Bayangkan skenario ini : kamu baru saja lepas dari sebuah hubungan yang melelahkan. Berhasil ‘lolos’ dari hubungan yang dinodai oleh kekerasan baik secara fisik, seksual maupun psikologis oleh pasangan membuat kamu, seorang penyintas, merasa bebas. Bebas untuk bahagia, bebas untuk berperilaku dan berkreasi, bebas untuk menentukan jati diri tanpa campur tangan orang lain. Namun ketika euforia kebebasan yang kamu rasakan mulai terkikis habis, kadang akan muncul sebuah pertanyaan lain dalam dirimu.
Nadira Firinda
“Apa yang harus kulakukan selanjutnya?”
Bukanlah hal mudah bagi sebagian orang untuk menjalani hidup selayaknya manusia biasa, setelah berkutat dengan insiden kekerasan dalam hubungan pacaran. WHO (World Health Organization) pada tahun 2012, menjelaskan jika penyintas abusive relationship dapat mengalami trauma akibat kekerasan yang mereka alami seperti terusiknya kesehatan mental, fisik sampai dengan risiko kembali mengalami kekerasan dalam berhubungan. Namun, meski banyak dari jurnal menggarisbawahi bagaimana abusive relationship dapat berpengaruh buruk bagi mereka yang pernah mengalaminya, ditemukan pula bahwa kekuatan dan kesuksesan berhasil dikembangkan oleh penyintas setelah selamat dari fenomena kekerasan dalam hubungan intim. Pandangan ini menggarisbawahi pentingnya bagi penyintas untuk mengerti langkah dan proses yang dapat mendukung mereka mengatasi dampak – dampak negatif dari fenomena abusive relationship.
Beberapa tahap dalam proses penyembuhan ditemukan oleh Judith Wuest dan Marilyn Merritt-Gray (2001) dalam penelitian mereka dengan tujuan agar penyintas mampu pulih dari trauma setelah mengalami insiden kekerasan dalam hubungan, yaitu :
Pertama: Mendapatkan dan Menciptakan Kembali Identitas Penyintas
Sebagai seorang penyintas, kamu mungkin dapat merasa linglung setelah terbiasa diatur oleh pasanganmu. Mulai dari hal-hal kecil seperti bagaimana kamu harus berpakaian atau dengan siapa kamu dapat bertemu, sampai dengan pilihan-pilihan penting dalam hidupmu. Sehingga ketika sosok tersebut menghilang, berawal pula kewajiban kamu dalam memutuskan segala sesuatu sendiri.
Kamu disarankan menggunakan waktu ini untuk memilih jati diri seperti apa yang diinginkan, dan gambaran apa yang hendak kamu tanamkan pada orang lain mengenai dirimu sendiri.
Pada awalnya kebebasan ini mungkin terasa membingungkan, namun ibarat kata pepatah,
“If there’s one person who could help you to make your choices, it’s yourself.”
Kedua: Pulih atas Gejala Kesehatan Mental dan Fisik dari Kekerasan yang Dialami
Seseorang yang pernah mengalami kekerasan dalam hubungannya dapat memiliki gejala kesehatan baik secara mental maupun fisik. Sedangkan definisi kata ‘pulih’ sendiri bermacam-macam bentuknya, dengan waktu penyembuhan dan proses yang berbeda-beda. Kamu dapat merasa baik – baik saja pada enam bulan pertama, kemudian menemukan sesuatu yang mengingatkanmu pada trauma di hubungan sebelumnya dan merasa resah selama berhari-hari setelah itu.
Meskipun begitu, waktu menyembuhkan segalanya. Dengan tekad yang kuat dan dukungan sekitar untuk bangkit dari tekanan mental yang dialami, kamu lambat laun akan menemukan interval gangguan dari gejala trauma yang semakin pendek atau bahkan cara menangani gejala tersebut agar tidak menganggu kehidupanmu sehari-hari.
