Jangan Tertipu Citra: Ketika Branding “Lelaki Baik” jadi Jeruji Penjara

Perempuan, pahami bahwa branding seseorang tidak selalu nyata dan cinta yang sejati bukanlah penjara.

Sebagai penyedia ruang aman bagi para perempuan yang membutuhkan dukungan psikososial maupun konseling, redaksi Perempuan Berkisah menerima banyak kisah setiap minggunya. Sedihnya, kisah yang akhir-akhir ini banyak kami terima adalah kisah perempuan yang menjalani hubungan toksik. Beberapa ada yang berhasil keluar, beberapa masih berjuang dan butuh dukungan. Dari kisah-kisah ini, ada yang terasa sekali menuliskannya dengan air mata, ada yang terdengar sangat lelah dan putus asa, namun ada juga yang menulis panjang dan reflektif.

Salah satunya adalah cerita seorang perempuan yang jatuh cinta pada lelaki dengan citra publik nyaris sempurna: tenang, cerdas, paham agama, dan dihormati banyak orang. Kisah ini sudah dimuat di Instagram Perempuan Berkisah. Dalam dunia yang semakin dihanyutkan oleh gelombang media sosial dan persona digital, perempuan memang kerap kali dihadapkan pada jebakan citra, terutama dalam konteks hubungan romantis. 

Menjadi “lelaki baik” di mata publik bukanlah jaminan nyata dan keaslian rasa cinta yang sejati. Di balik pesona dan branding itu, sering kali tersembunyi jeruji kontrol yang halus, merenggut kebebasan, dan mengekang identitas perempuan.  Larangan-larangan yang awalnya terdengar wajar berubah menjadi tuntutan yang membentuk “perempuan ideal” versinya. Pendidikan, pekerjaan, bahkan cara duduk dan berbicara, semua diatur. 

Sayangnya, kisah ini bukanlah kasus tunggal. Justru, ini adalah pola yang berulang. Ada banyak perempuan terpikat oleh citra, lalu perlahan terjebak dalam relasi kuasa yang membuat mereka kehilangan suara, mimpi, bahkan jati diri.

Ketika Citra Publik Menipu Realita

Media sosial memberi ruang luas bagi seseorang untuk membentuk citranya sendiri, untuk menampilkan versi terbaik dirinya yang ingin dilihat dunia. Namun, kita perlu ingat bahwa branding adalah panggung yang dipenuhi highlight, bukan dokumentasi menyeluruh atas kehidupan pribadinya. 

Ada banyak perempuan terjebak karena mengira branding adalah kebenaran utuh. “Dia kan ustaz, nggak mungkin kasar.” “Dia kan aktivis, masa sih misoginis?” “Dia kan pintar ngomong, pasti pintar dan berpikiran luas.” 

Keyakinan seperti ini membuat red flag yang jelas menjadi samar. Kalimat ini bergema sebagai tameng kepercayaan yang justru menutup mata terhadap perilaku destruktif di balik layar.

Karena itu, reputasi publik tidak boleh menjadi satu-satunya dasar menilai karakter, apalagi untuk hubungan romantis yang menuntut integritas saat tidak ada penonton. Lelaki yang terlihat saleh, green flag, atau penyayang di depan umum, bisa saja bersikap mengontrol, merendahkan, bahkan melakukan kekerasan psikologis ketika saat tidak ada mata yang “mengawasi”.

Coercive Control, Kekerasan Tanpa Luka yang Menggerogoti Jiwa

Riset dan laporan menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga kini tidak hanya sebatas pukulan atau perlakuan fisik. Bentuk kekerasan psikologis, yang dalam kajian sosiologi dikenal sebagai coercive control juga makin banyak terjadi. 

Coercive control atau kontrol paksaan adalah intimidasi, isolasi, gaslighting, serta kontrol finansial, yang menjadi senjata yang merusak mental dan jiwa korbannya tanpa meninggalkan bekas fisik. Konsep ini dipopulerkan sosiolog Evan Stark, yang menekankan bahwa pemukulan hanyalah “puncak gunung es”. Mesin utama penaklukan adalah kontrol sistematis atas hidup korban, mirip penculikan yang berlangsung di rumah sendiri.[1]

Organisasi kesehatan dan lembaga otoritatif mengakui spektrum ini. WHO mendefinisikan kekerasan pasangan romantis (suami/ pacar) sebagai perilaku yang menimbulkan bahaya fisik, seksual, atau psikologis. Secara global, dilaporkan bahwa 1 dari 3 perempuan pernah mengalami kekerasan oleh pasangan atau kekerasan seksual non-pasangan.[2] 

