Surat Untukmu, yang Berusaha Menemukan Alasan Untuk Hidup

11 minutes, 44 seconds Read

Baru saja pergantian tahun dimulai, sebuah kabar duka yang muncul tepat di penghujung bulan Februari sukses menggemparkan jagat dunia maya. Bagaimana tidak? Seorang anak berusia sebelas tahun yang tercatat masih sebagai siswa kelas 4 SD, ditemukan oleh ibu kandungnya dalam keadaan sudah tak bernyawa. Anak malang tak berdosa itu mengakhiri hidup dengan menggantung diri di pintu dapur, lantaran sudah tidak tahan menerima perundungan yang dilakukan terus-menerus oleh teman-teman sepantarannya hanya karena status yatim yang disandangnya.

Sedikit mundur ke belakang, pada pertengahan Februari, dunia maya pun sempat digegerkan dengan cuitan salah satu warganet yang memohon kepada siapapun untuk segera mengunjungi indekos temannya yang diduga sedang melakukan upaya mengakhiri hidup. Dia sangat sungguh-sungguh memohon bantuan sembari melampirkan bukti status WhatsApp temannya dengan caption, “Dua belas jam tanpa kabar tolong ke alamat ini”. Hal ini disebabkan karena keberadaannya saat ini sedang jauh dari jangkauan temannya. Namun sayangnya, beberapa jam kemudian, akun Twitter resmi Command Center 112 Surabaya memberikan informasi singkat bahwa temannya ditemukan dalam keadaan sudah tidak bernyawa pada pukul 09:40 pagi.

Kemunculan dua kasus bunuh diri tersebut mengundang ragam reaksi dari warganet. Ada yang turut berduka dan menyayangkan mengapa peristiwa naas seperti ini harus terjadi dan menimpa mereka. Namun tidak sedikit pula yang mengecilkan penderitaan mereka dengan memberikan ragam reaksi yang sangat jauh dari kata-kata hangat penuh empati.

Itu yang bundir nggak takut masuk neraka, ya?”

“Bukannya nggak mau simpati, tapi biar apa sih, update status WA dulu? Mati mah, mati aja”

“Makanya hidup yang bener! Rajin olahraga biar nggak stress!”

“Tinggal lawan aja sih, mulut temen-temennya. Kenapa mesti bunuh diri? Nggak kasian sama Ibunya?”

“Itulah pentingnya ilmu bela diri, biar bisa ngelawan orang-orang yang udah nyakitin mereka”

“Oalah, dia wibu… Pantesan aja. Udah mati, kan?”

“Emang masalah dia seberat apa sih, sampai bunuh diri?”

Reaksi-reaksi di atas hanyalah sebagian kecil yang terbaca dan masih dengan sangat jelas terekam di sel terdalam otakku. Sebagai manusia biasa yang pernah mengalami kesulitan melepaskan diri dari upaya menyakiti diri sendiri dan jeratan keinginan untuk mengakhiri hidup selama bertahun-tahun, mungkin apa yang kutuangkan dalam tulisan ini bisa mewakili suara-suara mereka yang berhasil melepaskan rasa sakitnya dan berpulang lebih dulu. Atau mungkin, apa yang kuungkapkan saat ini bisa menyuarakan isi hati terdalam mereka, para pejuang tangguh yang tengah berusaha keras menemukan satu alasan sederhana untuk bertahan hidup.

Sebenarnya Kamu Tidak Sungguh-Sungguh Ingin Mengakhiri Hidup

Sungguh, aku sangat percaya bahwa sejatinya dirimu masih ingin terus berjalan melanjutkan hidup. Aku masih percaya bahwa dirimu masih memiliki keinginan kuat untuk merealisasikan satu demi satu segala mimpi yang digenggam erat-erat hingga detik ini. Aku pun masih percaya bahwa dirimu belum sepenuhnya siap meninggalkan dunia untuk memejamkan mata tanpa harus membukanya kembali. Dirimu terpaksa melakukan ini karena sudah terlalu lelah berteman dengan sepi, bukan? Dirimu terpaksa memikirkan ini karena hanya itulah satu-satunya lentera yang menerangimu dari kejauhan sepanjang berpetualang dalam kegelapan untuk mencari jalan keluar, bukan? Dirimu terus membayangkan ragam andaikata dan bilamana hidupmu berakhir karena kamu beranggapan bahwa hanya dengan itulah seluruh beban tak terhingga yang menjerat dan menahanmu selama ini bisa lepas seketika, bukan?