Ketiga: Menumbuhkan Perasaan Menerima dan Memberi Pengampunan untuk Diri Sendiri dan Pelaku Kekerasan
Kamu perlu untuk mencari alasan mengapa kekerasan dapat terjadi dan mengapa kamu dalam suatu waktu memutuskan untuk bertahan dengan keadaan tersebut, tak peduli berapa orang yang menyarankanmu untuk pergi dari hubungan itu.
Pada awalnya, kamu dapat mempertanyakan hal – hal yang seakan – akan menuduh dirimu sendiri seperti, ‘mengapa aku mengalami hal ini?’ atau ‘apa yang salah denganku?’. Dalam fase ini, dukungan dari lingkungan yang tepat sangat dibutuhkan karena ketika orang – orang di sekitar menvalidasi perspektifmu, sang penyintas atas pelaku kekerasan, kamu tidak akan memiliki kecenderungan untuk menyalahkan diri sendiri.
Para korban kekerasan sepertimu seringkali disarankan untuk memaafkan dan melupakan pelaku, sebuah nasihat yang diakui sulit dilakukan karena tindakan pengampunan sendiri tak dapat selalu membantu untuk sembuh dan bangkit dari keterpurukan.
Oleh karena itu, penting bagimu untuk tidak melupakan hubungan tersebut, sehingga kejadian – kejadian serupa tidak akan terjadi di masa depan. Yang perlu diperhatikan adalah untuk tidak menjadikan pengalaman dalam hubungan abusive sebagai pusat dari duniamu, melainkan menempatkan hubungan tersebut sebagai salah satu peristiwa yang patut dijadikan pelajaran.
Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk mengganti pemikiran “Aku adalah seseorang yang pernah mengalami abusive relationship.” Menjadi, “Ya, aku adalah seorang penyintas. Namun aku tetaplah aku, dan menjadi seorang penyintas hanyalah suatu bagian di hidup yang harus kuambil hikmahnya.”
Keempat: Menentukan Apakah Penyintas Ingin Memiliki Hubungan yang Baru
Selanjutnya, kamu perlu untuk memiliki pikiran yang jernih dalam menyatakan bahwa dirimu siap menjalani hubungan intim yang baru. Hubungan tersebut perlu didasari kejujuran mengenai gejala trauma baik fisik maupun psikologis yang dimiliki agar dapat memastikan bahwa pasanganmu memahami apa yang harus ia hadapi atau bahkan membantumu dalam menyembuhkan trauma yang dimiliki.
Fase-fase yang telah dijelaskan bukanlah sebuah langkah pakem agar kamu dapat sembuh sepenuhnya setelah menjalani abusive relationship. Akan tetapi sebuah keyakinan bahwa setiap orang berhak mendapat kisah hidupnya masing-masing dengan segala cara dan akhir yang diinginkan, tidak peduli apa yang pernah menimpanya di masa lalu. Bagaimana seseorang memperlakukan orang lain dalam suatu hubungan tidak mendefinisikan orang tersebut atau bagaimana ia patut diperlakukan seterusnya. Seek help.
Komunikasikan masalah yang terpicu oleh trauma dari abusive relationship dengan mereka yang berpengalaman. Tidak dapat dipungkiri bahwa fase penyembuhan dan bangkit setelah melewati sebuah hubungan yang abusive dapat menjadi sangat berantakan.
Jangan menyerah, sekalipun di saat terberat atau menyakitkan dari proses tersebut. Terdapat alasan mengapa fenomena ini terjadi pada beberapa orang dalam hidup mereka, salah satunya dikarenakan Tuhan percaya akan kekuatan orang-orang tersebut. Dan jika terdapat satu hal yang mampu membantu kondisimu menjadi lebih baik, hal itu harus muncul dari dirimu sendiri.
Referensi:
- World Health Organization. (2012). Understanding and Addressing Violence Against Women: Intimate Partner Violence.
- Judith Wuest dan Marilyn Merritt-Gray. (2001). Beyond survival: Reclaiming Self after Leaving an Abusive Male Partner. Canadian Journal of Nursing Research.