Ada Tiadanya Lelaki Bagi Perempuan Lajang

3
5 minutes, 33 seconds Read

“Perempuan tanpa laki-laki seperti ikan tanpa sepeda”

Pernah dengar kalimat tersebut?

Irina Dunn, seorang aktivis sosial dan penulis, menciptakan frasa ini yang kemudian populer di dunia feminis. Kalimat ini menjadi lucu dan membingungkan bagi orang-orang karena ikan sebagai makhluk yang hidup di laut tentunya tidak membutuhkan sepeda. Namun itulah inti sebenarnya. Ikan tanpa sepeda adalah analogi bahwa perempuan mampu menjalani hidup seutuhnya tanpa laki-laki.

Kita menyaksikan betapa patriarkinya dunia ini, sehingga melepaskan perempuan dari ketidakadilan gender masih menjadi tantangan berat hingga saat ini. Apalagi jika perempuan tersebut memiliki beragam identitas yang dilekatkan padanya. Di dunia patriarki, perempuan sukses berarti ia keras kepala, tidak suka laki-laki atau menantang laki-laki. Di dunia patriarki, perempuan yang lajang berarti ia terlalu pemilih dan harus menurunkan standarnya atau tidak laku karena usianya tidak menarik lagi bagi lawan jenis. Di dunia patriarki, perempuan itu lemah dan membutuhkan pertolongan sosok laki-laki di belakangnya (meskipun terkadang tidak ada yang meminta).

Sejatinya perempuan dan laki-laki membutuhkan satu sama lain dan bekerjasama secara setara

 Melihat dari sejarah peradaban manusia, perempuan dan laki-laki sudah hidup berdampingan dari zaman purba. Dahulu kala, laki-laki yang berburu dan mencari makanan di hutan sedangkan perempuan mengerjakan tugas domestik seperti mengumpulkan makanan, mengasuh anak dan menyiapkan tempat tinggal. Di zaman purba, dimana hewan buas menguasai rantai makanan dan belum banyak alat yang canggih, kekuatan lelaki dibutuhkan karena secara fisik mereka superior. Di zaman tersebut, manusia tidak punya pilihan lain selain hidup berkelompok untuk bertahan hidup di alam bebas. Perempuan dan laki-laki membutuhkan satu sama lain dan bekerjasama secara setara. Hal ini tetap tidak menggorogoti fakta bahwa sejatinya perempuan dapat berdiri sendiri. Seiring perubahan zaman, kehidupan sosial bermasyarakat sudah tidak menggunakan konsep superioritas fisik lagi seperti di zaman purba. Manusia modern menggunakan keterampilan dan kemampuan berpikir. Artinya, perempuan dan laki-laki seharusnya setara dan mampu hidup dengan tidak ketergantungan satu sama lain lagi.

Saya sendiri mempercayai konsep pernikahan dan tidak menolak hubungan romantis

Memasuki usia hampir 30 dan lajang, saya sering diwanti-wanti untuk cepat menikah oleh keluarga besar. Syukurnya, keluarga inti saya tidak ambil pusing. Mama bahkan tidak mendorong saya untuk cepat menikah, malah berpesan untuk berhati-hati mengambil keputusan tersebut. Oleh keluarga besar, saya harus menikah karena sedikit lagi saya ‘expired’. Jam biologis saya berputar, dan apabila menikah terlambat, nanti “kasihan” anak saya karena orang tuanya terlalu tua. Semua pepatah dan opini sudah didengar namun satu hal yang tidak dilakukan mereka yaitu bertanya kepada saya, orang yang paling tepat untuk ditanya tentang pernikahan dan mengapa belum memilih untuk itu.

Saya sendiri mempercayai konsep pernikahan dan tidak menolak hubungan romantis. Meskipun orang tua saya berpisah, hal tersebut tidak membuat saya takut. Saya percaya tentang cinta dan kasih dalam manusia. Hanya perlu berhati-hati dalam memilih, sabar dalam menunggu atau ikhlas kalaupun belum ada. Saya enggan memaksakan kehendak dan gegabah untuk hal tersebut. Saya menolak untuk mengompromikan prinsip dasar mengenai kesetiaan, komunikasi, kejujuran, dan manajemen emosi. Pernikahan adalah orang yang berjanji satu sama lain dan kepada Tuhan. Di dalamnya ada seni berkomunikasi dan juga berkompromi. Dan kita harus memiliki dasar-dasar pengetahuannya.

Saya bahagia memiliki kapasitas, bekerja dan menghasilkan karya

Sebagai perempuan yang belum menikah, tentunya menjadi pertanyaan besar bagi orang-orang di luar sana. Asumsi konyol seperti saya yang terlalu mandiri, terlalu pemilih, atau terlalu beropini, sudah akrab di telinga. Konon katanya di usia ini, saya akan kesulitan menemukan laki-laki. Lingkungan saya memengaruhi pola pikir saya untuk jangan terlalu memilih karena pilihan semakin sedikit untuk perempuan di usia 30-an. Hal tersebut konyol karena tidak mungkin saya menggadaikan sisa hidup bersama dengan laki-laki yang tidak saya pilih dan cintai hanya untuk segera menikah. Padahal saya bahagia dengan mampu bekerja, belanja, makan, traveling, dan melakukan apa pun itu dengan mandiri. Sampai sekarang, saya bisa berdiri sendiri dan tidak sekarat karena tidak memiliki pasangan. Secara pribadi, saya ada sedikit kecemasan tapi akan jauh lebih menderita lagi apabila saya menempatkan diri di hubungan yang toksik dengan orang yang salah.

