Selain hegemony budaya patriarki, pola asuh, rasa ingin tahu, pahami juga tahapan perkembangan otak remaja dan apa saja bahaya dan apa yang perlu kita lakukan.
Fiksi bukan sekadar imajinasi. Fiksi lahir dari cerminan realita yang dikemas sedemikian rupa sehingga mampu memberikan pengalaman baru kepada pembaca, baik itu pengalaman rekreatif, estetik, hingga didaktik (mendidik). Lalu, bagaimana jika fungsi terakhir itu tidak lagi bermakna saat banyak
Fiksi bukan sekadar imajinasi. Fiksi lahir dari cerminan realita yang dikemas sedemikian rupa sehingga mampu memberikan pengalaman baru kepada pembaca, baik itu pengalaman rekreatif, estetik, hingga didaktik (mendidik). Lalu, bagaimana jika fungsi terakhir itu tidak lagi bermakna saat banyak pembaca lebih gandrung pada cerita bermuatan pornoliterasi dan kekerasan?
Tema Kekerasan Seksual Diromantisasi, Pornoliterasi Semakin diminati
Bagai pisau bermata dua, perkembangan teknologi telah memberikan kita cara baru dalam menikmati karya fiksi. Di satu sisi, membaca kini bukan lagi kegiatan mewah, malahan dapat dilakukan semudah kedipan mata. Bahan bacaan bertebaran secara gratis lewat platform baca tulis digital, mulai dari penulis ternama hingga yang baru coba-coba menerbitkan karya, semua bisa ditemukan hanya bermodalkan ponsel pintar dan kuota. Namun, longgarnya kurasi yang diterapkan di beberapa platform telah menimbulkan tren baru di literasi digital. Tema kekerasan seksual diromantisasi, pornoliterasi semakin diminati.
Tak sedikit yang menormalisasi kondisi ini, menganggap fiksi hanya bagian dari imaji dan tak sepatutnya diseriusi. Namun, masihkah kita dapat berpikir demikian saat anak dan remaja bebas mengakses konten tersebut tanpa pengawasan?
Perlu dicatat bahwa cerita yang meromantisisasi kekerasan seksual bukan lagi sekadar fenomena, tetapi telah menjadi primadona yang dicari-cari pembaca, termasuk pembaca remaja. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan kondisi nyata alur pikir remaja kita saat ini. Karena pengarang tidak serta-merta menciptakan suatu karya fiksi tanpa ada konteks sosial budaya yang melatarbelakangi penciptaan itu.
Karya sastra yang tercipta bukan hanya merupakan luapan perasaan, pikiran, serta pengalaman penulisnya, tetapi merupakan permintaan industri yang saat ini tengah digemari sehingga realitas itu diciptakan. Sayangnya, tren ini tidak diiringi dengan budaya literasi yang empatik dan memiliki keberpihakan pada korban kekerasan seksual. Sebaliknya, justru yang diciptakan adalah untuk mendukung dan membenarkan perilaku kekerasan seksual dengan menciptakan narasi romantisisasi atas perilaku tersebut.
Bermula dari keprihatinan atas kondisi tersebut, Komunitas Perempuan Berkisah (PB) sebagai media pemberdayaan kembali mengadakan diskusi publik dengan tema “Jerat Romantisisasi Kekerasan Seksual di Ruang Baca Online” pada Sabtu, 10 Juli 2021. Diskusi publik ini juga merupakan respons nyata PB dalam menunaikan fungsinya sebagai katalisator perubahan dan ruang aman berbasis etika feminis terhadap artikel yang ditulis Erlin Fadhylah, anggota PB Jabodetabek, mengenai isu maraknya kekerasan seksual di platform baca tulis digital yang pernah diterbitkan di laman ini dengan berikut ini:
Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif serta strategi nyata dari sisi psikologis, PB mengundang Psikolog Klinis Anak dan Remaja, Anastasia Satriyo, M. Psi., Psi dalam diskusi ini. Setelah pemaparan mengenai kondisi yang terjadi platform baca tulis digital oleh narasumber pertama, Erlin Fadhylah, Anastasia pun memaparkan pandangannya mengenai kondisi ini.
Psikolog: Pengaruh Budaya Patriarki pada Pola Asuh
Menurut perempuan yang kerap disapa Anas, sebelum kita membahas strategi dalam menghadapi kondisi ini, kita perlu memahami dulu psikologi perkembangan otak di usia remaja. Penggolongan remaja itu sendiri sebetulnya dimulai sejak usia 13 hingga 24 tahun karena perkembangan otak manusia baru matang pada usia 25 tahun, dengan catatan mendapat stimulasi yang cukup.
