan korban (victim blaming) kekerasan seksual. Postingan tersebut seakan-akan menormalisasi bahwa korban (perempuan) yang tidak memakai pakaian yang sesuai dengan ketentuan norma tertentu merupakan kebodohan dan karenanya berhak dijadikan objek kekerasan seksual. Postingan tersebut membenarkan perempuan yang sudah menjadi korban kekerasan dianggap penyebabnya. Dengan kata lain, perempuan dinyatakan ‘’bodoh’’ jika tidak memakai pakaian yang sesuai dengan norma tertentu dan disalahkan bila terjadi kekerasan seksual, karena membuat pria berpikiran jorok. Sungguh nalar yang antagonistik!
Rabbani memosisikan korban kekerasan seksual karena pakaian yang dikenakannya, bukan perbuatan kejahatan pelakunya. Padahal, apapun pakaiannya, tindakan kekerasan seksual TIDAK BISA DIBENARKAN atas alasan apapun.
Kekerasan seksual adalah kesalahan pelaku dan terjadi karena ada manusia yang melakukan kekerasan pada manusia lain.
Sungguh tidak etis rasanya, berjualan produk di atas penderitaan korban kekerasan dengan membuat postingan yang menyalahkan korban kekerasan seksual dan merendahkan kodrat, harkat dan martabat perempuan dengan kata-kata ‘bodoh’ yang disebutkan berulang kali dalam postingan.
Apakah kemudian orang yang tidak menggunakan pakaian panjang dan berhijab menjadi boleh dan pantas mendapatkan kekerasan seksual? Apakah karena produk yang dijual adalah produk pakaian sehingga penghakiman atas pakaian korban kekerasan seksual dianggap sah saja jika digunakan untuk mendapatkan engagement?
Meskipun sudah mendapat banyak protes di postingannya, Rabbani tidak juga menghapus konten dan meminta maaf. Seakan engagement di media sosial lebih penting daripada perasaan korban kekerasan seksual yang melihat konten tidak etis yang telah menyalahkan korban itu.
Kami mendorong agar Rabbani segera minta maaf dan menghapus konten tersebut serta tidak lagi membuat konten iklan yang menyalahkan korban atau menyudutkan perempuan, sebelum kita bersama-sama memboikot produk Rabbani .
Kami mendorong agar Rabbani dapat melakukan aktivitas periklanan yang sesuai dengan etika dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Kami mendorong agar Kementerian Perdagangan Republik Indonesia dan Kementerian Komunikasi dan Informatika dapat melakukan pengawasan lebih lanjut terkait aktivitas periklanan yang melanggar etika dan mencederai kelompok identitas tertentu, dalam konteks ini adalah korban kekerasan seksual.
Kami mendorong agar Pemerintah Daerah dapat memberikan pengawasan lebih lanjut terkait aktivitas periklanan melalui reklame yang dilakukan oleh Rabbani dalam mempromosikan produk.
Saat ini, Indonesia sudah memiliki UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang isinya juga memuat upaya pencegahan kekerasan seksual yang perlu partisipasi setiap pihak, termasuk korporasi. Sudah sepatutnya Rabbani turut mendukung pelaksanaan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual alih-alih sebaliknya dengan mempromosikan budaya menyalahkan korban kekerasan seksual atas pakaian yang dikenakan.
Mohon dukungan teman-teman semuanya agar kita bersuara dan berdiri untuk semua korban kekerasan seksual.
Salam,
Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual
Narahubung:
0851-5929-6022
0811-1112-4117a