“Apa Bedanya Perempuan dan Wanita?” Pertanyaan menarik ini sering muncul dalam sejumlah forum dan mungkin di benak banyak pihak. Misalnya, kenapa aktivis gerakan lebih memilih kata “perempuan” dibandingkan “wanita”? Sementara media mainstream tertentu masih mempertahankan menggunakan kata “wanita”. Ada juga media yang sudah mulai mengganti kata “wanita” menjadi “perempuan”. Pemilihan kata tersebut, apakah memang memiliki alasan ideologis, faktor suka atau tidak suka, atau sekadar merujuk kata yang tepat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), atau beragam alasan lain yang sangat personal?
Dalam sebuah gelar wicara Dawrah Kader Ulama Perempuan (DKUP) di hari kedua yang digelar Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dan Fahmina Institute, salah satu pembahasan menarik adalah tentang makna “perempuan” dan “wanita”.
“Perempuan” dan “Wanita” Memiliki Makna Berbeda
Selama ini barangkali kita tidak terlalu memperhatikan bahwa kata “perempuan” dan “wanita” yang dalam keseharian dianggap sama ini ternyata dalam konteks tertentu punya perbedaan makna, salah satunya dalam konteks gerakan sosial, terkhusus lagi dalam perjuangan kesetaraan gender dan gerakan feminisme. Dalam konteks gerakan sosial, kata “perempuan” lebih dipilih dibanding “wanita” karena -asumsi saya- mengandung makna perlawanan.
Saya sendiri baru ngeh (paham) kata perempuan diasosiasikan dengan sangat negatif di KBBI. Ketika peringatan hari perempuan internasional 8 Maret 2021 lalu, beredar meme yang meng-capture makna perempuan menurut KBBI dan akhirnya saya pun cek juga.
Beberapa frasa yang ditampilkan di situ di antaranya ‘perempuan geladak’ (pelacur), ‘perempuan jahat’, ‘perempuan jalan’ (pelacur), ‘perempuan jalang’, ‘perempuan jangak’ (cabul), ‘perempuan lacur’, ‘perempuan lecah’ (pelacur), ‘perempuan nakal’, dan ‘perempuan simpanan’. Ini berbeda dengan ‘wanita’ yang diartikan dalam dua frasa, ‘wanita karir’ dan ‘wanita tuna susila’; satu frasa bermakna negatif dan satu frasa positif.
Penurunan Makna pada Kata “Perempuan”
Jadi memang kata “perempuan” mengalami penurunan makna (peyorasi). Secara etimologis, ternyata “perempuan” dan “wanita” maknanya memang berbeda. “Wanita” berasal dari bahasa Sansekerta, vanita yang artinya ‘yang diinginkan’ (diinginkan oleh laki-laki). Sebagian orang Jawa bahkan memahami “wanita” adalah singkatan dari ‘wani ditata’, artinya sosok yang bisa diatur-atur. Sedangkan kata “perempuan” berasal dari kata empu yang berarti tuan, orang yang mahir/berkuasa, ataupun kepala, hulu, atau yang paling besar.
Dari sisi makna, memang sudah terkesan bahwa “perempuan” lebih berdaya, punya kekuatan, dan bernilai cukup tinggi. Dari sudut sejarah, salah satu masa di mana kata ‘wanita’ lebih dipilih dari pada “perempuan” dimulai sejak Soekarno mengganti kata “perempuan” menjadi “wanita”, yaitu Kongres Perempuan diubah menjadi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI).
Soekarno menganggap bahwa ‘wanita’ lebih halus dipakai dibandingkan “perempuan”. Sejak saat itu, kata wanita menjadi lebih sering dipakai untuk nama-nama organisasi perempuan, yang berlanjut pada masa Orde Baru. Ada Menteri Urusan Peranan Wanita, ada Dharma Wanita.
Bukan Sekadar Kata, “Wanita” Memiliki Maksud Ideologis
Sepertinya pemilihan “wanita” bukan sekadar penggunaan kata saja, tapi ada maksud ideologis dalam mempertahankan kultur patriarki dan kontrol sosial. Generasi PKK tentu familiar dengan Panca Dharma Wanita “Wanita sebagai pendamping suami, wanita sebagai ibu penerus keturunan, wanita sebagai pengurus rumah tangga, wanita sebagai pencari nafkah tambahan, dan wanita sebagai anggota warga negara”.
Wanita dalam konteks ini ditempatkan dalam posisi subordinat, dan imbasnya pun sangat merugikan misalnya perempuan bekerja dibayar lebih rendah dari pada laki-laki karena dianggap sebagai pencari nafkah tambahan, bukan pencari nafkah utama.
Jadi kenapa selama ini dalam gerakan kesetaraan gender lebih banyak digunakan ‘perempuan’? saya kira karena itu, karena spirit pembebasan yang ada di dalamnya.