Ketika Perempuan Penyintas Tak Henti Bertumbuh

7 minutes, 2 seconds Read

Mereka tidak bertumbuh sendirian, tetapi bersama orang-orang yang mereka dampingi. Bersama-sama, mereka menyembuhkan luka, melawan dampak trauma, menjadi pemenang, mengambil alih kepemilikan atas Diri yang telah direbut. Perlahan tetapi pasti, meski jatuh dan terseok, mereka bangkit kembali, untuk akhirnya menjadi subjek atas Diri. Selamat membaca dan temukanlah betapa dinamis, betapa antusias, betapa penuh semangat dan gairah, psike-psike perempuan yang aktif ini. (Kutipan Ester Lianawati, Psikolog Feminis, dalam buku “Tak Henti Bertumbuh”)

Tak Henti Bertumbuh dipilih menjadi judul buku yang saya nikmati selama seminggu belakangan ini di tiap waktu luang dalam mengurus rumah dan anak-anak. Sempat terlintas pertanyaan, mengapa dipilih pola negasi tak henti alih-alih terus bertumbuh? Sesaat setelah membaca kisah pertama, jawaban dari pertanyaan tersebut mulai terang dan makin mantap setelah kisah terakhir saya tuntaskan. Inilah buku pertama dari Komunitas Perempuan Berkisah yang membagikan pengalaman perempuan-perempuan penggerak komunitas yang penuh pembelajaran berharga.

Perempuan Penggerak Berbagi Pengalaman

Jika mendengar nama Komunitas Perempuan Berkisah, kemungkinan besar yang terlintas di benak adalah kisah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan seksual, maupun kisah perempuan sebagai korban. Namun, kali ini berbeda. Perempuan Berkisah menerbitkan buku pertama bertajuk Tak Henti Bertumbuh yang menghadirkan kisah inspiratif para perempuan penggerak di berbagai bidang. 

Judul buku: Tak Henti Bertumbuh
Penulis: Perempuan Penggerak Komunitas
Penerbit: Infermia Publishing
Tahun terbit: 2021
Tebal buku: 175 hlm
Harga Non-PO= Rp68.000
Link pemesanan: klik linktree akun @infermia_publishing https://linkr.bio/infermia-pb

Lalu siapa mereka? dalam pengantar “Tak Henti Bertumbuh” Alimah Fauzan, Founder Komunitas Perempuan Berkisah, menegaskan bahwa mereka adalah para penyintas kekerasan dalam bentuk apapun, khususnya kekerasan berbasis gender. Mereka muncul dari beragam latar sosial, agama, budaya, usia, dan profesi. Mereka ada di sekitar kita, atau bahkan mereka adalah kita sendiri. Namun, ketika mereka mampu mengungkapkan suaranya melalui kisah-kisahnya, siap dengan risikonya, memahami bahwa apa yang mereka alami merupakan sebuah bentuk ketidakadilan dan perlu dilawan, maka mereka adalah penyintas. Sosok yang telah terdorong kesadaran kritis-transformatifnya. Begitupun para sender (pengirim kisah) yang telah memberanikan diri mengungkap kisahnya bersama komunitas Perempuan Berkisah.

Personal is political. Saya percaya bahwa kisah-kisah yang ditulis oleh perempuan memiliki kekuatannya sendiri. Di dalamnya bukan sekadar kisah pembelajaran dan gagasan untuk kepentingannya, tapi juga untuk kepentingan-kepentingan kelompok marginal lainnya. Politik analisis terhadap identitas dan pengalaman pribadi perempuan merupakan jalan kebebasan bagi perempuan. Semakin banyak perempuan yang mengubah hidup dan kesadaran mereka, semakin mereka menyadari potensi perubahan untuk kehidupannya,” jelasnya.

Stigma dan Pengalaman Buruk Tak Menjadi Penghalang

Sesekali saya merasa sesak, tak jarang merasa gemas saat membaca perjuangan yang dihadapi para perempuan penggerak di buku ini. Sebagian besar perempuan penggerak ini adalah penyintas, mulai dari penyintas yang berhasil mematahkan stigma terhadap perempuan hingga penyintas kasus kekerasan seksual. Hebatnya, stigma dan pengalaman buruk yang mereka alami justru digunakan untuk memulai perubahan dan bahan bakar untuk terus bergerak. Mereka sadar tidak akan ada perbaikan jika mereka hanya menangisi keadaan.

Nike Nadia, Pendiri #HelpNona misalnya, yang menceritakan tentang stigma yang ia alami, bahwa perempuan sangat wajar leha-leha dan berkarya dianggap sebagai kerepotan. Hal tersebut juga pernah saya alami dan saya yakin banyak perempuan lain yang juga terpaksa mengubur mimpi hanya karena dianggap perempuan dengan segala stigma yang melekat pada dirinya. 