Penelitian menunjukkan kekerasan psikologis merupakan bentuk paling umum dalam KDRT, meski paling tidak terlihat. Di Indonesia sendiri, Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024 menunjukkan bahwa data kekerasan yang kini paling banyak dilaporkan adalah kekerasan psikis dibandingkan kekerasan fisik.[3]

Di ranah digital, kekerasan berbasis gender online (KBGO) juga melonjak: 1.791 laporan masuk ke Komnas Perempuan sepanjang 2024, naik 40,8% dibanding 2023, dan jadi yang tertinggi sejak 2017. Ini menandakan kekerasan berbentuk psikologis, termasuk penghinaan, ancaman, kontrol, dan intimidasi kini juga marak terjadi lewat DM, grup chat, dan platform media sosial.[4] 

CDC mendeskripsikan psychological aggression sebagai penggunaan komunikasi verbal/nonverbal untuk melukai mental atau menguasai pasangan.[5] 

Mengapa ini penting kita pahami? Karena kontrol yang tidak meninggalkan luka sering disalahartikan sebagai “kepedulian”. Padahal secara psikologis, dampaknya bisa setara, bahkan lebih destruktif ketimbang kekerasan fisik. Misalnya saja korban bisa mengalami penurunan harga diri, keraguan kronis pada penilaian diri, hingga menarik diri dari jaringan dukungan (teman, keluarga, pekerjaan).[6] 

Red Flag: Sinyal Awal Penjara Atas Nama Cinta

Relasi yang sehat menumbuhkan sayap, bukan malah memotongnya. Jika yang terjadi justru sebaliknya, waspadalah pada tanda-tandanya. 

Daftar berikut mungkin tidak lengkap, tetapi paling sering muncul dalam pengaduan dan riset:

  • Mengatur tubuh dan penampilan (pakaian, cara duduk/berbicara) dengan dalih “mendidik” atau “melindungi”.
  • Memutus/menyusutkan jaringan dukungan: melarang bertemu teman/keluarga, menjelekkan orang-orang di sekitar agar kamu terisolasi.
  • Meremehkan pendidikan/karier dan menuntut ketergantungan finansial.
  • Gaslighting: membuatmu meragukan persepsi/ingatan, hingga kamu meminta maaf atas hal yang tidak kamu lakukan.
  • Mengganti kata “batasan” dengan “aturan”: memaksakan “standar” sepihak, memakai bahasa agama/terapi untuk membenarkan kontrol.

Tanda-tanda di atas kerap tersamarkan di ruang publik, bahkan disalahartikan sebagai bentuk kepedulian atau bukti kepemimpinan “laki-laki adalah imam”, sehingga perempuan sering bingung menempatkan batasan sehat dalam cinta.

Self-Love: Benteng Terkuat Melawan Jeruji Kontrol

Dalam menjalani hubungan, hal terpenting yang perlu kita semua lakukan jika merasa tidak aman adalah memercayai insting. Selain itu, self-love bukan sekadar poster motivasi, ini bisa jadi strategi keselamatan buat kita. 

Self love mengajarkan kita semua:

  • Nilai dirimu tidak ditentukan oleh validasi pasangan atau citra publiknya.
  • Kamu berhak atas pendidikan, pekerjaan, opini, dan ruang privat.
  • Perbedaan pendapat bukan dosa, itu tanda dua manusia yang setara.
  • Batasan sehat adalah kesepakatan dua arah, bukan daftar aturan sepihak.

Poin-poin di atas bisa membantu kita “membaca” dengan kritis serta menguji konsistensi perilaku pasangan: apakah ia menghormati pilihan kita saat tidak ada penonton? Apakah ia tetap suportif ketika kita “bersinar”? Apakah ia menanggapi pendapat yang berbeda dengan dialog, alih-alih  hukuman?

Branding bisa dibuat, tapi jiwa dan perilaku manusia jauh lebih rumit daripada sekadar gambar dan quote bijak di media sosial. Pahamilah bahwa cinta yang sehat tidak menuntut kita mengecil. Cinta yang sebenarnya justru membiarkan kita bertumbuh menjadi diri sendiri, bukan menyiapkan jeruji. 

Jika suatu hari “cinta” yang kamu rasakan terasa seperti penjara dan membuat kamu kehilangan jati diri, percaya intuisi, kenali tanda-tanda red flag, lalu ambil kunci itu. Keluar bukan berarti gagal mencintai tapi cara paling berani untuk mencintai diri sendiri.

Redaksi Perempuan Berkisah, ruang aman perempuan untuk bicara, berbagi, dan memberdayakan diri.

More From Author

Jalan Terjal Penyintas KDRT dan Kekerasan Seksual Perjuangkan Keadilan di Tengah Hukum yang Tak Berpihak pada Korban 

Kekerasan Seksual dalam Pacaran: Saat Korban Dipaksa Menanggung Sendiri