Pemahaman sebagian besar masyarakat kita mengenai perkembangan anak umumnya masih sangat minim. Setelah melewati fase anak-anak biasanya orang tua akan langsung melompati masa remaja dan menganggap anak sudah dewasa. Padahal, perkembangan otak usia remaja berbeda dengan anak atau dewasa. Otak usia remaja oleh Anas diibaratkan seperti masa renovasi dalam pembangunan rumah. Seluruh komponen bangunan sudah ada tersedia, tidak seperti anak-anak yang belum lengkap, tetapi belum berfungsi maksimal seperti otak orang dewasa.
Anas pun menjelaskan bahwa area emosi merupakan area paling aktif di otak remaja. Itu sebabnya, cerita yang esktrem, menguras emosi, meskipun dilakukan dengan cara yang buruk, justru lekat di hati. Perlu edukasi bagi remaja untuk memahami hal ini.
Selain itu, Anas melihat pengaruh budaya patriarki pada pola asuh yang diterapkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang turut melanggengkan budaya kekerasan di Indonesia. Miris saat kita melihat pelecehan sering dianggap normal. Korban yang berusaha melawan tak jarang dianggap aneh dan ditertawakan. Ini semua pengaruh budaya dan turut membentuk karakter anak serta remaja kita.
“Remaja adalah bagian dari value, nilai-nilai yang ada di masyarakat kita: Hegemoni budaya patriarki dan budaya kekerasan.”
(Anastasia Satriyo, M. Psi., Psi)
Anas menjelaskan fenomena pengasuhan ini berdasarkan pengalaman keluarganya sendiri. Menjelang hari raya, saat asisten rumah tangga tidak ada, sepupu perempuannya sibuk dibebankan tugas rumah tangga, sementara sepupu lelakinya mendapat perlakuan sebaliknya. Begitu juga jika anak lelaki jika diajak pergi berbelanja, alih-alih diajak sibuk memilih barang belanjaan, anak lelaki dibiarkan untuk bermain. Sementara itu, anak perempuan diajak memikirkan orang lain, belanja untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarganya.
Contoh perilaku-perilaku sederhana yang lumrah dilakukan oleh banyak orang tua tersebut akan berdampak pada pola pikir terhadap relasi. Laki-laki akan tumbuh dengan pola pikir bahwa dirinya tidak memerlukan usaha untuk menjalin relasi sehat. Ia cukup bersantai, dan relasi itu akan datang dengan sendirinya. Hal ini diadaptasi ke dalam fiksi melalui tokoh cowok cool, bersikap dingin, yang justru kerap disukai dan diidolakan remaja perempuan. Hal tersebut merupakan pengejawantahan dari tertanamnya konsep tersebut dalam relasi keluarga. Sebaliknya, perempuan dibentuk menghamba, mencari siapa yang menyukainya, dan selalu merasa tidak aman pada kepantasan dirinya.
Cerita fiksi dengan hegemoni budaya patriarki biasanya akan menampilkan tokoh lelaki keren dengan latar belakang ketua osis, pemain basket, atau pemain band contoh, dan relasi yang baik digambarkan melalui tokoh remaja perempuan yang setia menunggu cowoknya latihan basket panas-panasan selama berjam-jam. Tokoh perempuan digambarkan melakukan usaha untuk membangun relasi.
Itu sebabnya, penting untuk melakukan edukasi pola pengasuhan sebagai salah satu strategi menghadapi situasi ini. Jika pola pengasuhan tersebut dibiarkan, kekerasan semacam ini akan semakin langgeng.
“Hal yang terjadi di dunia fiksi adalah fenomena gunung es dari pola pengasuhan bias gender yang masih bertahan di Indonesia hingga tahun 2021.”
(Anastasia Satriyo, M. Psi., Psi)
Remaja Punya Rasa Ingin Tahu yang Besar
Selain pola pengasuhan, jika dilihat dari perspektif perkembangan remaja, memang suatu kondisi yang wajar jika remaja punya rasa ingin tahu yang besar. Rasa ingin tahu ini muncul dari masa anak-anak usia dua sampai tiga tahun. Bedanya, waktu balita yang ditanyakan adalah hal konkret. Saat memasuki usia praremaja dan remaja, keingintahuan tersebut berkembang ke arah relasi. Keingintahuan remaja mengenai relasi ini perlu diarahkan oleh orang dewasa di sekitarnya. Misalnya, lewat pendidikan seksual di sekolah. Jangan sampai remaja mencarinya sendiri dari sumber yang tidak terpercaya atau asal.