Pun ketika perempuan sudah bisa berdaya dan berkarya seperti Magdalena Oa Eda Tukan dan Fipi Septiana, tetap ada standar pencapaian masyarakat yang selalu dijadikan ukuran keberhasilan sehingga tak jarang pencapaian para perempuan dianggap kesia-siaan atau sekadar hiasan dalam dunia yang tidak ramah perempuan. 

Halangan yang dihadapi para perempuan inspiratif ini bukan sekadar stigma, tetapi juga trauma. Kita bisa membacanya lewat kisah dari Neisya Kirana, Pendiri Jendela Anci, yang menjadikan trauma pelecehan kerabat terdekat untuk bergerak membentuk Komunitas Anak Muda Peduli Hak-Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) Remaja di Pekalongan. Ada pula cerita menyentuh dari Fitria yang menjadi korban perundungan hingga pelecehan seksual hingga membuatnya bergerak membangun Dear Children dengan slogan #AnakBerhakBahagia. Jangan lewatkan juga membaca kisah dari Nindy, pendiri gerakan Sister Circle Indonesia. Perempuan yang sempat menjadi korban penusukan ini justru kembali menjadi korban karena stigma yang diberikan lingkungan, bahkan tetap disalahkan. 

Membaca setiap kata yang mereka goreskan dari pengalaman, kepahitan, dan pembelajaran tersebut membuat saya ingin memeluk mereka satu per satu serta berterima kasih karena mereka telah bertahan. Mungkin mereka tidak tahu, tetapi cerita mereka telah menginspirasi saya untuk mengingat kembali makna syukur dan membuat saya tidak merasa sendirian ketika menghadapi dunia yang kejam terhadap perempuan. Mereka bahkan lebih kuat dari itu karena setelah semua pengalaman traumatik tersebut mereka justru berani membuat sebuah gerakan.

 Seperti dituliskan oleh Alimah Fauzan, Founder Perempuan Berkisah, pada tulisan pembuka buku ini, tidak hanya menjadi objek sudah saatnya perempuan menjadi subjek penggerak dan pembangun dari berbagai gerakan. 

“Ada fase di mana perempuan dikuatkan, namun ada masanya perempuan menjadi penguat bagi perempuan dan kelompok marginal lainnya.” (Alimah Fauzan, Founder Perempuan Berkisah)

Keterbatasan Tak Menjadi Alasan untuk Terus Menunjukkan Kepedulian

Pengalaman memang dapat menjadi pelajaran terbaik untuk mulai membuat perubahan, tetapi bukan berarti tanpa pengalaman gerakan baik tidak mungkin dilakukan. Banyak gerakan baik dari tangan perempuan-perempuan ini yang lahir dari kegelisahan pada situasi. Mereka tidak mengejar situasi ideal, tetapi hanya mengusahakan yang terbaik semampunya untuk diri dan sekitar mereka.

Covid-19 yang membatasi banyak hal justru menjadi inspirasi Lilin Kurniawati bergerak untuk sesama. Begitu pula dengan Westiani Agustin, Pendiri Biyung Indonesia, yang bergerak bukan hanya untuk membantu perempuan tetapi juga untuk melestarikan bumi yang disebutnya sebagai ibu. 

Ada pula kisah dr. Sandra yang menginisiasi gerakan Dokter Tanpa Stigma memulai gerakannya karena kegelisahan akibat kurangnya tenaga medis yang memiliki perspektif gender dan HAM. Alih-alih menyalurkan kegelisahan tersebut dalam bentuk keluhan, dr. Sandra memilih untuk menjadikan dirinya sosok yang selama ini didambakan dan membangun gerakan untuk memperluas pemahaman tersebut.

Begitu pun sosok Sri Lestari yang menyadari bahwa informasi terkait kekerasan seksual bukanlah hal yang mudah diakses oleh setiap perempuan. Menyadari keterbatasan akses informasi tersebut, ia tidak berhenti mengedukasi diri untuk kemudian bergerak mengedukasi orang lain lewat Komunitas Wanita Muda Muhammadiyah yang digagasnya. 

Membaca keberanian perempuan-perempuan ini, agaknya saya mesti setuju dengan ungkapan Ratih Kartika, Pendiri Yasara Indonesia, bahwa jika perempuan Indonesia memberdayakan diri, menekuni hal yang menjadi impiannya, berani mengambil inisiatif untuk membuat sesuatu yang baru, maka cahaya akan bersinar dari dirinya. Bahkan hanya lewat membaca kisah mereka, saya dapat merasakan hangat dan semangat yang tersirat lewat tiap kata.

