Beberapa bulan belakangan ini, khususnya di tengah situasi pandemi, kita sering mendengar atau bahkan mungkin mengikuti webinar tentang kesehatan jiwa. Orang berbondong-bondong mulai menyadari pentingnya kesehatan jiwa. Namun, apa yang sebenarnya dimaksud dengan kesehatan jiwa itu sendiri? Bagaimana kita dapat berperan bagi sesama kita yang mengalami gangguan jiwa? Bukankah mereka juga merupakan kelompok rentan di tengah masyarakat?
Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) adalah individu yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. Contoh penyakit gangguan jiwa adalah depresi, bipolar, anxiety (kecemasan), stres pascatrauma (PTSD), gangguan obsesif kompulsif (OCD), skizofrenia, dan banyak lagi.
ODGJ kategori berat biasanya menderita gejala seperti delusi, halusinasi, dan paranoid. Gejala yang tampak pada penderita gangguan jiwa membuat penderita kadang melakukan hal-hal di luar kewajaran, seperti bicara sendiri, berteriak ketakutan, menangis, atau bahkan mengamuk yang sifatnya destruktif dan membahayakan diri sendiri juga orang di sekitarnya.
Orang Masih Awam Memperlakukan ODGJ
Di Indonesia, hal ini seringkali dilihat orang awam sebagai hal yang aneh dan mereka dengan enteng memberi label orang gila pada penderita gangguan jiwa yang mengalami episode gejala psikosis. Selain diberi label orang gila, diasingkan jauh dari orang-orang yang mereka cintai, mereka kerap diperlakukan secara tak manusiawi, misalnya dipasung. Pasung adalah praktik merantai ODGJ dan mengurungnya di dalam ruangan. Cara ini dilakukan agar ODGJ yang dipasung tidak berkeliaran dan mengganggu.
Hingga Juli 2018, menurut catatan Kementerian Kesehatan, ada 12.382 ODGJ yang hidup dalam pemasungan. Angka tersebut belum termasuk dengan pasung yang terjadi di wilayah-wilayah terpencil. Belum lagi, banyak terjadi ODGJ yang telah bebas pasung kembali dipasung karena tidak adanya layanan pendukung. Atau sudah dipulangkan dari rumah sakit jiwa, tetapi tak ada keluarga yang berkenan menjemput sehingga mereka kembali berkeliaran di jalanan. Padahal, yang mereka butuhkan adalah sebuah penerimaan, kasih sayang, dan juga perawatan secara medis yang komprehensif sehingga mereka mampu direhabilitasi dan kembali berfungsi secara sosial seperti semula.
Aku Aadalah Penyintas Gangguan Kejiwaan
Sebagai seorang perempuan penyintas gangguan kejiwaan (depresi berat, kecemasan, dan stres pascatrauma), saya melihat kurang adanya perhatian dari masyarakat untuk merengkuh teman-teman ODGJ atau minimal memberikan simpati dengan tidak memberikan label negatif kepada mereka. Kalaupun ada dari kawan-kawan ODGJ yang sudah rawat jalan dan bisa kembali berfungsi secara sosial, seperti bekerja, mereka tetap menerima perlakuan diskriminatif dari orang-orang sekitarnya. Seolah label ODGJ itu melekat abadi dalam dirinya. Situasi inilah yang membuat saya terpanggil untuk menerima tawaran dari psikiater saya, dr. Lahargo Kembaren, Sp.Kj. untuk menjadi relawan di Rumah Sakit Jiwa Marzoeki Mahdi Bogor.
Awalnya, tentu saja tebersit keraguan apakah saya mampu dan bagaimana nantinya saya merespons kawan-kawan ODGJ, mengingat saya bukan seorang psikolog atau psikiater. Saya hanyalah penyintas gangguan jiwa. Namun, dengan dukungan dan rasa percaya dari dr. Lahargo Kembaren, Sp.Kj., saya mengiyakan tawaran tersebut. Maka, mulai hari Jumat di bulan Oktober, setiap minggunya, sampai saat ini, saya melayani di bidang spiritual pada pusat rehabilitasi psikososial RSJ Marzoeki Mahdi Bogor. Bentuk pelayanannya adalah ibadah dan sharing.
Saya Tidak Sendirian
Jadi, kawan-kawan ODGJ yang sudah day care—tidak lagi menginap di RSJ Marzoeki Mahdi Bogor—bersama dengan kawan-kawan ODGJ yang masih rawat inap beribadah bersama secara Kristiani. Sedangkan bagi kawan-kawan ODGJ beragama Islam ada kegiatan bershalawat setiap hari Jumat. Semua dilaksanakan di area pusat rehabilitasi psikososial RSJ Marzoeki Mahdi Bogor di ruangan dan jam yang berbeda.