Anas menduga salah satu penyebab remaja menyukai cerita fiksi bermuatan romantisisasi kekerasan seksual terjadi karena masa remaja merupakan masa terjadinya perubahan intens di otak dan sistem hormon. Otak remaja berkembang semakin peka pada situasi sosial. Hal ini diperburuk oleh tekanan dari orang tua, tekanan teman sebaya, media sosial, bahkan tekanan dan ekspektasi dari diri sendiri.
Cerita relasi dengan tekanan atau paksaan umumnya disukai oleh seseorang yang juga mengalami banyak tekanan emosi, didominasi, atau ditindas di dunia nyata. Ini merupakan mekanisme proyeksi, bacaan merefleksikan emosi yang kita rasakan.
Emosi dan tekanan emosi psikologis di dalam diri remaja ini butuh penyaluran. Kalau tidak punya banyak referensi penyaluran emosi yang sehat, membaca cerita kekerasan, termasuk kekerasan seksual, akan mengaktifkan hormon dopamine yang membuat pembaca merasa senang, merasa hidupnya lebih baik, dan ketagihan. Tekanan di kepala pun lepas seiring pemikiran bahwa ada seseorang yang hidupnya lebih buruk dibandingkan dirinya meski itu di dunia fiksi. Itulah alasannya remaja perlu belajar menyalurkan emosi secara sehat, contohnya dengan cara berolahraga atau aktif dalam sebuah komunitas diskusi sehat yang membahas mengenai relasi dan seksualitas dengan pendampingan ahli.
“Perlu dipahami bahwa otak itu seperti otot. Otak remaja perlu dilatih, bahkan hingga dewasa. Jadi, penting untuk mengajarkan dan melatih otak agar bisa menyalurkan rasa ingin tahu secara sehat.”
(Anastasia Satriyo, M. Psi., Psi)
Bahaya yang Timbul Ketika Membiarkan Remaja Terpapar Romantisasi Kekerasan Seksual
Setelahnya, Anas juga mengingatkan bahaya yang mungkin timbul jika kita membiarkan remaja terpapar dengan bacaan bermuatan romantisisasi kekerasan seksual. Hal-hal yang sering diakses di usia remaja seperti bacaan, musik, akan menentukan kualitas diri saat dewasa. Pembaca cerita kekerasan saat remaja rentan menjadi pelaku kekerasan saat dewasa. Otak di masa remaja sangat sensitif, area amigdala atau emosi pada otak remaja sedang aktif-aktifnya. Seperti dua sisi mata uang, aktifnya area ini jika dipakai untuk hal-hal produktif bisa membentuk kepribadian yang bertanggung jawab dan menghargai diri di masa dewasa dan akan terbentuk sebaliknya jika mendapat stimulasi yang tidak tepat.
Anas pun mengajak para peserta diskusi untuk memahami tahapan perkembangan moral dalam psikologi yang sering diadaptasi dalam cerita fiksi. Untuk memudahakan pemahaman mengenai tahapan perkembangan moral ini, Anas membahasnya melalui contoh kebiasaan memakai masker.
Tahap pertama, avoiding punishment: Seseorang menggunakan masker karena takut didenda atau ditangkap polisi.
Tahap kedua, aiming at reward: Seseorang menggunakan masker agar dapat penghargaan atau insentif.
Tahap ketiga, good boy and good girl attitude: Seseorang menggunakan masker karena sadar dirinya adalah orang baik.
Tahap keempat, loyalty to law and order: Seseorang menggunakan masker karena tahu ini adalah aturannya.
Tahap kelima, justice and the spirit of the law
Tahap keenam, universal principles of ethics
Untuk dua tahap terakhir, seseorang menggunakan masker karena memiliki kesadaran dan kepedulian baik itu untuk diri sendiri maupun orang lain.
Pentingnya pemahaman mengenai tahapan perkembangan moral perlu diadaptasi dalam melakukan edukasi kekerasan seksual. Jangan sampai remaja dan orang dewasa, tingkat pemahaman moralnya masih di tahap pertama, seperti anak TK, apalagi berkaitan dengan isu kekerasan seksual. Jika hal tersebut terjadi, tindakan amoral tersebut akan tetap dilakukan saat tidak ada penegak hukum.
Di dalam cerita fiksi, hal tersebut tampil dalam bentuk kekerasan seksual yang sudah jelas salah tetap dilakukan secara diam-diam, rahasia, dan di tempat tersembunyi. Moralnya tidak berkembang karena tetap melakukan hal buruk saat tidak ada yang melihat atau melakukan sesuatu hanya karena takut dimarahi. Inilah pentingnya melatih anak-anak dan remaja untuk merasa senang saat melakukan hal yang benar, feels good do the good thing.