Aku bisa membayangkannya. Sungguh bisa membayangkannya, bahkan seperti masuk ke dalam pikiranmu dan menjadi “kamu” saat ini. Rasa tidak berharga, keputusasaan, kesendirian, kehampaan, frustrasi, kelelahan tanpa ujung, semua itu bagaikan asupan diri di tiap detiknya. Aku paham, kamu sudah berusaha keras untuk tidak mengizinkan dirimu berteman dengan mereka. Tetapi kehadiran mereka terus membayangimu hingga menjeratmu untuk sekadar bernafas lega dan tersenyum lepas. Aku tidak akan sekali-kali dengan beraninya memintamu untuk beranjak dari tempat tidur dan bergerak keluar meski hanya sekadar untuk membiarkan diri terpapar sinar mentari pagi dan bersentuhan dengan rerumputan berembun. Aku pun tidak akan sekali-kali dengan beraninya menyalahkan isi pikiranmu dan mencacimu sebagai manusia yang lupa bersyukur atas berkah serta rahmat pemberian Tuhan.

Aku ingin menyampaikan satu hal padamu saat ini: apa yang kamu rasakan terhadap dirimu, hidupmu, termasuk pula orang-orang di sekitarmu, sangatlah valid. Aku tidak berhak membantah sebutir kata pun yang meluncur dari hatimu karena kamulah yang sepenuhnya menjalaninya. Tidak apa-apa, kamu sudah banyak menderita selama ini. Izinkanlah dirimu untuk mengenali segala emosi negatif yang selama ini terkubur dalam-dalam dan bercengkrama dengan mereka menggunakan cara yang sehat, seperti melakukan journaling atau menulis unsent letter. Tidak apa-apa menjadi rentan. Itu bukanlah suatu hal yang memalukan.

Sebenarnya Kamu Bukanlah Sosok yang Haus Atensi

Aku sangat percaya bahwa apa yang kamu candakan perihal ketiadaanmu suatu hari nanti kepada orang-orang di sekitarmu hingga apa yang kamu ocehkan secara tiba-tiba perihal kematian, bukanlah semata-mata murni ingin mendapat perhatian. Itu adalah sinyalmu mengemis setitik cahaya bantuan dari siapapun yang masih mau berbaik hati merangkulmu dengan hangat. Dirimu yang secara mendadak memberikan satu per satu barang kesayangan kepada orang lain secara acak, dirimu yang merasakan panik luar biasa begitu menyadari pelembab bibir kesukaanmu tersisa sedikit, dirimu yang tiba-tiba menghubungi banyak orang untuk sekadar menanyakan kabar dan meminta maaf tanpa mampu menjelaskan ketika ditanyai alasannya, semua itu adalah sinyal-sinyal memohon bantuan yang sering luput dari perhatian banyak orang.

Untuk siapapun di luar sana yang telah berpulang tanpa sempat mendapat pelukan hangat meski hanya satu menit saja, aku sungguh-sungguh meminta maaf. Aku sungguh-sungguh meminta maaf karena tidak ada setetes kenangan indah yang tertinggal dalam hentakan nafas terakhir. Kamu tidak layak meninggalkan semuanya dengan derai air mata penuh luka. Kamu berhak untuk merasakan bagaimana bernapas lepas tanpa merasakan sesak di dada sebelum benar-benar sepenuhnya menutup mata. Maafkan aku, ya.

Untukmu yang masih sempat membaca tulisan ini, coba katakan padaku apa yang tengah membebanimu saat ini. Aku sangat percaya bahwa apa yang sedang dipikul seorang diri hingga sejauh ini bukanlah hal yang ringan, pun tidak hanya satu-dua saja. Sudah berapa lama kamu merasakan ini? Pasti kamu lelah, ya? Bagimu, dunia bekerja dengan sangat tidak adil. Segala usaha dan upayamu untuk sekadar tetap bisa berdiri layaknya manusia normal seakan sia-sia. Segala usaha dan upayamu untuk bangkit dan pulih seakan tidak membuahkan hasil.