Ternyata, di sana saya tidak melayani sendirian. Ada kawan-kawan dari Komunitas Nafiri Kasih yang sudah belasan tahun menjadi relawan di RSJ Marzoeki Mahdi Bogor. Mereka melayani di sana ketika kawan-kawan ODGJ masih dalam kondisi sangat memprihatinkan sampai sekarang kondisi mereka sudah jauh lebih baik dan terawat berkat manajemen rumah sakit yang mumpuni.
Dalam pelayanan sebagai relawan di sana, saya belajar bekerja sama dengan kawan-kawan dari Nafiri Kasih. Meskipun asal gereja kami berbeda, tetapi semangat kami sama—sama-sama ingin memanusiakan dan melayani kawan-kawan ODGJ di bidang spiritual. Hal itu kami lakukan sungguh-sungguh setiap hari Jumat pukul 09.30—10.30. Berapa pun kawan-kawan ODGJ yang hadir, kami tetap melayani mereka. Kami mendengarkan kisah mereka, bernyanyi bersama mereka, mendengarkan firman Tuhan, dan juga berdoa bersama—sesuatu yang mungkin bagi orang lain tampak sederhana dan tidak istimewa.
Menjadi Relawan Bagi ODGJ
Saya menyadari sekali bahwa ketika saya mengambil peran sebagai relawan bagi kawan-kawan ODGJ, tidak ada spotlight. Sebab fokus utamanya bukan diri saya, tetapi kawan-kawan ODGJ yang sedang berproses untuk pulih. Menjadi kawan bagi mereka adalah sebuah kehormatan besar bagi saya. Sebab, artinya saya dipercaya untuk terlibat dalam proses pemulihan jiwa mereka. Istilahnya, saya diberi kepercayaan untuk menjadi kawan perjalanan mereka.
Dari sini saya belajar banyak sekali, khususnya spiritualitas the wounded healer. Istilah ini diperkenalkan oleh Carl Jung untuk menjelaskan aspek relasi dari terapis dengan pasiennya. Dia menjelaskannya dengan menggunakan metafora mitologi Yunani yaitu Asclepius. Asclepius adalah putra dari Dewa Apollo dan Dewi bumi, Coronis.
Dalam kisah mitologi ini, Asclepius dibawa ke Gunung Titthion yang terkenal akan tanaman obat-obatannya. Dari sana terdengar suara dari langit yang mengatakan bahwa Asclepius akan menjadi penyembuh bagi banyak orang. Dari mitologi ini pula ada kisah bahwa Asclepius dirawat oleh Chiron yang berbadan kuda tetapi berkepala manusia. Chiron terkenal karena kemampuannya untuk menyembuhkan.
Sayangnya, ia tak mampu menyembuhkan lukanya sendiri. Sesuatu yang menjadi catatan menurut Carl Jung bahwa orang-orang seperti Chiron memiliki kemampuan untuk melihat dan merawat luka orang lain, tetapi juga menjadi sebuah peringatan bahwa hal itu mungkin mampu memicu luka masa lalu kita. Maka, kita juga perlu merawat diri kita sendiri.
Menyembuhkan Sesama dari Pengalaman Pribadi
Saya pun teringat Henri Nouwen, seorang teolog yang mampu menolong sesamanya tetapi terus berupaya menolong dirinya sendiri. Poin yang ingin saya garis bawahi dari teologi Henri Nouwen adalah kemampuan beliau untuk menyembuhkan sesama dari pengalaman pribadinya yang sejak masa kanak-kanak hingga dewasa tidak menyenangkan. Untuk memahami Henri Nouwen sebagai seorang yang terluka tetapi menyembuhkan sesama, kita perlu kembali menelaah kehidupan masa kanak-kanaknya. Dia hidup dengan perasaan insecurity dan rasa malu, khususnya terkait relasinya dengan ayahnya yang sangat mandiri dan sibuk bekerja. Nouwen kecil kerap bertanya kepada ayah dan ibunya apakah mereka mencintainya? Pertanyaan yang terlampau sering ditanyakan tetapi tak pernah mendapat jawaban yang memuaskan hati Nouwen.
Dalam bukunya “The Wounded Healer”, Nouwen memaparkan bahwa, siapa yang dapat mendengarkan kisah kesepian dan keputusasaan tanpa mengambil resiko untuk mengalami hal serupa di dalam dirinya? Atau pendek kata, siapa yang dapat mengenyahkan penderitaan tanpa memasukinya?