Belum menikah bagi seorang perempuan yang kritis dan lantang bersuara, juga ide yang menyeramkan bagi orang-orang. Banyak yang beranggap hal tersebut berpotensi menjadi masalah di rumah tangga nanti. Karena karakter perempuan seperti ini dianggap dapat melawan dan menantang pasangan hidup. Atau bahasa lainnya, “susah diatur”. Sayang sekali ketika perempuan yang asertif dan mampu mengkomunikasikan perasaan dan pikirannya dengan baik malah selalu dilihat sebagai ancaman. Atau seseorang yang cerewet dan dramatis.

Bagi seorang perempuan lajang, opini orang memang menjadi momok dan melelahkan mental. Kadang terlalu bising untuk diabaikan sehingga menutup telingapun tidak cukup. Suara bising seperti ini sesungguhnya sering menghambat ruang gerak perempuan untuk aktualisasi diri. Seakan-akan perempuan tidak bisa melakukan dua hal dalam waktu bersamaan. Seakan-akan hidup di dunia bertujuan untuk menikah dan dibatasi hanya untuk beranak pinak. Terus bagaimana dengan yang belum diberikan jodoh atau memang yang memilih tidak menikah? Apakah mereka gagal dalam menjalani hidup? Padahal memilih menikah atau tidak berada di tangan masing-masing. Dan itu otoritas dan tanggung jawab penuh suatu individu terhadap dirinya.

Ambilah keputusan secara sadar bukan karena paksaan atau tuntutan orang lain

Tujuan hidup setiap perempuan itu berbeda. Ada yang menginginkan keluarga di atas karir, ada yang sebaliknya, atau ada yang keduanya. Saya bisa saja sedang studi magister dan tetap mengasuh anak. Atau bisa saja bekerja di kantor namun juga mengurus pekerjaan domestik di rumah. Dalam suatu waktu, bisa saja seseorang memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga penuh waktu bersama keluarga. Ambilah keputusan secara sadar bukan karena paksaan atau tuntutan orang lain. Perempuan juga harus berhenti menghakimi keputusan perempuan lain atas nama saran dan preferensi pribadi. Saran yang baik adalah yang objektif, penuh pertimbangan dan empati, dan mengarah ke diskusi dua arah.

Hidup perempuan merdeka ketika perempuan bisa mandiri. Sering kita temukan perempuan telah mandiri secara finansial dan mampu mengerjakan pekerjaan domestik yang identik dengan maskulinitas seperti mengecat, memindahkan perabotan, angkat galon, dan lain-lain. Ada beberapa perempuan yang memilih untuk menjadi lajang sepanjang hidupnya dan mereka baik-baik saja. Mereka tetap berkarir dan menjalankan hobi dengan bahagia.

Hidup berdampingan dapat dijalankan tanpa menanggalkan esensi diri bahwa perempuan itu independen

Terlepas dari keputusan apakah perempuan hidup dengan laki-laki, harapannya itu adalah keputusan sadar tanpa tekanan. Bahwa hidup berdampingan dapat dijalankan tanpa menanggalkan esensi diri bahwa perempuan itu independen. Kita dapat bepergian, makan ke mall, nonton film sendirian meskipun terlihat menyedihkan bagi orang lain. Hidup berdampingan juga berarti kalau kita dapat melanjutkan hidup dengan kuat apabila perpisahan atau hal yang tidak diinginkan terjadi.

 Perempuan, entah dia menikah, belum menikah atau tidak menikah, penting menyadari bahwa kita adalah individu utuh yang dapat berdaya dengan diri sendiri. Perempuan tetap harus merdeka dari ancaman dan ketidaksetaraan. Perempuan memiliki pemikiran sendiri yang tidak bisa diinterupsi siapapun. Perempuan juga harus cukup dengan diri sendiri. Perempuan dapat mencapai semua karena kekuatan sendiri. Dengan atau tanpa laki-laki, perempuan bisa karena perempuan.

Michiko Karlina, lulusan Hubungan Internasional dari salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Kamu bisa berdiskusi dengannya melalui instagramnya @michikomoko.

author

Michiko Karlina

Michiko Karlina, lulusan Hubungan Internasional dari salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Kamu bisa berdiskusi dengannya melalui instagramnya @michikomoko.

Similar Posts

3 Comments

  1. avatar
    Winarani says:

    Serasa tenang jadi perempuan setelah membaca artikel- artikel di sini. Karena aku salah satu dari sedikit umumnya wanita( jangan kepo)Kesadaran yang di miliki karena mengetahui dan memahami akan membawa kedamaian tersendiri. Meski tidak pernah berhenti berharap namun menjalani hari demi hari tanpa kepastian butuh kewarasan.Terimakasih sudah membuka wawasan tentang apa itu Perempuan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Contact Us