Segala usaha dan upayamu untuk terus belajar mencari makna hidup dan kebahagiaan seakan membuang-buang waktu. Tidak apa-apa. Wajar jika kamu merasa lelah dan tidak berdaya menghadapi semuanya. Andai pun aku menjadi kamu, aku pasti tidak akan sanggup menjalani semuanya sebaik kamu. Iya, kamu sudah melakukan banyak hal baik sehingga kamu bisa bertahan sampai detik ini. Kalau pelembab bibir, parfum, perona bibir, apapun benda kesayanganmu telah sampai pada masa habisnya, ayo kita beli yang baru! Karena sungguh, aku percaya bahwa kamu memiliki alasan baik untuk hadir dan terus hidup di dunia ini sampai waktu yang sesungguhnya tiba.

Sebenarnya Kamu Adalah Petarung Tangguh Penakluk Kehidupan yang Layak Menerima Penghargaan

Sudah berapa lama kamu menahan dan memendam semuanya seorang diri? Sudah berapa lama kamu terus menarik ujung bibir untuk tersenyum tanpa lelah setiap berhadapan dengan banyak orang? Sudah berapa lama kamu menangis bertemankan angin malam di kala semua orang tengah terlelap tidur dan bermimpi indah? Sudah berapa lama kamu memikirkan ragam skenario terbaik untuk mengakhiri semuanya dalam sekejap? Sudah berapa lama kamu menghitung mundur dan menandai kalender yang tergantung di dinding sebagai pengingat batas hidupmu? Sudah berapa lama kamu berteriak frustrasi dalam hening namun dalam sekejap membaur dalam keramaian dan tertawa pecah hingga lupa waktu bersama manusia-manusia lainnya? Sudah berapa lama kamu menginginkan kematian segera mendatangimu agar bisa pergi ke tempat yang lebih indah?

Sesungguhnya kamu layak mendapatkan penghargaan sebagai manusia terkuat yang ada di muka bumi ini. Iya, bahkan kekuatanmu jauh melebihi kekuatan lakon-lakon superhero terkenal di luar sana. Jikalau tidak ada satu pun orang yang menjadi penggemarmu sebagaimana para lakon superhero itu, aku sungguh ingin menjadi penggemar nomor satumu. Kalau kamu menganggap bahwa kisahmu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan penderitaan orang lain sehingga menganggap pula dirimu sebagai sosok yang lemah, menurutku justru tidak demikian. Perjuanganmu layak menjadi inspirasi untuk banyak orang di luar sana yang sama-sama tengah berjuang menemukan alasan untuk tetap hidup.

Tidak ada permasalahan yang lebih ringan atau lebih berat jika dibandingkan dengan permasalahan yang lain. Kembali lagi seperti kata-kataku sebelumnya, kamulah yang sepenuhnya menjalani hidupmu. Dirimulah yang sepenuhnya tahu dan yang sepenuhnya merasakan segala hal yang sedang dilalui hingga saat ini. Tetes air mata dan peluh keringat lelah yang membasahi perjalanan panjang ini, semuanya adalah milikmu. Jadi aku hendak mengucapkan terima kasih karena senantiasa berusaha keras untuk tetap bertahan melanjutkan perjalanan.

Saat ini, kamu berhak menuliskan ragam pencapaian atau hal-hal apa saja yang membuatmu merasa bersyukur di tiap harinya. Tidak perlu pencapaian yang spektakuler layaknya standar di luar nalar yang ditetapkan masyarakat selama ini. Hari ini kamu mampu bangun pagi dan segera bergerak mandi? Bagus! Kamu berani mengikuti suatu acara dan berkumpul di tengah keramaian? Good for you! Kamu sanggup makan tiga kali sehari tanpa memuntahkannya kembali? Hebat! Kamu mampu menggagalkan dirimu sendiri saat terbesit pikiran untuk mengakhiri hidup? Luar biasa! Aku harap setelah ini kamu menyadari bahwa dirimu bukanlah hamster yang tengah berlari di atas roda putar dengan titik mula dan titik henti yang sama.