Saya kira dalam hal ini kehidupan Nouwen dapat dijadikan sebuah contoh bahwa orang yang terluka ternyata mampu menyembuhkan sesamanya sekali pun ia terus berproses dengan lukanya serta mampu menciptakan ruang aman bagi sesama dan membuat kita makin menyadari kemanusiaan kita.
Dimulai dari Kesadaran Diri Penuh
Menjadi seorang yang terluka dan menyembuhkan diawali dengan kesadaran diri penuh akan diri sendiri yang memiliki kerapuhan dan membuka diri pada dukungan dari orang-orang di sekitar. Dari sini, saya kira kita dapat pelan-pelan belajar menjadi seorang yang terluka yang menyembuhkan sesama kita sehingga mereka, khususnya kawan-kawan ODGJ, tidak merasa sendirian.
Selama menjadi relawan di RSJ Marzoeki Mahdi, selain mendapat pembelajaran yang menarik secara spiritual, saya juga menghadapi tantangan. Tantangan yang saya pikir lumayan berat adalah mengontrol respons dan penerimaan saya terhadap kawan-kawan ODGJ yang saya layani setiap hari Jumat. Sebab, mereka tidak selalu orang yang sama. Peraturan dari rumah sakit jiwa membuat mereka tidak dapat berlama-lama dirawat di sana sehingga tidak ada kepastian apakah kawan ODGJ yang datang dan saya layani di hari Jumat lalu akan datang di hari Jumat mendatang.
Kawan-kawan ODGJ yang terus datang silih berganti ini memiliki ceritanya masing-masing sehingga saya harus siap setiap saat dengan beragam orang dan kondisi. Saya juga harus terus waspada apabila ada indikasi mereka akan menyerang. Walaupun sampai saya menuliskan hal ini, penyerangan semacam itu tidak pernah terjadi. Hal lain adalah koordinasi dengan Komunitas Nafiri Kasih yang membuat saya harus belajar untuk berbagi bahwa pelayanan ini bukan milik saya sendiri. Sekalipun kami berbeda, kami memiliki visi dan misi yang sama. Sejauh ini, setidaknya sampai saya menuliskannya di sini, kami dapat bekerja sama dengan baik.
Selain kedua kondisi itu, ada hal lain yang harus saya perhatikan, yaitu kesehatan jiwa saya sendiri. Seperti yang sudah diperingatkan oleh Carl Jung tentang konsep yang terluka yang menyembuhkan, maka saya perlu memberikan perhatian kepada jiwa dan tubuh saya.
Butuh Waktu Memulihkan Diri
Saya juga perlu memberi waktu untuk memulihkan diri ketika merasa lelah. Karena jujur saja, apa yang saya kerjakan terkesan sederhana, tetapi sebenarnya menguras energi. Sebab yang dibagikan adalah ruang hati bagi kawan-kawan ODGJ. Biasanya, jika kelelahan ini melanda, saya akan rehat sejenak dan mengisinya dengan hal-hal yang menyenangkan hati saya. Misalnya, melakukan hobi saya menulis jurnal, melukis, atau bercerita kepada suami saya. Hal-hal sederhana ini sudah cukup bagi saya untuk memulihkan jiwa sejenak.
Apakah saya menyesali pilihan saya menjadi relawan di RSJ Marzoeki Mahdi Bogor? Sama sekali tidak. Saya justru merasa beruntung karena mendapatkan kesempatan untuk lebih mengenal kawan-kawan ODGJ dalam proses saya memulihkan diri dari depresi, kecemasan, dan stres pascatrauma. Pilihan ini juga mampu menolong saya mengedukasi orang lain melalui media sosial tentang cara kita memandang dan berelasi dengan kawan-kawan ODGJ, entah itu anggota keluarga atau bukan.
Melalui hal ini pula saya lebih memahami perjuangan ODGJ untuk kembali pulih dan mampu bersosialisasi di tengah masyarakat. Hal lainnya yang dapat kita lakukan adalah mencoba untuk tidak lagi memberikan stigma negatif kepada kawan-kawan ODGJ, tetapi mendukung mereka untuk pulih dan memberikan ruang aman bagi mereka.
Di atas semuanya, saya pikir kita perlu melihat bahwa perempuan pun mampu dan memiliki potensi untuk hadir bersama dengan kawan-kawan kelompok rentan, dalam hal ini ODGJ.