Perempuan Pejuang Tak Henti Bertumbuh di Tengah Keterbatasan 

Setiap gerakan hebat yang diinisiasi oleh perempuan-perempuan luar biasa ini tentu mengalami jatuh bangun dan menemui banyak hambatan, seperti pengalaman Mardea yang pernah ditipu meski berniat baik untuk memberdayakan kawan disabilitas lewat gerakannya. Namun, seperti dikatakan dr. Sandra Suryadana pada tulisannya bahwa bergerak lambat pun tidak masalah yang penting pesannya tersampaikan, semangatnya tersalurkan, dan makin banyak perempuan yang tergerak untuk bangkit dan membuat perubahan. Tidak mesti besar, perubahan kecil bagi kemajuan pribadi pun sudah merupakan pencapaian bagi kita perempuan yang hidup di tengah dominasi patriarki. 

“… apa pun yang bisa kita lakukan, maka lakukanlah. Apa pun yang kita miliki, jika ada kesempatan untuk berbagi maka berbagilah. Tidak perlu menjelaskan bahwa kita begitu menginspirasi. Biarkan orang lain menilainya. Cukuplah untuk kita mengabdi setulus hati.” (Fitria, @dearchildren.id)

Menutup buku ini, kita akan dibawa dalam pemahaman tak henti bertumbuh yang ingin diangkat oleh buku ini. Tak henti bertumbuh berarti suatu sikap untuk tetap bertahan setelah mengalami rintangan. Terus bertumbuh bisa jadi kurang merefleksikan perjuangan dan hambatan yang telah menempa semua sosok hebat dalam buku ini karena mereka memang sempat dihentikan oleh kondisi tidak ideal. Mereka pernah luka dan hancur tetapi mereka kembali bangkit dan jadi nyala untuk sekitarnya. 

Nikmatilah kisah mereka yang tak henti bertumbuh bagi dirinya dan perempuan Indonesia dalam buku Tak Henti Bertumbuh yang diterbitkan Perempuan Berkisah dan Infermia Publishing.

Berjuang untuk Kesetaraan Tak Bisa Dilakukan Sendirian

Sementara menurut Nor Islah, Founder Infermia Publishing, sebagai salah satu penerbit indi yang berkolaborasi dengan Komunitas Perempuan Berkisah dalam penerbitan buku “Tak Henti Bertumbuh”, program-program yang mendukung gerakan perempuan memang menjadi bagian dari orientasi Infermia Publishing, sebuah penerbit kecil di Depok, Jawa Barat, yang kami dirikan tiga tahun lalu. 

“Dengan jargon caring knowledge, sejak awal didirikan kami berharap penerbit ini akan selalu bisa menjadi ruang untuk merawat pengetahuan. Sementara itu, kami sadar bahwa pengetahuan akan identitas dan nilai perempuan sejauh ini masih terpinggirkan, oleh karenanya harus terus disuarakan. Berjuang untuk kesetaraan memang tak bisa kita lakukan sendirian. Kita harus bahu-membahu, saling silang dan bersinergi dari berbagai lini, sehingga arus kemajuan bisa terus kita alirkan. Semoga ikhtiar ini membawa perubahan bagi kelompok rentan lainnya dan kiranya buku ini bisa  menjadi estafet kebaikan bagi yang lain. Kebaikan tak boleh berhenti di kita.” 

Erlin Fadhylah atau biasa disapa Erfa adalah lulusan Sastra Indonesia dari Universitas Negeri Jakarta. Setelah sepuluh tahun berprofesi sebagai pengajar di beberapa sekolah internasional, Erfa kini berdaya di rumah saja dengan aktif menulis artikel yang diterbitkan di berbagai media cetak dan daring. Hobinya membaca buku membawa Erfa berkenalan pada dunia menulis fiksi dan mengantarkannya pada profesi pekerja lepas sebagai pengulas novel serta penyelaras aksara. Beberapa tulisannya dapat dibaca melalui tautan linktr.ee/erfa22. Ia juga dapat disapa melalui akun instagramnya @erfa22.

author

Erlin Fadhylah

Erlin Fadhylah atau biasa disapa Erfa adalah lulusan Sastra Indonesia dari Universitas Negeri Jakarta. Setelah sepuluh tahun berprofesi sebagai pengajar di beberapa sekolah internasional, Erfa kini berdaya di rumah saja dengan aktif menulis artikel yang diterbitkan di berbagai media cetak dan daring. Hobinya membaca buku membawa Erfa berkenalan pada dunia menulis fiksi dan mengantarkannya pada profesi pekerja lepas sebagai pengulas novel serta penyelaras aksara. Beberapa tulisannya dapat dibaca melalui tautan linktr.ee/erfa22. Ia juga dapat disapa melalui akun instagramnya @erfa22.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Contact Us