Sebenarnya Kehadiranmu Bukanlah Wujud Luka dan Beban Bagi Siapapun

Tolong, aku mohon padamu untuk berhenti memiliki anggapan bahwa kehadiranmu adalah beban bagi kehidupan orang lain. Sekarang coba katakan padaku, mengapa kamu berpikir demikian? Apakah ada yang dengan terang-terangan tega menghardik keberadaanmu sebagai beban yang mencekat kehidupannya? Sudah berapa lama kamu menganggap bahwa hadirnya dirimu di dunia ini sama sekali tidak memiliki peran dan manfaat apapun? Seandainya aku boleh berbicara, justru orang-orang yang menganggapmu “beban”, adalah beban bagi mereka sendiri. Mungkin agak sukar dimengerti, ya? Jadi begini, aku percaya bahwa setiap orang yang hidup di dunia ini tengah berjuang melanjutkan hidup sembari memeluk luka batin dan traumanya masing-masing.

Ada yang sudah memahami kondisinya dengan baik dan bergerak mencari bantuan agar bisa kembali bangkit dan pulih. Namun ada juga yang memilih untuk mengabaikan, atau bahkan lari dari perihnya luka batin dan pedihnya hantaman trauma yang membayanginya setiap waktu. Salah satu dampak dari orang-orang yang termasuk dalam kelompok kedua, mereka tidak bisa melakukan pelepasan emosi negatif secara sehat. Ketika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang dikehendakinya sedikit saja, misalnya, mereka terlalu lelah untuk fokus menyelesaikan permasalahan dengan asertif. Karena apa? Energi yang mereka miliki sudah habis digunakan untuk lari, lari, dan lari dari gulungan emosi negatif yang mereka timbun sendiri.

Secara tidak sadar atau sadar, mereka akan menjadikan orang lain sebagai samsak tinju, kemudian menghajar orang tak bersalah itu melalui kata-kata pedih dan tindakan kasar yang tak bisa dibenarkan dalam bentuk apapun. Sehingga ketika mereka melabelimu sebagai “beban”, bisa jadi itulah perasaan mereka terhadap diri mereka sendiri yang sayangnya harus diproyeksikan ke kamu.

Jelas segala hal yang tengah berlangsung di hidupmu saat ini bukanlah salahmu. Sungguh, kehadiranmu bukanlah beban untuk siapapun. Kamu tidak berhak untuk memenuhi segala ekspektasi dan membahagiakan seluruh umat manusia di dunia. Kamu tidak berhak untuk bertanggung jawab penuh atas keberlangsungan hidup orang-orang di sekitarmu. Kamu tidak berhak untuk memikul segala permasalahan orang lain dan membawanya ke mana pun kamu pergi. Kamu tidak berhak untuk memulihkan kondisi psikis dan membuatnya tumbuh sebagai pribadi yang sehat.

Justru menurutku yang perlu diingat adalah, kamu sangat berhak untuk membuat dirimu bahagia. Kamu sangat berhak dan bertanggung jawab penuh atas pemenuhan tangki kehidupanmu sendiri. Kamu sangat berhak untuk menetapkan batasan-batasan diri dan fokus melakukan hal-hal yang ingin digapai secara sehat. Kamu sangat berhak untuk bangkit pulih dan tumbuh berdaya meski harus melalui jatuh-bangun lelahnya proses pemulihan yang jauh dari kata mudah dan linear. Mungkin kamu belum butuh mendengar kata-kata ini atau mungkin terlalu muak mendengarnya, tetapi sungguh aku percaya bahwa kehadiranmu di dunia bukanlah hasil kelakar Tuhan dengan semesta. Kehadiranmu di dunia ini pasti pernah menorehkan senyum bahagia dalam kehidupan orang lain, entah melalui tuturan hangat hingga tindakan terpujimu. Jadi sungguh, keberadaanmu di dunia ini tidak sia-sia.