Itu sebabnya Anas menekankan pentingnya psikoedukasi mengenai budaya kekerasan dan budaya patriarki. Lakukan edukasi lewat sesi mengobrol atau bercerita. Anas menyampaikan bahwa anak remaja butuh diedukasi lewat cara yang ringan. Beberapa tips dari Anas untuk melakukan edukasi antara lain dengan melakukan 3R (Regulate, Relate, Reason). Sebelum melakukan edukasi pastikan dulu kedekatan emosi karena anak dan remaja tidak akan belajar dari sosok yang berjarak dengannya.
Selain itu, penting untuk melakukan edukasi mengenai relasi sehat. Pembahasan mengenai relasi beracun sudah banyak dilakukan tetapi materi mengenai relasi sehat malah belum banyak dibahas dan dicontohkan.
Berikut adalah Tanda-tanda Healthy Relationship
- Respect
- Appreciation
- Recognition
- Support
- Gratitude
- Love
Remaja perlu memahami bahwa cinta adalah kata kerja yang dihasilkan dari tindakan atau aksi yang disebutkan dalam tahapan membangun relasi sehat di atas. Relasi sehat dasarnya adalah saling menghargai, berbeda dengan relasi beracun yang didasarkan pada kontrol dan kuasa. Sayangnya, banyak remaja sulit mengenali relasi beracun semacam ini jika di keluarga dan budayanya memang sering memakai kontrol dan kuasa dalam keseharian.
Anas percaya bahwa fiksi merupakan sarana belajar yang mestinya bisa bermanfaat bagi pembaca. Anas pun menuturkan ia banyak belajar mengenai sejarah Indonesia dari buku fiksi karya sastrawan ternama. Untuk itu, Anas membagikan tahapan perkembangan sosial emosional yang dapat diadaptasi untuk membuat cerita yang membangun relasi sehat.
Social Emotional Stages of Development
- Regulation and shared attention
- Engagement and relatedness
- Two way purposeful communication
- Social problem solving
- Creative and meaningful use of ideas
- Building logical bridges
Melalui social emotional stages of development tersebut, Anas mencontohkan bahwa dalam menjalin sebuah hubungan romantis, ketertarikan terjadi saat dua orang merasa saling dipahami. Kemudian, ada perhatian yang diberikan kepada satu sama lain dan mulai berminat pada kehidupan masing-masing. Hal ini semestinya menimbulkan komunikasi dua arah, saling mendengarkan.
Lalu, tentu saja akan ada konflik. Munculkan cara menyelesaikan masalah yang positif dan suportif. Setelah itu, jangan lupa apresiasi pasangan yang telah membantu. Akhiri dengan kerja sama pasangan tersebut yang memberikan kontribusi bagi dunia dunia yang lebih baik atau untuk mewujudkan mimpi.
Anas pun mengkahiri sesinya dengan berpesan bahwa budaya fiksi adalah salah satu cara membangun empati pada manusia dan empati ini perlu dilatih sejak kecil. Jika ada argumen yang bertentangan dengan pendapat kita mengenai kekerasan seksual di dalam fiksi, kita perlu memahami bahwa bobot pengetahuan tiap orang tidaklah sama.
Penting bagi kita untuk memahami konteks serta pembicara untuk dapat menilai kualitas informasi yang diberikan. Jadi, jika ada yang tidak sependapat selalu cek argumennya. Tidak apa-apa punya pendapat berbeda asalkan jelas argumen pendukungnya. Diskusi semacam ini juga membantu untuk membentuk manusia yang bertanggung jawab.
Itulah pemaparan Anastasia Satriyo, M. Psi., Psi dalam diskusi publik mengenai fenomena romantisisasi kekerasan seksual yang ruang baca daring yang digandrungi remaja. Semoga, melalui diskusi ini timbul kesadaran serta tindakan nyata untuk menjaga anak serta remaja kita dari jerat romantisisasi kekerasan seksual dalam fiksi. Karena terbukti, menurut pandangan psikologi hal ini kan berpengaruh pada perkembangan otak anak dan remaja yang membentuk perilakunya di masa dewasa. Lahirnya manusia yang bertanggung jawab mesti diiringi dengan bentuk stimulasi positif yang dilakukan hingga usia remaja.
SIMAK SHARING SESSION KAMI YANG TERBARU DI SINI: