Sebagai debut penyutradaraan Reza Rahadian, film Pangku (2025) menjadi salah satu karya paling jujur dan menyentuh dalam lanskap sinema Indonesia tahun ini. Film ini tidak sekadar drama sosial — ia adalah potret kegetiran yang lembut, tentang perempuan yang bertahan di dunia yang terus menindih mereka dengan lapis-lapis kekerasan: dari kemiskinan, patriarki, hingga pengkhianatan yang datang dari rumah sendiri.
Kisahnya berpusat pada Sartika (diperankan dengan sangat hidup oleh Claresta Taufan), seorang perempuan hamil yang meninggalkan kota asalnya dan bekerja sebagai penjual kopi pangku di Pantura — pekerjaan yang menuntutnya duduk di pangkuan para sopir truk demi uang receh untuk bertahan hidup. Di balik stigma dan pandangan sinis masyarakat, Pangku justru menyorot kemanusiaan yang sering dihapus dari kisah-kisah perempuan di pinggir jalan: harapan, ketakutan, dan cinta seorang ibu yang tak pernah padam.
Yang membuat film ini istimewa adalah caranya mengangkat kesedihan tanpa menjadikannya tontonan air mata. Tidak ada ratapan berlebihan, tidak ada pahlawan tunggal. Semua tokohnya adalah manusia yang rapuh, tapi tetap memilih untuk hidup. Reza Rahadian menampilkan penderitaan dengan tenang — seolah mengingatkan kita bahwa perempuan tidak harus berteriak untuk memperlihatkan luka.
Isu kekerasan gender berlapis hadir begitu nyata di sepanjang film. Melalui perjalanan Sartika, Pangku juga berbicara tentang ribuan perempuan Indonesia yang pergi menjadi pekerja migran — sering kali bukan karena pilihan, melainkan keterpaksaan ekonomi. Banyak di antara mereka yang bekerja siang dan malam demi keluarga, hanya untuk mendapati uang kirimannya disia-siakan, bahkan dikhianati oleh suami yang beralih ke perempuan lain.
Dalam wawancara dengan Perempuan Berkisah, Reza Rahadian mengakui bahwa film ini adalah persembahan untuk ibundanya dan semua perempuan Indonesia. Ia mengaku terinspirasi oleh ibunya — seorang ibu tunggal yang membesarkan dua anak dengan keteguhan dan kasih sayang yang nyaris tak pernah habis. “Saya membuat Pangku karena saya tumbuh bersama seorang perempuan yang kuat, tapi jarang diakui kekuatannya,” ujar Reza. “Film ini adalah surat cinta untuk beliau, dan untuk setiap ibu yang berjuang sendirian tanpa sorotan.”
Sebagai debut, Pangku menunjukkan kematangan artistik yang mengejutkan. Reza membangun atmosfer emosional dengan sabar dan penuh empati. Lagu “Ibu” karya Iwan Fals yang dipilih sebagai latar, menjadi gema yang memperkuat pesan film: bahwa di balik setiap perempuan yang terluka, selalu ada cinta yang bertahan diam-diam.
Meski beberapa penonton menilai tempo film ini agak lambat di awal dan ending-nya terlalu cepat, kekuatan Pangku justru terletak pada kejujuran dan keheningannya. Ia tidak berusaha menggurui, tidak memoles penderitaan menjadi heroisme, tetapi menatapnya apa adanya — dengan lembut, tapi menembus.
Film ini telah mendapat sambutan hangat di Busan International Film Festival 2025, membawa pulang empat penghargaan termasuk FIPRESCI Award dan KB Vision Audience Award, sebuah pencapaian yang menandakan bahwa kisah tentang perempuan dari jalan Pantura bisa bicara dalam bahasa universal: tentang cinta, kehilangan, dan daya hidup.
Pangku akan tayang di bioskop seluruh Indonesia mulai 6 November 2025. Dan barangkali, setelah menontonnya, kita akan pulang dengan hati yang lebih pelan — mengingat ibu, perempuan, dan setiap ketabahan yang sering tak kita ucapkan terima kasih.