Sebenarnya Dirimu Layak Menerima Uluran Tangan dan Pelukan Hangat

Tidak henti-hentinya aku mengatakan ini bahwa dirimu bukanlah sosok yang lemah dan haus atensi, seperti contoh reaksi beberapa warganet yang kucantumkan pada bagian awal tulisan ini. Saat ini dirimu tengah membutuhkan uluran tangan agar bisa keluar dari gua langut kemelut yang menyelimutimu hingga hari ini. Saat ini dirimu membutuhkan pelukan hangat yang tulus sehingga membuatmu percaya bahwa menjadi rentan bukanlah aib yang memalukan. Aku sangat percaya bahwa sebenarnya kamu telah mengusahakan banyak hal untuk menepis ragam pikiran mengakhiri hidup, namun entah mengapa rasanya sulit sekali hingga kamu mulai meragukan kemampuanmu sendiri. Tidak apa-apa untuk meminta bantuan tenaga profesional, seperti konselor, psikolog, bahkan psikiater. Mungkin awalnya kamu akan merasa takut atas ragam pertimbangan hingga merasa pusing, lelah, dan kembali tidak termotivasi untuk berusaha kembali mencari bantuan profesional. Bagaimana tidak? Kamu harus memikirkan berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan hingga mengkhawatirkan reaksi dan penghakiman dari mereka yang akan menanganimu.

Sekarang ini, kabar baiknya, selain bisa menggunakan kartu BPJS untuk mengunjungi tenaga profesional, tidak sedikit pula lembaga yang menyediakan layanan konseling gratis. Ruang Aman Perempuan Berkisah termasuk salah satu yang menyajikan layanan konseling gratis, tidak terbatas usia, dan bisa dilakukan via online melalui WhatsApp, Zoom, atau Google Meet. Seluruh konselor yang tergabung dalam Ruang Aman Perempuan Berkisah adalah mereka-mereka yang telah dibekali dengan ragam pelatihan dan penguatan kapasitas berbasis empatik sehingga tanggapan dan reaksi yang diberikan sangat jauh dari nuansa penghakiman.

Ruang Aman Perempuan Berkisah hadir dengan harapan penuh menumbuhkan kesadaran kritis transformatif, sehingga diharapkan pula tidak hanya sebatas berhasil sebagai penyintas yang mampu menolong dirinya sendiri, tetapi juga bisa menjadi lentera bagi siapapun yang masih terjebak dalam kegelapan. Kamu bisa mengunjungi akun Instagram resmi Ruang Aman Perempuan Berkisah di @perempuanberkisah, lalu mengakses tautan Linktree yang terdapat pada bio @perempuanberkisah. Silakan klik “Konseling Online Gratis”, isilah data dan segala informasi yang diminta secara benar, kemudian silakan menunggu keberlanjutannya dari Tim Konselor Perempuan Berkisah.

Aku tidak berhak menjanjikanmu dengan kata-kata manis seperti, “Sehabis hujan pasti akan muncul pelangi yang indah”. Selain karena kehadiran pelangi tidak selalu muncul sehabis hujan, juga atas pemikiran, “Apakah harus selalu hujan untuk melihat pelangi yang indah?”. Sungguh, dirimu layak untuk bertahan dan melanjutkan hidup. Sungguh, kamu tidak sedang bertarung sendirian. Sungguh, keberadaanmu sangat berarti untuk beberapa orang di luar sana. Terima kasih banyak ya, karena telah lahir di dunia ini. Kehadiran dirimu sungguh sangat berharga. Mulai saat ini, mari kita sama-sama lewati terjalnya kehidupan ini, ya. Mari kita sama-sama bangkit dan pulih. Mari kita sama-sama membuat diri kita di masa depan merasa bangga dan terus memberikan ucapan terima kasih karena mampu memutuskan untuk bertahan dan terus berjalan dengan tangguh.

Farah Sarayusa adalah seorang penyintas gangguan kecemasan dan gangguan stress pascatrauma yang bergabung dengan Tim Konselor Ruang Aman Perempuan Berkisah sejak awal tahun 2021. Pencinta kucing yang menaruh hati dengan beberapa isu yang lekat dalam kehidupan sehari-hari, seperti abusive parents, toxic relationship, self-harm and suicide issues.

author

Farah Sarayusa

Farah Sarayusa adalah seorang penyintas gangguan kecemasan dan gangguan stress pascatrauma yang bergabung dengan Tim Konselor Ruang Aman Perempuan Berkisah sejak awal tahun 2021. Pencinta kucing yang menaruh hati dengan beberapa isu yang lekat dalam kehidupan sehari-hari, seperti abusive parents, toxic relationship, self-harm and suicide issues.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Contact Us